Aku tidak tahu sejak kapan aku mulai mengira bahwa Ibu adalah sosok yang bisa segalanya. Ia bangun paling pagi, tidur paling akhir. Masak, beres-beres, memeriksa PR adik, menyirami tanaman, menjahit celana robek, hingga memastikan kita semua makan dan mandi tepat waktu—semuanya seperti tugas yang ia jalani dengan ikhlas dan tanpa keluhan.
Tapi semua itu baru terlihat “hebat” ketika aku dewasa dan mulai hidup sendiri.
Malam itu, setelah selesai makan malam, aku duduk di dapur bersama Damar. Kami berdua tengah mencuci piring, tugas yang kami rebutkan waktu kecil karena tidak ada yang mau. Tapi kini, kami malah berebutan karena tahu... itu satu dari sedikit momen yang bisa kami habiskan berdua dengan Ibu, meski hanya dari jarak dekat.
“Eh, kamu masih ingat nggak, waktu kecil kita pikir Ibu itu mantan intel?” Damar tiba-tiba membuka percakapan.
Aku tertawa. “Karena Ibu selalu tahu siapa yang ngabisin kerupuk?”
“Dan tahu kita pulang sekolah mampir jajan bakso padahal bilangnya nggak lapar.”
Aku mengangguk. “Ibu seperti punya CCTV di langit.”
Kami tertawa, lalu terdiam.
Kebersamaan kami dengan Ibu akhir-akhir ini membuat kami berpikir. Ada sisi dari Ibu yang dulu tak sempat kami tanyakan, karena kami sibuk menjadi anak-anak yang hanya tahu menerima kasih sayang, tanpa pernah menengok ke baliknya: apa yang Ibu simpan? Apa yang ia telan mentah-mentah tanpa pernah bisa ia bagi?
Pagi itu, aku sengaja bangun lebih awal dari Ibu. Kapan lagi bisa mengejutkan sosok yang selama hidup selalu bangun lebih dulu? Aku menyeduh teh dan duduk di teras belakang. Tak lama, langkah Ibu terdengar, pelan dan berhati-hati.
“Lho, kamu udah bangun?” tanyanya sambil mengusap matanya yang masih bengkak sedikit.
Aku mengangguk. “Hari ini gantian, aku yang siapin teh buat Ibu.”
Ia tersenyum, duduk di sebelahku. Kami menikmati pagi yang masih sejuk, aroma tanah basah karena gerimis semalam masih terasa.
“Ibu...”
Aku menoleh padanya. “Boleh aku nanya sesuatu?”
Ibu menoleh perlahan. “Tanya aja. Asal jangan tanya kenapa sayur asem Ibu enak banget, nanti kamu nggak percaya jawabannya.”
Aku tertawa pelan. “Bukan soal masakan. Tapi soal Ibu.”
Ia diam. Aku ragu-ragu sejenak, lalu melanjutkan, “Ibu... pernah sedih banget tapi nggak pernah cerita ke siapa-siapa?”
Hening sejenak. Ibu tak langsung menjawab. Ia hanya menatap halaman belakang yang basah.
“Banyak,” jawabnya akhirnya. “Tapi bukan karena nggak ada yang bisa diajak cerita. Kadang... karena sedihnya sendiri aja nggak tahu harus disampaikan seperti apa.”
Aku menatap wajah Ibu yang kini mulai keriput. Tapi keriput itu... justru terasa seperti guratan peta—peta kisah yang belum sempat dibaca anak-anaknya.
“Ibu pernah merasa sendiri?” tanyaku lagi, hati-hati.
Ia tertawa pendek, “Sering.”
“Waktu Ayahmu kerja di luar kota selama tiga tahun, waktu kamu dan Damar dua-duanya demam tinggi bersamaan, waktu kompor meledak dan hampir membakar dapur, waktu uang cuma cukup buat beli beras tapi kamu pengen beli sepatu warna pink... Ibu sendirian, tapi ya tetap harus kuat.”
Aku menggigit bibir. Rasanya ingin menangis, tapi aku tahan.
“Kenapa nggak cerita ke kami, Bu?”
Ibu menoleh, matanya lembut. “Karena kalian anak-anak. Tugas Ibu bukan menumpahkan beban ke kalian, tapi membuat kalian percaya bahwa dunia ini tempat yang aman untuk tumbuh.”
Diam.
Kalimat itu membuatku seperti tertampar dan dipeluk sekaligus.
Malam harinya, aku memberanikan diri membuka lemari tua di kamar Ibu. Dengan izinnya tentu saja. Katanya, aku boleh lihat isinya... kalau memang mau tahu “hal-hal kecil yang dulu nggak sempat diceritakan.” Di dalam lemari itu, tersembunyi kotak-kotak kecil berisi surat-surat lama, foto-foto pudar, dan... sebuah buku harian.
Aku membuka halaman pertamanya.
"Hari ini aku ingin menyerah. Tapi anakku demam, jadi aku harus tetap berdiri."
"Aku kangen rumah, tapi aku adalah rumah itu sendiri. Aku tidak bisa pergi ke mana-mana."
"Aku berharap suatu hari nanti, anak-anakku tahu bahwa cinta bukan selalu pelukan. Kadang cinta adalah memar di tangan karena cuci piring terlalu sering."
Air mataku jatuh satu per satu, pelan. Buku itu adalah cerita Ibu yang tersembunyi. Bukan karena rahasia, tapi karena ia tak sempat diberi panggung. Karena semua urusan anak-anak, rumah, dapur, dan dunia membuat cerita-cerita itu harus disimpan rapat dalam lemari. Keesokan harinya, aku dan Damar memutuskan membuat kejutan kecil untuk Ibu. Kami berdua menyiapkan makan siang, membersihkan rumah, dan membingkai beberapa foto lama lalu meletakkannya di ruang tamu.
Saat Ibu pulang dari warung dan melihat semuanya, ia tertawa lalu memeluk kami berdua.
“Apa-apaan ini?”
“Balasan kecil untuk semua kisah Ibu yang kami nggak tahu,” jawab Damar.
Aku menyodorkan buku harian itu. “Kami baca, Bu. Maaf. Tapi kami pikir... Ibu nggak seharusnya memikul semua itu sendirian.”
Ibu memeluk kami. Tangannya kecil, tapi pelukannya hangat, dalam, dan penuh kekuatan.
“Terima kasih ya...” katanya lirih. “Ibu juga... baru sadar kalau mungkin Ibu harus mulai belajar menceritakan sedikit. Karena ternyata... kalian sudah cukup besar untuk mendengar.”
Kami bertiga diam. Tapi rasanya, semua yang perlu dikatakan sudah keluar.
Malam itu, kami duduk bertiga di ruang tamu. Tidak melakukan apa-apa. Tidak membicarakan apa-apa. Hanya saling duduk, dan merasakan kehadiran. Ternyata, beberapa kisah tidak harus diceritakan dengan kata. Beberapa cukup dibagi lewat pelukan, lewat piring bersih, atau lewat teh yang diseduh lebih awal. Dan aku tahu satu hal pasti: di balik senyum dan tangan yang sibuk itu, Ibu adalah perpustakaan hidup dari kisah-kisah tak terdengar. Yang kini, satu per satu, ingin sekali aku dengar. Tanpa harus menunggu waktu yang terlalu lama.
Karena... aku tak ingin terlambat lagi.