Rumah itu masih sama. Dindingnya yang berlumut, jendela tua yang berderit setiap kali angin sore lewat, dan aroma kayu yang lembab menyambut langkah Alana ketika ia membuka pintu perlahan. Sejenak, ia berdiri diam di ambang pintu, menatap ke dalam ruang tamu yang dulu begitu riuh oleh canda, kini senyap oleh jarak dan waktu. Di sofa yang sudah mulai pudar warnanya, duduk seseorang yang ia kenal seumur hidup—Bara, kakaknya. Mereka tak berjumpa selama hampir lima tahun. Bukan karena jarak, tapi karena luka yang tak pernah sembuh, dan kata-kata yang tak pernah diucapkan. Dan sekarang, mereka bertemu dalam hening.
Tak ada pelukan. Tak ada sapaan. Hanya mata yang saling menatap, seperti dua jendela yang saling mencari cahaya dari dalam.
Alana duduk di kursi seberang. Ia meletakkan tas kecilnya di lantai, lalu menghela napas. Dalam hati, ia sudah menyiapkan banyak kalimat, skenario pertemuan yang entah berapa kali ia ulang di kepalanya. Tapi semuanya lenyap begitu saja di hadapan kakaknya.
"Kamu sehat?" suara Alana akhirnya pecah, kecil, nyaris seperti bisikan.
Bara hanya mengangguk. Satu anggukan pelan yang mengandung lebih banyak makna daripada satu paragraf penjelasan. Alana tersenyum kaku. Ia tidak tahu harus senang atau sedih. Mereka bukan orang asing. Tapi hari itu, jarak di antara mereka terasa seperti antara dua benua.
"Ibu sering nanyain kamu," kata Alana lagi, kali ini lebih pelan. "Tiap kali aku pulang, dia selalu nanya, 'Bara nggak ikut pulang? Nggak ada kabar?'
Bara menatap tangannya yang saling menggenggam di pangkuan. Tak menjawab. Tapi matanya jelas berair.
Diam itu menggantung di antara mereka. Tapi bukan hening yang kosong, melainkan hening yang penuh dengan perasaan yang tertahan. "Aku marah waktu itu," lanjut Alana. "Marah karena kamu pergi tanpa bilang apa-apa. Karena kamu nggak datang pas Ayah meninggal. Karena kamu hilang pas Ibu butuh kamu."
Bara masih diam. Tapi tubuhnya sedikit menunduk, seolah kata-kata itu seperti hujan yang berat, membasahi pundaknya. "Tapi sekarang aku ngerti," ujar Alana, suaranya mulai bergetar. "Mungkin, kamu juga punya luka yang nggak bisa dijelasin. Dan mungkin... pergi waktu itu adalah satu-satunya cara kamu bisa bertahan."
Air mata pertama jatuh dari mata Bara. Ia tak menyeka. Ia hanya membiarkannya jatuh, seperti membiarkan semua yang selama ini dipendam akhirnya menemukan jalan keluar.
"Aku nulis surat, Lana," ucap Bara pelan, nyaris serak. "Tiap bulan. Tapi nggak pernah kukirim. Karena aku takut... kamu udah benci aku."
Alana mengangguk, cepat-cepat menghapus air matanya. "Aku juga nulis... di notes ponsel. Tapi nggak pernah aku kirim juga. Karena aku pikir kamu nggak peduli."
Keduanya tertawa kecil di tengah tangis. Aneh memang, bagaimana luka bisa membentuk pertahanan yang sama: diam. Bara berdiri, berjalan ke arah lemari kayu di sudut ruangan. Ia mengambil sebuah kotak kecil, kusam, dan menyerahkannya pada Alana.
"Semua suratku ada di sini. Nggak pernah ada yang aku buang."
Alana membuka kotaknya perlahan. Isinya surat-surat dengan tulisan tangan yang ia kenal betul. Tulisan Bara. Ada yang ditulis di kertas bergaris, di balik nota, bahkan di tisu kafe. Semua berisi potongan rindu dan penyesalan yang tak pernah sampai. Ia menangis. Tapi bukan tangis kecewa. Melainkan tangis karena tahu bahwa rasa itu tak pernah benar-benar hilang.
"Maaf, Lan," ucap Bara, pelan. "Aku nggak bisa jadi kakak yang baik. Aku terlalu takut menghadapi semuanya. Aku pikir, pergi bisa membuat semuanya lebih ringan. Tapi ternyata... justru jadi lebih berat."
Alana menggeleng. "Kamu tetap kakakku. Mau sejauh apapun kamu pergi. Mau diam berapa lama pun. Kita tetap keluarga. Dan pulang... selalu punya cerita, kan?"
Bara tertawa lirih, suaranya parau. Tapi di balik tawa itu ada perasaan lega yang begitu besar. Seperti pintu yang akhirnya dibuka, setelah bertahun-tahun hanya digerogoti karat. Mereka duduk bersebelahan. Tak banyak kata, tak banyak pelukan. Tapi kali ini, diam mereka bukan lagi diam yang dingin. Melainkan diam yang menjawab semuanya. Diam yang menyimpan maaf, mengandung cinta, dan merayakan keberanian untuk kembali.
Dari dapur, terdengar suara ketel mendesis. Alana berdiri, berjalan ke arah dapur dan menyeduh dua cangkir teh. Ia kembali ke ruang tamu, menyerahkan satu cangkir pada Bara.
"Kamu masih suka teh jahe, kan?" tanya Alana.
Bara tersenyum. "Kamu ingat."
"Tentu. Kita nggak pernah lupa hal-hal kecil. Walau kita saling diam."
Di luar, langit mulai berganti warna. Senja mulai turun perlahan, seperti hati yang akhirnya bersedia menerima kembali yang sempat hilang. Mereka duduk berdampingan, menyeruput teh jahe, menyaksikan cahaya jingga menyusup lewat celah jendela yang tua. Tak perlu banyak kata. Karena hari itu, mereka belajar bahwa dalam diam pun, jawaban bisa ditemukan.
Dan pulang—seberat apapun—selalu layak untuk diceritakan.