Cahaya matahari yang redup masuk melalui jendela dapur, membias di atas meja kayu yang sudah sedikit usang. Di atas meja itu, sebuah gelas kopi yang tak lagi terlalu panas menunggu untuk diminum. Damar duduk diam di depannya, mata yang lelah menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya berputar-putar, mengingat masa lalu yang masih segar, walaupun sudah begitu lama berlalu.
Matahari yang merangkak naik di atas langit seolah tak menyadari bahwa ada begitu banyak cerita yang belum selesai. Sebuah cerita yang terpendam dalam dada, yang tak pernah bisa sepenuhnya ditumpahkan, bahkan saat air mata pun mulai jatuh. Damar tahu, hari itu adalah hari yang sudah terlalu lama ditunggu. Hari yang seharusnya bisa memberikan kelegaan, tapi malah menambah berat beban di hati.
Gelas kopi itu adalah simbol dari setiap kenangan yang tertinggal. Tak hanya tentang rasa pahit yang tersisa setelah menyeruputnya, tapi juga tentang kenangan manis yang pernah ada. Damar teringat, dulu, ada seseorang yang selalu menemaninya minum kopi pagi-pagi di teras rumah itu. Ada banyak cerita yang mengalir di antara gelas kopi dan tawa mereka. Tapi itu semua kini hanya menjadi kenangan yang kini terasa terlalu jauh, bahkan untuk dijangkau.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan, hanya ada suara kipas angin yang berputar pelan di langit-langit dapur. Damar menggenggam gelas itu, menatapnya sejenak, kemudian meneguk sedikit kopi yang sudah mulai dingin. Rasanya tak lagi seperti dulu, tak lagi ada kehangatan seperti dulu. Segalanya berubah, bahkan rasa kopi pun terasa berbeda. Ia teringat pada ibu, pada tawa kecil yang selalu terdengar saat mereka duduk bersama di meja makan. Wajah ibu yang cerah, yang selalu penuh cinta, kini hanya tinggal bayangan di pikirannya. Rumah yang dulu penuh dengan tawa dan kebahagiaan kini terasa begitu sepi. Ibu tak lagi menyulam di sudut ruang tamu, tak lagi menyapa dengan lembut. Semua itu hilang, tersapu oleh waktu yang tak bisa dihentikan.
Mata Damar mulai berkaca-kaca. Ia mencoba untuk menahan, tapi air mata itu tetap jatuh. Ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan, tetapi entah kenapa mulutnya terasa kaku. Seperti ada sesuatu yang tertahan di dalam dada, sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan.
"Kenapa kamu pergi?" gumam Damar pelan, hanya terdengar oleh dirinya sendiri. "Kenapa kamu tak memberiku waktu lebih banyak? Waktu untuk mengatakan semua yang tak sempat aku katakan."
Rasanya begitu sulit untuk menerima kenyataan bahwa ibu telah pergi begitu cepat. Semua hal yang belum selesai, semua kata yang belum sempat diucapkan, kini hanya tinggal kenangan yang menyakitkan. Gelas kopi yang ada di depannya kini hanya menjadi simbol dari segala ketidakpastian yang ia rasakan. Seperti kopi yang sudah dingin, hidupnya pun terasa begitu hambar. Ia tak bisa lagi merasakan kehangatan seperti dulu.
"Tapi aku harus belajar, kan?" Damar berkata pada dirinya sendiri, berusaha meyakinkan hati yang semakin rapuh. "Aku harus belajar menerima bahwa hidup tak selalu berjalan sesuai harapan."
Ia menghembuskan nafas panjang, mencoba untuk meredakan gejolak yang ada di dalam hatinya. Ia tahu, ia tak bisa terus-menerus tenggelam dalam kesedihan. Meskipun hati ini terasa begitu hampa, ia harus bisa bangkit. Untuk ibu. Untuk dirinya sendiri. Damar menatap foto ibu yang ada di dinding, sebuah foto lama yang diambil saat mereka masih hidup bersama. Ibu tersenyum lebar di sampingnya, wajah penuh kebahagiaan yang kini terasa begitu jauh. Damar ingin sekali memeluk ibu, ingin sekali mendengar ibu menyapanya seperti dulu. Tapi itu hanya bisa ia lakukan dalam bayangan.
Pikirannya melayang, berpindah ke masa lalu, ke setiap momen yang mereka bagi bersama. Saat mereka berjalan di bawah hujan, saat mereka duduk di atas lantai rumah sambil makan mi instan dan menonton acara TV bersama. Semuanya terasa begitu sederhana, tapi sekarang, kenangan itu begitu berharga.
Damar merasa sesak di dadanya. Ia memejamkan mata sejenak, meresapi setiap kenangan yang datang. Tak ada yang bisa mengembalikan waktu, tak ada yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Semua sudah berlalu. Tapi kenangan itu, kenangan tentang ibu, akan tetap hidup dalam dirinya.
Ia menatap gelas kopi yang kini sudah hampir kosong. Ia menyentuh sisi gelas itu, merasakan dinginnya yang meresap ke dalam telapak tangan. Seperti hidupnya, yang kini tak lagi penuh seperti dulu. Seperti kopi ini, yang dulunya selalu hangat dan penuh kenikmatan. Tapi kini, semuanya berubah. Dengan perlahan, Damar menyelesaikan sisa kopinya, meskipun rasa pahit itu tetap menggelitik tenggorokannya. Ia tahu, kopi ini tidak akan mengubah apa pun. Ia tahu, air mata ini tidak akan membawa ibu kembali. Tetapi, mungkin, dengan setiap tegukan kopi ini, ia bisa mulai belajar untuk melepaskan.
Ketika akhirnya ia meletakkan gelas itu kembali ke meja, Damar merasakan ketenangan yang perlahan menyelimuti dirinya. Air mata yang tadi jatuh kini sudah berhenti. Ia tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Ia tahu, meskipun ada kehilangan yang tak terpermanen, ia harus tetap berdiri. Ia bangkit dari kursinya, memandang sekeliling dapur yang tampak begitu sunyi. Seperti semuanya yang ada di sini, semuanya yang pernah ada, semuanya yang pernah ia cintai. Tetapi, dengan tekad yang baru, ia tahu bahwa dirinya harus berjuang untuk menemukan kebahagiaan meski dengan hati yang terluka.
Hari ini, Damar tidak hanya menuntaskan gelas kopi yang dingin. Ia menuntaskan sebuah bab dalam hidupnya, sebuah bab yang penuh dengan air mata, kenangan, dan harapan baru. Ia tahu, hidup ini akan terus berlanjut, dan kadang, hidup memang tidak selalu seperti yang kita harapkan. Namun, di balik segalanya, ada pelajaran yang bisa diambil, ada cerita yang akan selalu mengiringi langkahnya ke depan.