Waktu bukan lagi garis lurus. Di tangan Freya, ia berputar, membelah, dan menyatu. Namun, dari segala kemungkinan takdir, satu pertanyaan tetap menghantuinya: jika kau menyelamatkan semua orang tapi mereka melupakanmu, apakah itu tetap berarti kau ada?
Langit di atas mereka retak seperti cermin yang dilemparkan ke lantai. Cahaya membanjiri setiap retakan, menyibak keheningan dengan gemuruh waktu yang meluncur keluar dari celah-celah dunia. Freya berdiri di tengah pusaran itu. Rambutnya berkibar oleh angin yang tak berasal dari dunia ini. Ia tidak lagi sekadar Freya dari satu dunia. Kini, ia adalah gabungan dari semua versi dirinya. Versi yang ceria, yang takut, yang patah, yang pernah memilih mundur, dan yang bertahan hingga akhir.
Ia menatap telapak tangannya, berdenyut lembut, seakan seluruh semesta hidup di sana. Di sekelilingnya, sosok-sosok samar berdiri. Freya kecil yang dulu takut ditinggal, Freya remaja yang memendam rasa pada Raka, Freya pemberani yang melawan Callindra, serta Freya murung yang sempat terbersit ingin menyerah. Mereka semua bersatu dalam dirinya kini.
Namun keajaiban itu membawa sebuah imbalan yang melegakan. Dunia mulai stabil. Namun, kestabilan itu datang dengan sebuah syarat. Keseimbangan harus dikembalikan. Dan sebagai pusat baru dari waktu dan realitas, Freya diberi satu pilihan oleh entitas Penjaga Jalur, yaitu menyelamatkan dunia dari kehancuran. Namun sebagai gantinya, semua orang akan melupakan keberadaannya. Freya akan menjadi angin, ada tapi tak terlihat, terasa tapi tak pernah diingat.
Suara sang penjaga terdengar menggema di antara dua dimensi.
"Dengan satu kata darimu, segalanya akan kembali. Tapi mereka tidak akan tahu siapa yang menyelamatkan mereka. Bahkan Raka pun tak akan mengingatnya."
Freya memejamkan mata. Jantungnya berdetak cepat, seperti menahan gelombang emosi yang tak bisa lagi ditampung oleh hatinya. Ia menoleh, dan dari kejauhan, Freya menyaksikan sosok Raka yang berlari melawan arus waktu untuk mencapai tempatnya berdiri. Napas lelaki itu tersengal, tubuhnya penuh dengan luka-luka. Namun, tatapan Raka tampak jelas, menyiratkan sebuah kalimat nyata. Cowok itu tahu apa yang akan terjadi.
“Freya!” Raka menghampirinya, lalu meraih jemari gadis itu. “Kau tidak harus melakukannya sendiri!”
Freya tersenyum lirih. “Kalau bukan aku, siapa lagi?”
“Bersama-sama kita bisa cari jalan lain.”
“Tidak ada jalan lain,” ucap Freya dengan lembut. Suaranya seperti bisikan hujan yang turun di malam sunyi. “Aku sudah mencoba semua versi kemungkinan. Setiap kali mencoba, dunia tetap hancur. Kecuali yang satu ini.”
Raka menggertakkan gigi. “Kalau begitu, aku yang akan melakukannya. Biar aku yang jadi menggantikan posisimu, meskipun nantinya semua tak mengingat keberadaanku.”
Freya menatapnya dalam-dalam. “Tidak bisa. Hanya aku yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukannya. Aku yang menyatu. Akulah pusatnya.”
Namun kemudian, sesuatu berubah dalam tatapan Raka. Ia menarik napas panjang, dan dari balik jaketnya, ia mengeluarkan kristal biru tua, yang memancarkan cahaya familiar. “Kau lupa sesuatu, Freya. Aku juga telah menyerap serpihan waktu. Aku tahu caranya menggantikanmu… tanpa membuatmu tahu sebelumnya.”
“Raka ..., jangan!”
Tiba-tiba saja, cahaya mengelilingi tubuh Raka. Dunia pun turut berguncang. Penjaga Jalur berteriak marah.
"Tidak boleh! Ia tidak terpilih! Dia tak bisa mengendalikan semua kenangan!"
Namun Raka tak menggubris. Ia tetap berjalan dengan langkah pasti. Untuk terakhir kalinya, Raka kembali menatap Freya dengan senyum tenang namun getir. “Kau tahu kenapa aku memilih ini, kan? Karena aku sudah memilihmu berkali-kali. Dan jika kali ini caraku memilihmu adalah dengan membuatmu lupa padaku… itu tetap pilihan yang kupilih dengan kesadaran penuh.”
Tangisan Freya pecah. “Jangan lakukan ini, kumohon ....” Freya menarik lengan raka, berusaha mencegah dengan sekuat tenaga
Namun, Raka tak gentar. Ia menutup matanya seraya berbisik lirih, “untukmu, agar kau bisa hidup. Dan untuk semua dunia yang pernah menyimpan harapan. Aku mencintaimu, sungguh-sungguh mencitaimu, Freya ....”
Cahaya meledak seperti matahari yang terlahir kembali. Suara, warna, dan waktu meluncur ke segala arah, menghapus, menata ulang, dan menyusun kembali dunia dari awal.
Freya terbangun di taman sekolah. Langit tampak biru, burung-burung pun kembali bernyanyi, dan semua terlihat berjalan normal kembali. Namun, timbul kekosongan aneh di dada Freya. Ia berjalan di lorong sekolah, menyapa teman-temannya. Mereka tersenyum. Guru-guru menyapanya. Hidup kembali berjalan seperti biasa, tetapi, ada satu bangku kosong di pojok kelas yang tak pernah Freya pahami, mengapa bangku itu tak ada yang menempati.
Dan setiap malam, ia bermimpi tentang seseorang yang memanggil namanya dalam bisikan yang tak pernah bisa ia jawab.
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan