Langit sore di Jakarta seperti biasa: ramai, berisik, dan entah kenapa selalu tampak terburu-buru. Tapi tidak dengan Aluna. Ia duduk diam di atas atap kosnya, menatap langit jingga yang perlahan berubah ungu. Tangannya menggenggam sebuah kertas surat yang mulai menguning di ujung-ujungnya. Surat itu sudah ditulis sejak dua tahun lalu, tapi tak pernah benar-benar ia kirimkan. Ia hanya menyimpannya di kotak sepatu, bersama kenangan yang ia hindari tapi tak pernah bisa ia lupakan.
“Hari ini aku kirim, beneran,” gumam Aluna, meski suaranya terdengar lebih seperti ragu daripada yakin.
Isi surat itu bukan sekadar rangkaian kata. Di sana ada luka, ada tawa, ada rasa bersalah, ada cinta yang belum sempat tumbuh sempurna. Surat itu ditujukan pada seseorang yang dulu sangat dekat, sangat hangat — ibunya.
Ibu,
Maaf, aku pergi tanpa pamit. Tapi bukan karena aku tak sayang. Justru karena aku terlalu sayang, aku takut mengecewakan Ibu lebih jauh. Hari itu, ketika aku memilih pergi dari rumah, itu bukan karena aku ingin lepas dari Ibu. Tapi karena aku ingin mencari alasan untuk pulang.
Aluna menarik napas panjang. Tangannya gemetar sedikit, tapi ia tetap membacakan isi surat itu dalam hati. Ia sudah hafal tiap kalimatnya. Ia menulisnya malam-malam saat rindu menyerang seperti gelombang laut — datangnya tak terduga, tapi selalu kuat.
Kita pernah bertengkar hebat, bukan? Aku masih ingat suara Ibu yang tinggi, dan tanganku yang membanting pintu kamar seperti drama Korea yang kebanyakan emosi. Tapi setelah itu, malam-malamku sepi. Aku kira, jauh dari rumah akan membebaskanku. Nyatanya, aku malah lebih sering mencari rasa 'rumah' dari hal-hal kecil: dari suara masakan di pagi hari, dari bau sabun mandi Ibu, dari suara azan yang biasanya kita dengar bareng sambil Ibu ingetin aku untuk salat.
Matanya berkaca-kaca. Sudah keberapa kali ia membaca surat ini dan tetap merasa hancur di bagian yang sama?
Ibu, aku nggak pernah berhenti mikirin Ibu. Tapi aku juga nggak cukup berani buat pulang. Takut disambut sunyi. Takut pintu rumah sudah tak terbuka lagi buat anak perempuan yang keras kepala ini.
Satu tetes air mata jatuh ke ujung surat. Aluna buru-buru menyeka. Tapi air matanya seperti anak kecil yang ngambek — makin diseka, makin tumpah. Ia duduk memeluk lutut, membiarkan semua yang selama ini ia tahan, mengalir keluar. Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi dari grup keluarga muncul.
Mama: “Besok siapa bisa ikut video call bareng Om Darto?”
Aluna tersenyum kecut. Ibunya belum mengganti nama “Mama” di kontaknya meski sudah dua tahun mereka tak saling bicara langsung. Hanya obrolan grup, itupun formal. Seperti dua orang asing yang pura-pura kenal di depan orang lain. Ia menekan tombol balas, lalu berhenti. Jarinya menggantung di atas layar. Ia ingin menulis “Aku bisa,” tapi tak jadi. Ia takut jika akhirnya tak mampu menahan tangis saat melihat wajah ibunya di layar.
“Besok aja,” bisiknya.
Di kampus, Aluna dikenal sebagai sosok ceria. Selalu aktif di organisasi, selalu semangat di kelas, dan selalu jadi tempat curhat teman-teman. Tapi tak banyak yang tahu bahwa ia menyimpan luka yang belum sembuh. Bahwa di balik senyumnya, ada rindu yang tak pernah ia tahu cara menyampaikannya. Di kelas Psikologi Sosial kemarin, dosennya sempat berkata, “Setiap orang menyimpan satu surat yang tak pernah mereka kirim. Itu bentuk pertahanan, tapi juga sekaligus penjara.” Aluna terdiam waktu itu. Rasanya, dosen itu sedang bicara langsung padanya. Surat yang tak pernah ia kirim ini memang menyelamatkannya — dari penyesalan yang lebih besar, mungkin. Tapi juga mengurungnya — dalam sepi yang ia buat sendiri.
