Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Call(er)
MENU
About Us  

Tidak semua pesan menemukan jalannya. Namun, ada surat yang tak pernah sampai justru karena ia terlalu berarti untuk dikirim.

Freya berdiri sendirian di ruang bawah perpustakaan tua sekolah. Ruangan itu lembap, diterangi cahaya kuning dari bohlam yang berpendar lemah. Ia menggenggam sesuatu yang basah. Bukan karena hujan, melainkan karena keringat di telapak tangannya sendiri.Debu beterbangan pelan di udara seperti serpih kenangan yang terlupakan. Lantai kayu berderit lirih di bawah langkah pelan Freya. Di tangannya, sebuah amplop lusuh yang ditemukan terselip di sela rak yang hampir roboh. Surat itu ditemukan terselip di antara sela-sela laci meja tua di markas Callindra yang kini kosong. Sinar sore menerobos masuk melalui jendela kaca pecah, menciptakan pola cahaya seperti potongan kaca patri di lantai yang berdebu. Namanya tertulis di depan amplop, dengan tulisan tangan yang sangat ia kenali: Raka.

Ia duduk perlahan di kursi reyot yang berderit pelan, membuka lipatan surat yang sudah mulai menguning di tepinya. Setiap goresan tinta, terasa dalam, tajam, ragu, namun penuh perasaan. Surat itu tak dibubuhi tempat yang dituju. Hanya tertera satu baris kalimat dalam tulisan dengan ukuran font kecil di sudut kanan atas.

“Jika aku tak kembali, ini untukmu, Freya.”

Tangannya gemetar saat membuka segel surat itu. Ada semacam ketakutan aneh, bahwa isi surat ini akan mengubah segala yang ia yakini. Ketika ujung kertas diselipkan dari lipatan amplop, jantungnya berdegup lebih keras dari sebelumnya.

Lalu, kedua mata Freya mulai menelusuri setiap kata yang tertera dalam surat.

Freya...

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Aku tak yakin apakah langkahku ke Ruang Pemisah akan menyelamatkan dunia atau justru memusnahkan ingatan tentangku dari semuanya. Tapi jika surat ini berhasil bertahan, berarti masih ada jejakku yang tertinggal. Dan itu saja sudah cukup.

Kadang aku bertanya-tanya… apakah aku seharusnya ada? Dalam setiap kemungkinan dimensi yang kita lihat, aku selalu menjadi celah. Bahkan ketika mencoba menjadi penyelamat, aku justru membawa retakan yang lebih dalam.

Freya, aku ingin kau tahu… aku memilih ini bukan karena putus asa. Tapi karena harapan. Karena kau. Jika ada yang harus dilupakan demi dunia ini tetap utuh, biarlah itu aku.

Namun, jujur, ada satu hal yang tak bisa kulupakan, meski seluruh dimensi melepaskanku: tatapanmu saat pertama kali menyebut namaku tanpa takut.

Maafkan aku.

- Raka.

Tangannya gemetar saat membaca kalimat terakhir. Air mata menetes diam-diam, jatuh di atas nama Raka yang ditulis dengan tinta biru. Ia menggenggam surat itu lebih erat, seperti bisa menahan Raka tetap di sisinya hanya dengan kekuatan ingatan. Napas Freya tercekat. Ia menahan isak yang mendesak dari tenggorokannya. Matanya basah, tidak sempat menahan air mata yang akhirnya mengalir diam-diam ke pipi. Tangannya menggenggam surat itu erat, seolah takut kata-kata itu akan lenyap bersama udara.

"Kenapa kau tidak bilang apa-apa waktu itu, Raka ..., kenapa kau harus menanggung ini sendirian?" bisiknya nyaris tak terdengar.

Ia terduduk perlahan di lantai dingin. Lantainya keras dan kasar, tapi ia tidak peduli. Dunia di sekelilingnya mendadak terasa jauh. Hening. Bahkan suara derit pintu perpustakaan yang terbuka sedikit serta terkena tiupan angin pun tak terdengar lagi.

Kilasan memori menyeruak tanpa diundang. Tawa Raka di bawah pohon sakura belakang sekolah, cara dia tersipu malu saat pertama kali memuji Freya, dan malam ketika dia berdiri di depan mereka semua, bersumpah akan membantu menjaga stabilitas dunia.

Namun dalam surat ini, Freya merasakan ada sesuatu yang lain terpancar dari jalinan kalimat demi kalimat yang tertulis—seseorang yang kelelahan, yang merasa seperti bergelung dalam sebuah kesalahan.

Langkah pelan mendekat dari balik rak. Sosok-sosok lainnya baru saja datang. Freya buru-buru menyeka air matanya dan berdiri.

“Freya?” Suara milik Zayn dan Neo, hampir bersamaan menyebut namanya. Lembut dan ragu.

Freya hanya menyerahkan surat itu tanpa kata. Keduanya membacanya dalam diam. Saat mereka selesai, keduanya menatap Freya dengan mata yang berkaca-kaca.

“Ini… bukan surat yang dia tinggalkan sebelum ke Ruang Pemisah. Tulisannya ..., kurasa ada hal yang berbeda," ucap Zayn yang diamini oleh Neo.

Freya mengangguk. “Aku juga sempat berpikiran begitu. Raka yang kita kinal, tak pernah sempat menulis ini. Tapi… ini nyatanya ada. Lalu, dari mana asalnya?”

Zayn dan Neo memandang ke arah jendela sempit di atas rak, tempat cahaya matahari senja menembus masuk dan membentuk pola jaring di lantai.

“Ada satu kemungkinan,” kata Neo pelan. “Kau tahu… Ruang Pemisah bukan hanya mengatur ulang kenangan. Ia juga menyingkap batas antar realitas. Bisa jadi, surat ini adalah ingatan… dari Raka yang lain.”

Freya mengangkat kepala, kaget. “Dari dimensi lain?”

Neo menelan ludah. “Ya, mungkin saja. Versi Raka yang—mungkin—pernah kehilangan kita. Atau kita kehilangan dia. Tapi kenangannya menyelinap masuk ke dimensi kita. Entah bagaimana caranya.”

Freya kembali menatap surat itu. Jantungnya berdebar-debar. “Berarti… ada versi dia yang sudah lenyap. Tapi masih cukup peduli untuk mencoba bicara padaku.”

Ia menoleh pada Neo dan juga Zayn. Suaranya terdengar pelan namun mantap. “Bagaimana kalau... surat ini bukan hanya kenangan? Bagaimana kalau ini... peringatan?”

Zayn dan Neo menghela napas hampir bersamaan.

“Mungkin. Tapi bisa juga ini kesempatan. Untuk memperbaiki sesuatu yang bahkan belum sepenuhnya rusak," terang Zayn, ragu dengan ucapannya sendiri.

Senja mulai menelan cahaya di ruangan itu. Namun, Freya tetap berdiri di sana, menggenggam surat yang tak pernah sampai.

Malam itu, Freya masih enggan beranjak. Ia duduk berlama-lama di bangku taman sekolah, dengan menggenggam surat yang terlipat rapi di tangannya. Angin malam meniup pelan helai rambutnya. Lampu taman menyala redup, dan suara jangkrik bersahutan, seakan-akan bersenandung dengan nada murung.

Langkah kaki lain bergema dari arah belakang, memecah kesunyian yang tercipta. Suara pintu berderit menyusul, lalu terdengar suara lembut yang dikenal Freya dengan baik, suara Yara.

“Freya?”

Gadis itu buru-buru menyeka air mata dan menyembunyikan surat itu ke dalam sakunya. Namun, gerakan itu tidak cukup cepat untuk lolos dari mata Yara.

