Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pulang Selalu Punya Cerita
MENU
About Us  

Senja itu tak terlalu cerah. Matahari seperti malu-malu menampakkan sinarnya, tertutup awan tipis yang menggantung di langit desa. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan daun jambu yang berserakan di halaman rumah. Nara duduk di tangga kayu rumah tua itu. Tangga yang dulu sering ia lompati, kadang sambil membawa sepeda kecil warna biru miliknya. Sekarang, ia hanya duduk diam di sana, menggenggam selembar foto lama yang entah bagaimana masih tersimpan rapi di dalam laci kamar ibunya.

Dalam foto itu, ia berdiri di antara ayah dan ibunya, dengan senyum lebar dan rambut berantakan. Sebuah potret sederhana yang membuat hatinya mencubit pelan. Dulu, mereka terlihat begitu bahagia. Tapi waktu bisa memudarkan segalanya—termasuk tawa dan kedekatan.

Langkah kaki pelan terdengar di belakangnya. Damar muncul membawa dua gelas teh hangat. Ia duduk di samping Nara, tanpa bicara. Hanya menyerahkan teh itu dan menarik napas dalam-dalam.

“Masih ingat waktu kita kabur ke kebun mangga dan ketahuan?” tanya Damar tiba-tiba.

Nara mengangguk, tersenyum kecil. “Ibu sampai ngumpetin sendalku seminggu.”

Damar tertawa pelan. “Kita pikir kita hebat banget bisa ngumpet seharian. Padahal Ibu tahu dari awal, dia cuma nunggu kita nyerah sendiri.”

Diam kembali merayapi mereka. Tapi kali ini, bukan diam yang canggung. Ini diam yang seperti selimut, nyaman tapi berat.

Nara menatap teh yang mulai mendingin. “Damar... menurutmu, kita bisa memaafkan seseorang yang bahkan tak sempat minta maaf?”

Damar menoleh, lalu menatap langit. “Mungkin... kita bisa. Kalau kita butuh damai, bukan penjelasan.”

Ucapan itu seperti membuka sesuatu di dada Nara yang sudah lama tertutup. Ia menunduk. Setitik air mata jatuh ke lututnya.

Selama bertahun-tahun, Nara membawa amarah yang tak pernah bisa ia letakkan. Pada Ayah, yang pergi tanpa berpamitan. Pada Ibu, yang tetap diam bahkan saat Nara butuh kejelasan. Dan pada dirinya sendiri—karena tak cukup berani untuk bertanya, atau mungkin terlalu takut pada jawabannya.

“Aku marah, Mar. Tapi aku juga capek,” bisiknya.

Damar menepuk punggungnya perlahan. “Capek itu tanda kamu manusia. Tapi kalau kamu terus bawa marah itu, kamu nggak akan pernah pulang beneran, Nar.”

Sore itu, setelah teh habis dan senja mulai turun, Nara berdiri di depan rak kayu tua di ruang tamu. Di atasnya, berdiri bingkai foto Ayah yang sedikit berdebu. Ia mengambil kain, mengelap bingkai itu perlahan.

“Pak...” gumamnya, nyaris seperti doa. “Aku nggak tahu kenapa Bapak pergi waktu itu. Aku nggak tahu apa Bapak salah, atau Ibu salah, atau semuanya salah.”

Suara angin terdengar lirih di luar.

“Tapi aku capek menyalahkan. Capek berandai-andai. Dan... mungkin udah waktunya aku berdamai, Pak. Biar aku bisa napas lega.”

Langkah kecil menuju maaf itu tak seperti film—tak ada pelukan dramatis, atau musik latar yang menyentuh hati. Tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang berubah. Seperti benang yang kusut akhirnya mulai bisa diurai pelan-pelan. Keesokan harinya, Nara berjalan ke rumah Bu Siti, sahabat lama almarhumah ibunya. Perempuan tua itu masih rajin menyapu halaman tiap pagi, dengan langkah pelan dan sabar.

“Bu Siti... saya Nara,” sapa Nara lembut.

Bu Siti tertegun sejenak. Matanya menerawang, lalu bersinar pelan. “Ya Allah... Nara. Ya Allah, kamu pulang, Nak... kamu pulang...”

Tangannya gemetar saat memeluk Nara. Seperti memeluk kenangan yang kembali hidup. Mereka duduk di beranda rumah yang menghadap ke jalan kampung. Nara menceritakan hari-harinya, tentang hidupnya di kota, tentang pekerjaannya, dan tentang Ibu yang meninggal tanpa banyak bicara. Lalu pelan-pelan, Bu Siti mulai membuka satu persatu rahasia yang tersimpan. “Ibumu nggak pernah salahin siapa-siapa, Nak. Dia cuma... terlalu kuat untuk kelihatan rapuh. Waktu Bapakmu pergi, dia terus bilang kamu harus tetap sekolah. Harus jadi hebat. Karena dia nggak mau kamu ngerasa ditinggal dua kali.”

Nara terdiam. Matanya panas.

“Waktu kamu marah sama dia, dia cuma bilang: ‘Biarlah. Mungkin suatu hari, Nara akan tahu bahwa aku cuma ingin dia bahagia meski aku harus diam’. Tangis Nara pecah di pelukan Bu Siti. Ada luka yang selama ini membeku, akhirnya mencair dan mengalir keluar. Bukan karena ia lemah, tapi karena ia akhirnya membiarkan dirinya pulih. Hari mulai beranjak gelap ketika Nara kembali ke rumah. Ia berdiri di depan cermin kamar. Wajahnya basah tapi damainya tak bisa ditutupi. Di tangan kirinya, sebuah surat yang baru saja diberikan Bu Siti—tulisan tangan Ibu, tak terkirim, tapi tak pernah dibuang.

Surat itu berisi doa-doa yang tak pernah ia dengar. Harapan-harapan kecil yang dititipkan Ibu pada waktu. Juga sebuah permintaan maaf yang hanya bisa dibaca setelah semuanya selesai.

"Maaf kalau Ibu lebih sering diam daripada menjawab. Tapi semua diam itu adalah caraku menjagamu agar tetap kuat. Dan jika nanti kamu pulang, dan membaca ini, semoga kamu tahu—bahwa Ibu mencintaimu tanpa jeda, bahkan saat kamu berpikir Ibu tak peduli."

Beberapa hari kemudian, Nara berdiri di pemakaman kecil di ujung desa. Di bawah pohon kelapa yang rimbun, dua nisan berdiri tenang—Ayah dan Ibu, berdampingan tanpa kata. Ia menaruh dua kuntum bunga melati. Lalu berdiri diam. Tak ada kata-kata yang panjang, hanya napas panjang dan bisikan dalam hati. “Aku sudah sampai. Aku sudah pulang. Dan aku akan mulai belajar memaafkan. Kalian... sudah memaafkanku lebih dulu, kan?”

Angin sore meniup rambutnya. Ia tersenyum tipis.

Langkah pertama menuju maaf, ternyata bukan dengan kata-kata, tapi dengan keberanian untuk menerima. Menerima bahwa beberapa pertanyaan tak akan punya jawaban, dan beberapa luka tidak harus dipaksa sembuh—cukup dirawat, cukup diberi ruang. Dan hari itu, Nara mulai melangkah. Masih pelan, tapi kali ini tanpa beban. Ia menoleh ke jalan setapak menuju rumah. Jalan kecil yang dulu terasa asing, sekarang terasa seperti pelukan. Karena pada akhirnya, rumah bukan hanya tempat pulang. Tapi juga tempat di mana luka-luka diterima, air mata dimaklumi, dan maaf bisa tumbuh tanpa paksaan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Susahnya Jadi Badboy Tanggung
6077      1912     1     
Inspirational
Katanya anak bungsu itu selalu menemukan surga di rumahnya. Menjadi kesayangan, bisa bertingkah manja pada seluruh keluarga. Semua bisa berkata begitu karena kebanyakan anak bungsu adalah yang tersayang. Namun, tidak begitu dengan Darma Satya Renanda si bungsu dari tiga bersaudara ini harus berupaya lebih keras. Ia bahkan bertingkah semaunya untuk mendapat perhatian yang diinginkannya. Ap...
Ruang Suara
207      145     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
CINTA SI GADIS BUTA
5320      1335     5     
Romance
Kemalangan yang dialami oleh seorang gadis yang bernama Reina. Reina, seorang gadis cantik dan juga baik hati di diagnosa oleh dokter terkena penyakit glaukoma. Dokter memperkirakan kalau dirinya masih dapat melihat dalam waktu 1 tahun. Tetapi, nasib baik tak lagi mau berpihak kepadanya. Kedua matanya buta hanya dalam 4 bulan setelah dia memeriksakannya. Dia hanya bisa pasrah menerimanya. Kehidu...
I'm Growing With Pain
14264      2185     5     
Romance
Tidak semua remaja memiliki kehidupan yang indah. Beberapa dari mereka lahir dari kehancuran rumah tangga orang tuanya dan tumbuh dengan luka. Beberapa yang lainnya harus menjadi dewasa sebelum waktunya dan beberapa lagi harus memendam kenyataan yang ia ketahui.
Aku Ibu Bipolar
52      45     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
In Her Place
1039      677     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Tanpo Arang
55      46     1     
Fantasy
Roni mengira liburannya di desa Tanpo Arang bakal penuh dengan suara jangkrik, sinyal HP yang lemot, dan makanan santan yang bikin perut “melayang”. Tapi ternyata, yang lebih lemot justru dia sendiri — terutama dalam memahami apa yang sebenarnya terjadi di sekitar villa keluarga yang sudah mereka tinggali sejak kecil. Di desa yang terkenal dengan cahaya misterius dari sebuah tebing sunyi, ...
Alicia
1417      680     1     
Romance
Alicia Fernita, gadis yang memiliki tiga kakak laki-laki yang sangat protektif terhadapnya. Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian sekolahnya karena memiliki banyak kelebihan. Tanpa mereka semua ketahui, gadis itu sedang mencoba mengubur luka pada masa lalunya sedalam mungkin. Gadis itu masih hidup terbayang-bayang dengan masa lalunya. Luka yang berhasil dia kubur kini terbuka sempurna beg...
Andaikan waktu bisa diperlambat
895      539     11     
Short Story
kisah dua sahabat bernama Bobby dan Labdha yang penuh dengan tawa dan tantangan soal waktu.
Rekal Rara
13263      3790     0     
Romance
"Kita dipertemukan lewat kejadian saat kau jatuh dari motor, dan di pisahkan lewat kejadian itu juga?" -Rara Gleriska. "Kita di pertemukan oleh semesta, Tapi apakah pertemuan itu hanya untuk sementara?" -Rekal Dirmagja. ▪▪▪ Awalnya jatuh dari motor, ehh sekarang malah jatuh cinta. Itulah yang di alami oleh Rekal Dirmagja, seorang lelaki yang jatuh cinta kepada wanita bernama Rar...