Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pulang Selalu Punya Cerita
MENU
About Us  

Udara pagi itu datang pelan-pelan seperti seorang kawan lama yang tahu betul cara mengetuk pintu hati. Tak terlalu dingin, tak pula mengusik. Hanya diam di antara sela-sela dedaunan mangga yang mulai menua, dan sesekali bersiul kecil bersama angin. Aku duduk di serambi rumah, di kursi kayu yang sudah miring sebelah, sambil memegang secangkir kopi yang aromanya membawa kenangan bertahun-tahun lalu. Di sebelahku, Ibu duduk dengan tenang. Tidak lagi menyulam seperti biasanya. Hari itu, Ibu hanya ingin diam, katanya. Tapi diam yang lain dari biasanya. Diam yang seperti... sedang berbicara.

“Mau tambah kopi?” tawarku, berusaha mencairkan udara yang sudah cukup hangat tapi masih terasa kikuk. Ibu menggeleng pelan. “Yang ini belum habis,” katanya sambil menatap cangkir di tangannya, yang kopi di dalamnya tinggal seperempat. Tapi aku tahu, bukan itu alasan sebenarnya.

Aku tidak menanyakan lebih jauh. Setelah sekian lama hidup di perantauan, aku belajar satu hal tentang Ibu: dia tak selalu menjawab dengan kata-kata, tapi kalau kau cukup sabar, jawabannya akan datang lewat gerakan, raut wajah, bahkan caranya mengaduk kopi. Angin pagi membelai rambut Ibu yang mulai memutih. Matahari belum tinggi, dan suara ayam dari rumah tetangga terdengar saling sahut-menyahut seperti sedang rapat RT pagi-pagi buta.

“Ayahmu dulu suka sekali duduk di sini,” ujar Ibu tiba-tiba.

Aku menoleh.

“Kalau pagi-pagi begini, dia suka bawa koran, kopi, dan cemilan kacang goreng. Duduk diam. Kadang cuma lihat jalanan, kadang ngobrol sendiri.”

Aku tersenyum kecil. Dulu waktu kecil, aku tak pernah paham kenapa Ayah suka sekali duduk berlama-lama di serambi. Bagiku saat itu, pagi adalah waktu untuk berangkat sekolah dan mengejar angkot, bukan untuk melamun dan minum kopi.

“Kadang... Ibu kangen, bukan cuma sama orangnya, tapi juga caranya diam,” Ibu berkata lirih.

“Caranya diam?” tanyaku.

“Ya. Ayahmu diam bukan karena tak ingin bicara, tapi karena dia sedang mendengarkan. Kadang mendengarkan burung, kadang suara hatinya sendiri. Atau mungkin... mendengarkan Ibu yang sedang diam juga.” Aku memandang ke arah jalanan. Jalan yang dulunya ramai kini lebih sering sepi, hanya dilalui sesekali oleh sepeda atau motor tetangga. Pagi itu tidak hujan, tidak juga terlalu cerah. Seperti kenangan yang tidak terlalu bahagia, tapi juga tidak menyakitkan.

“Mungkin kita memang sedang butuh pagi seperti ini,” kataku.

Ibu mengangguk. “Pagi yang tenang. Yang tidak menuntut kita untuk cepat-cepat. Yang membiarkan kita menatap, mengenang, lalu perlahan-lahan... melepaskan.”

Kami diam sejenak. Angin kembali berhembus, membawa bau tanah dan daun basah.

“Ibu,” panggilku pelan. “Kalau boleh tahu... kenapa dulu Ibu tak pernah mau cerita soal Ayah banyak-banyak?”

Ibu tidak langsung menjawab. Dia mengangkat cangkirnya, menyeruput perlahan, lalu meletakkannya kembali.

“Karena Ibu takut, kalau banyak cerita, nanti kamu malah makin berat melangkah ke depan.”

Aku terdiam.

“Tapi sekarang, setelah kamu pulang, Ibu sadar. Beberapa hal justru perlu diceritakan... supaya tak menggantung terus di udara. Supaya kamu tahu, bahwa Ayah juga pernah salah, pernah sedih, pernah rapuh. Supaya kamu tahu, kamu tak sendiri.” Kata-kata Ibu menyeruak seperti matahari yang akhirnya muncul dari balik awan. Hangat. Menyilaukan. Tapi tak menyakitkan.

“Terima kasih sudah cerita, Bu,” kataku, menahan getar di suara.

“Terima kasih sudah pulang,” jawab Ibu sambil menatapku.

Lalu kami kembali diam. Tapi diam yang berbeda. Diam yang mengerti. Diam yang akhirnya bicara lebih banyak dari sekadar percakapan sehari-hari.

“Pagi ini, entah kenapa, rasanya kayak pagi terakhir sebelum semuanya berubah,” kataku tanpa sadar.

Ibu tersenyum. “Mungkin karena kamu sudah siap untuk mulai hal baru.”

Aku tak menjawab. Hanya menyeruput kopi yang mulai dingin. Rasanya sudah agak pahit, tapi entah kenapa tetap terasa enak. Mungkin karena aku tahu, ini bukan soal kopinya. Tapi tentang dengan siapa aku meminumnya. Sekitar setengah jam kemudian, suara sandal kayu terdengar dari arah dapur. Ternyata Damar, adikku yang biasanya lebih suka tidur siang ketimbang bangun pagi, tiba-tiba muncul di serambi.

“Tumben pagi-pagi sudah duduk-duduk? Biasanya baru bangun jam sepuluh,” canda Damar.

“Pagi ini ada promo kenangan,” jawabku, membuatnya tertawa sambil duduk di sebelahku.

“Wah, kopi nostalgia ya?”

“Bisa jadi,” jawab Ibu sambil berdiri perlahan. “Ibu ambilkan kamu juga, ya?”

Damar mengangguk dengan senyum lebar, seperti anak kecil yang baru saja dijanjikan hadiah.

Ketika Ibu masuk ke dalam, Damar menoleh padaku.

“Enak ya, suasana pagi di rumah.”

Aku mengangguk. “Enak. Dan entah kenapa... bikin pengin diem aja.”

“Iya. Kayak... nggak pengin kehilangan momen kayak gini lagi.”

Kami saling pandang dan tersenyum. Rasanya, meski banyak waktu telah berlalu dan begitu banyak luka serta pertanyaan yang belum sepenuhnya terjawab, setidaknya pagi itu kami duduk bersama. Tidak ada pertengkaran, tidak ada pembahasan berat. Hanya diam, senyum, dan secangkir kopi. Saat Ibu kembali membawa nampan dengan dua cangkir kopi tambahan, ia tersenyum seperti seseorang yang baru saja melihat harapannya perlahan kembali utuh.

“Pagi ini terlalu damai untuk dilewatkan sendiri,” katanya sambil duduk kembali.

Aku menatap mereka berdua—ibu dan adikku—lalu menatap ke halaman rumah. Pohon mangga yang mulai tua berdiri tenang. Ayam-ayam tetangga mulai berhenti berisik. Bahkan angin pun kini seperti melambat, agar tak mengganggu obrolan diam kami. Mungkin, dalam hidup, akan ada masa-masa ketika kita tak perlu banyak bicara untuk merasa dimengerti. Tak perlu menjelaskan panjang lebar untuk diterima. Cukup duduk berdampingan, menikmati pagi, dan tahu... bahwa pulang selalu punya cerita. Dan cerita pagi itu, adalah tentang kopi, diam, dan cinta yang tak pernah benar-benar hilang—hanya bersembunyi sementara di balik waktu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Gilan(G)ia
505      279     3     
Romance
Membangun perubahan diri, agar menciptakan kenangan indah bersama teman sekelas mungkin bisa membuat Gia melupakan seseorang dari masa lalunya. Namun, ia harus menghadapi Gilang, teman sebangkunya yang terkesan dingin dan antisosial.
My Best Man
155      134     1     
Romance
Impian serta masa depan Malaka harus hancur hanya dalam satu malam saja. Dia harus menerima takdirnya. Mengandung seorang bayi—dari salah satu pelaku yang sudah melecehkan dirinya. Tidak mau dinikahkan dengan salah satu pelaku, karena yakin hidupnya akan semakin malang, Malaka kabur hingga ke Jakarta dalam kondisi perut yang telah membesar. Dia ditemukan oleh dua orang teman baik dari m...
Asmara Mahawira (Volume 1): Putri yang Terbuang
6190      1244     1     
Romance
A novel from Momoy Tuanku Mahawira, orang yang sangat dingin dan cuek. Padahal, aku ini pelayannya yang sangat setia. Tuanku itu orang yang sangat gemar memanah, termasuk juga memanah hatiku. Di suatu malam, Tuan Mahawira datang ke kamarku ketika mataku sedikit lagi terpejam. "Temani aku tidur malam ini," bisiknya di telingaku. Aku terkejut bukan main. Kenapa Tuan Mahawira meng...
Love Never Ends
11917      2511     20     
Romance
Lupakan dan lepaskan
Selaras Yang Bertepi
369      255     0     
Romance
"Kita sengaja dipisahkan oleh waktu, tapi aku takut bilang rindu" Selaras yang bertepi, bermula pada persahabatan Rendra dan Elin. Masa remaja yang berlalu dengan tawa bersembunyi dibalik rasa, saling memperhatikan satu sama lain. Hingga salah satu dari mereka mulai jatuh cinta, Rendra berhasil menyembunyikan perasaan ini diam-diam. Sedangkan Elin jatuh cinta sama orang lain, mengagumi dalam ...
Al Bashiir
413      278     3     
Inspirational
Bashiir , anak tuna netra yang tidak bisa melihat yang memiliki suara indah saat dirinya mengaji. Sebuah takdir membawanya ke sebuah kota besar. Dirinya yang hanya tinggal disebuah kaki gunung yang bahkan tidak pernah ada seorang pun dari luar kota menginjakkan kakinya kedesanya. Takdir membawanya kekehidupan baru saat pemuda baik datang kedesanya. Menjalani hari - harinya yang baru dengan seora...
Premium
Bertemu Jodoh di Thailand
5233      1763     0     
Romance
Tiba saat nya Handphone Putry berdering alarm adzan dan Putry meminta Phonapong untuk mencari mesjid terdekat karena Putry mau shalat DzuhurMeskipun negara gajah putih ini mayoritas beragama buddha tapi ada sebagian kecil umat muslimnya Sudah yang Sholatnya Sudah selesai yang Sekarang giliran aku yaaku juga mau ibadah ke wiharakamu mau ikut yang Iya yangtapi aku tunggu di luar saja ya Baikl...
Mengapa Harus Mencinta ??
3695      1192     2     
Romance
Jika kamu memintaku untuk mencintaimu seperti mereka. Maaf, aku tidak bisa. Aku hanyalah seorang yang mampu mencintai dan membahagiakan orang yang aku sayangi dengan caraku sendiri. Gladys menaruh hati kepada sahabat dari kekasihnya yang sudah meninggal tanpa dia sadari kapan rasa itu hadir didalam hatinya. Dia yang masih mencintai kekasihnya, selalu menolak Rafto dengan alasan apapun, namu...
It Takes Two to Tango
472      346     1     
Romance
Bertahun-tahun Dalmar sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di kota kelahirannya. Kini, ia hanya punya waktu dua minggu untuk bebas sejenak dari tanggung jawab-khas-lelaki-yang-beranjak-dewasa di Balikpapan, dan kenangan masa kecilnya mengatakan bahwa ia harus mencari anak perempuan penyuka binatang yang dulu menyelamatkan kucing kakeknya dari gilasan roda sepeda. Zura tidak merasa sese...
ONE SIDED LOVE
1536      681     10     
Romance
Pernah gak sih ngalamin yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan?? Gue, FADESA AIRA SALMA, pernah!. Sering malah! iih pediih!, pedih banget rasanya!. Di saat gue seneng banget ngeliat cowok yang gue suka, tapi di sisi lain dianya biasa aja!. Saat gue baperan sama perlakuannya ke gue, dianya malah begitu juga ke cewek lain. Ya mungkin emang guenya aja yang baper! Tapi, ya ampun!, ini mah b...