“Surat dari Raka?” tebaknya dengan pelan.

Freya mengangguk perlahan. “Tapi... bukan dari Raka yang kita kenal.”

Yara menatapnya dengan alis mengerut. “Maksudmu?”

Freya berdiri, berjalan ke jendela, memandangi matahari yang tergelincir ke balik langit jingga. “Ini dari Raka di dimensi lain. Yang... sudah lenyap. Tapi entah bagaimana, surat ini sampai ke sini. Seolah—kenangan dari dirinya menembus batas.”

Yara terdiam sejenak, lalu duduk di kursi yang berseberangan. “Raka kita masih belum kembali dari Ruang Pemisah. Kita bahkan belum tahu apakah dia benar-benar akan hilang.”

“Kau tahu hal apa yang paling menakutkan?” Freya berbalik menatapnya. “Bukan kehilangan dia. Tapi menyadari bahwa mungkin... aku adalah satu-satunya alasan terkuat dia, memaksakan diri untuk berkorban. Menghilang tanpa kata.”

Yara menggeleng cepat. “Kau bukan alasannya, Freya. Justru karena kau, dia memilih bertahan sejauh ini. Kau adalah kekuatan Raka di semua versi dunia.” Yara menepuk-nepuk lembut punggung Freya, kemudian meninggalkan gadis itu kembali tenggelam dalam kesendirian dan kesedihannya.

Ucapan Yara barusan membuat Freya terdiam. Namun, dalam hatinya, perasaan bersalah tetap menggumpal. Semakin hari rasa itu semakin membuat batinnya tersiksa.

Tiba-tiba angin berhembus kuat dari jendela, menyapu debu dan membuat surat di tangannya nyaris terlepas. Namun, di saat yang bersamaan, sesuatu hal lain muncul. Sebuah lipatan kecil yang diselipkan di balik amplop, nyaris tersembunyi.

Freya menariknya dengan perlahan. Sebuah potongan kertas kecil, berisi coretan singkat, membuat gadis itu mengernyitkan dahi.

Jika kau membaca ini, itu berarti aku gagal untuk menghilang sepenuhnya. Mungkin... sebagian dari diriku masih ingin bertahan. Di sisimu.

Freya menutup matanya. Napasnya terdengar berat, menahan perasaan yang membuncah. Bukan hanya kesedihan. Namun, sebuah harapan. Kecil. meskipun tipis, tetapi cukup kuat untuk membuatnya berdiri kembali.

Langkah berat lainnya terdengar mendekat dari belakang, memecah kesunyian yang tercipta. Namun, Freya tak menoleh. Ia merasa cukup familiar dengan langkah kaki itu.

“Raka,” ucapnya pelan.

Cowok itu berdiri di sampingnya. Wajah dia terlihat lebih dewasa dari usia yang sesungguhnya. Tatapannya dalam, nyaris seperti seseorang yang baru saja kembali dari mimpi buruk berkepanjangan.

“Aku menemukannya,” kata Freya. “Sebuah surat. Ditulis oleh… versi lain dirimu.”

Raka terdiam. Angin bertiup lebih kencang, membawa aroma tanah basah dan bunga liar.

“Aku membacanya,” lanjut Freya. “Dan aku sadar… kau menanggung beban yang bukan milikmu sendirian.”

Raka duduk perlahan di sampingnya. Pandangannya menerawang ke langit gelap.

“Aku pernah bermimpi,” ucapnya. “Di dalamnya, aku menghancurkanmu. Bukan secara fisik. Tapi... secara pelan-pelan. Dengan pilihan-pilihan yang kupaksa untuk kamu setujui. Lalu aku melihat diriku sendiri berubah menjadi sesuatu yang bukan manusia lagi.”

Freya menatapnya. “Apa mimpi itu terasa nyata?”

Raka mengangguk pelan. “Terlalu nyata.”

Freya menyerahkan surat itu padanya. