Pulang bukan sekadar kembali ke sebuah tempat. Ia adalah perjalanan menuju sesuatu yang pernah kita tinggalkan—dengan sengaja atau terpaksa, dengan air mata atau senyum yang tak selesai. Setiap rumah menyimpan suaranya sendiri. Suara lantai kayu yang berderit saat diinjak malam-malam, suara pintu pagar yang berdecit karena karat yang tak pernah dibersihkan, atau suara ibu yang memanggil dari dapur, memadukan aroma bawang dengan kenangan masa kecil. Kadang, suara itu hanya terdengar saat kita menutup mata dan menenangkan pikiran. Kadang pula, suara itu begitu keras hingga kita merasa tak pernah benar-benar pergi.
Bagi sebagian orang, pulang adalah pelarian. Bagi sebagian lain, pulang adalah keberanian. Dan untuk sisanya—seperti aku—pulang adalah luka yang harus dibuka ulang. Sudah lama aku tak menjejakkan kaki di rumah itu. Rumah yang membesarkanku, namun juga rumah yang kulempar jauh dari pikiranku selama bertahun-tahun. Ada dinding-dinding yang menyimpan terlalu banyak kata yang tak pernah sempat diucapkan. Ada jendela yang dulu kubuka lebar untuk menatap langit, kini tertutup debu dan bayang-bayang kenangan.
Aku pernah berpikir, semakin jauh aku melangkah, semakin mudah melupakan. Bahwa waktu akan mengikis rasa bersalah dan kecewa. Tapi ternyata, waktu hanya memperjelas luka-luka itu. Ia bukan penghapus, melainkan pengingat yang halus tapi tajam. Dan rumah itu, dengan segala diamnya, masih menyimpan kisahku—kisah yang belum selesai, yang menungguku untuk kembali. Kepulangan bukan hanya tentang jarak. Ia tentang hati yang berani menghadap masa lalu, tentang seseorang yang rela membuka pintu, meski tahu angin yang masuk tak selalu membawa kesejukan. Dan entah kenapa, meski aku pernah bersumpah tak akan kembali, ada suara yang terus memanggil. Bukan suara ibu, bukan suara masa kecilku, tapi suara rumah itu sendiri.
Aku tidak tahu cerita apa yang menungguku kali ini. Mungkin hanya sepotong kenangan, atau mungkin luka yang harus kutambal sendiri. Tapi satu hal yang aku yakini: setiap pulang, selalu punya cerita. Dan aku siap untuk mendengarnya, meski dengan hati yang gemetar.
Karena mungkin, pulang kali ini bukan untuk kembali. Tapi untuk berdamai.