Malam itu, setelah beberapa waktu hanya duduk di atap, Aluna mengambil keputusan.
Ia pergi ke warung fotokopi 24 jam, meminjam amplop cokelat kecil, dan menulis alamat rumahnya di Jatiasih. Tak banyak yang ia tulis di luar, hanya satu kata di belakang amplop itu: Untuk Ibu.
Paginya, ia berdiri di depan kotak pos tua di dekat stasiun. Tangannya kembali gemetar, tapi kali ini bukan karena takut. Ia tahu, meski surat ini sampai, belum tentu semuanya akan langsung baik-baik saja. Tapi ia juga tahu, bahwa tidak semua jalan pulang butuh peta — kadang cukup keberanian. Dengan satu tarikan napas, ia masukkan surat itu ke dalam kotak. Detik itu juga, seolah beban yang ia bawa selama dua tahun sedikit lebih ringan. Langit masih sama. Jakarta tetap sibuk. Tapi hari itu, ada sesuatu yang berbeda di hati Aluna.
Ia pulang — bukan ke rumah, tapi ke perasaan yang selama ini ia sembunyikan. Dan itu adalah langkah pertama. Langkah kaki Aluna terasa lebih ringan saat ia meninggalkan kotak pos itu. Seolah beban yang selama ini ia gendong di punggung mulai mengendur. Di sisi lain, ada juga perasaan cemas yang mengendap di dada — seperti seseorang yang sudah memencet tombol "kirim" pesan panjang ke mantan, lalu menyesal dan ingin segera menariknya kembali.
“Yakin nggak sih, tadi suratnya udah ditulis dengan benar?” pikirnya. “Gimana kalau Ibu malah makin marah?”
Tapi ia tahu, ini bukan tentang benar atau salah. Ini tentang mencoba. Tentang sebuah usaha kecil untuk merajut benang yang dulu terputus. Hari-hari berlalu. Ia menjalani kelas seperti biasa, ikut rapat organisasi, dan tetap menjadi sosok Aluna yang dikenal semua orang: kuat, ceria, dan ‘nggak bisa diem’. Tapi setiap malam, pikirannya selalu kembali ke rumah. Ke suara sendok dan piring yang bersahutan di dapur, ke suara tawa adiknya saat menonton YouTube di ruang tengah, ke bau sabun cuci tangan yang khas di wastafel dekat ruang tamu.
Dan tentu saja, ke wajah ibunya.
Dua minggu setelah ia kirim surat itu, tidak ada balasan. Tidak lewat chat, tidak lewat telepon. Grup keluarga tetap ramai membahas acara keluarga, rencana liburan, dan sesekali, update dari keluarga jauh yang baru beli mobil atau pelihara kucing baru. Tapi tidak ada satu kata pun dari Ibu untuknya.
Awalnya ia mencoba menenangkan diri.
Mungkin Ibu belum baca... atau mungkin butuh waktu... atau mungkin... suratnya nyasar?
Tapi di hari keempat belas, hatinya tak lagi bisa bohong. Ada luka kecil yang mulai menganga. Dan rasa takut yang dulu sempat hilang, kini datang lagi — rasa takut bahwa Ibu benar-benar tak ingin lagi punya hubungan dengannya. Di malam yang sunyi, Aluna mengurung diri di kamar. Ia menyalakan playlist “low-key sadness” di Spotify, lalu membuka galeri ponsel. Ia scroll ke foto-foto lama — momen waktu mereka liburan ke Yogyakarta, ulang tahun Ibu yang ke-45, dan selfie mereka berdua saat masak bareng.
Tiba-tiba, suara notifikasi masuk.
Mama: “Luna, besok pulang ya. Ada hal penting yang mau Mama bicarain.”
Aluna menatap layar lama sekali. Ia membaca ulang pesan itu berkali-kali. Kali ini, bukan dari grup. Tapi langsung. Langsung dari Ibu. Pesan pertama setelah dua tahun. Air matanya tumpah sebelum sempat ia sadari. Bukan karena sedih, tapi karena akhirnya — akhirnya — ada suara dari rumah. Surat itu... ternyata sampai.
---
Keesokan harinya, Aluna naik kereta menuju Bekasi. Selama perjalanan, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangannya berkeringat, dan kepalanya penuh dengan “bagaimana nanti kalau…”. Tapi ia tahu, apapun yang akan ia temui di rumah, ia sudah siap. Stasiun Jatiasih masih sama. Sunyi, sedikit berdebu, dan penuh kenangan. Ia menumpang ojek ke kompleks perumahan tempat ia tumbuh besar. Setiap belokan jalan, setiap pohon di pinggir gang, membawa potongan-potongan kenangan yang sempat terkubur. Dan akhirnya, ia berdiri di depan pagar rumah bercat hijau muda itu. Warna catnya memang sudah mulai pudar, tapi suasananya masih hangat. Rumah itu... masih terasa seperti rumah.
Ia mengetuk pintu, pelan.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Dan di sana — berdiri seorang perempuan yang wajahnya tak pernah benar-benar hilang dari ingatannya.
“Ibu...”
Mereka saling diam beberapa saat. Hanya mata yang berbicara. Mata Ibu memerah, berkaca-kaca. Sama seperti mata Aluna.
Tanpa banyak kata, Ibu menarik Aluna ke dalam pelukan.
Tak ada kalimat panjang. Tak ada permintaan maaf yang formal. Tapi pelukan itu — erat, hangat, dan penuh makna — adalah segala hal yang selama ini Aluna tunggu.
“Maafin Ibu juga ya, Nak...,” suara Ibu akhirnya terdengar, serak tapi jelas.
Aluna mengangguk dalam pelukan. “Aku yang salah, Bu. Aku terlalu keras kepala.”
“Enggak. Kita berdua salah. Tapi kamu udah pulang. Itu cukup.”
Mereka duduk di ruang tamu yang dindingnya masih penuh foto keluarga. Waktu seperti berjalan lambat. Tidak ada ponsel di tangan, tidak ada gangguan dari luar. Hanya dua hati yang selama ini saling menunggu untuk bicara. Malam itu, mereka memasak bersama lagi — seperti dulu. Membuat sop ayam dan perkedel kentang, makanan kesukaan Aluna waktu kecil. Sambil memotong wortel, Ibu bertanya, “Kamu nulis surat itu... dari mana kamu tahu Mama suka baca surat?”
Aluna tertawa kecil. “Dari laci meja Ibu. Dulu pernah nemu surat-surat dari Ayah, waktu aku kecil. Ibu nyimpan semua.”
Ibu tersenyum. “Ternyata surat masih lebih kuat dari notifikasi.”
Setelah makan malam, mereka duduk berdua di teras rumah. Hanya suara jangkrik dan sesekali motor lewat. Aluna menyandarkan kepalanya di bahu ibunya. Sudah lama ia tak merasa setenang ini.
“Bu,” katanya pelan. “Aku boleh tanya sesuatu?”
“Apa?”
“Waktu suratku datang... Ibu ngerasa apa?”
Ibu terdiam sebentar. “Awalnya marah. Karena kenapa baru sekarang? Tapi setelah aku baca... aku nangis semalaman. Aku pikir, aku udah kehilangan kamu. Tapi ternyata enggak. Ternyata kamu masih inget rumah ini.” Aluna menahan tangisnya lagi. Ia terlalu sering menangis belakangan ini, tapi kali ini berbeda. Tangisan ini seperti air yang menyiram tanah kering.
“Rumah ini... selalu nunggu kamu, Luna. Tapi rumah juga nggak bisa maksa kamu pulang. Rumah cuma bisa nunggu.” Dan malam itu, Aluna mengerti satu hal penting: pulang bukan hanya soal tempat. Tapi soal keberanian untuk mengakui bahwa kita rindu, bahwa kita butuh, bahwa kita nggak bisa sendirian terus.
Surat itu... akhirnya sampai. Tapi bukan cuma sampai ke rumah. Sampai ke hati. Dan itu yang paling penting.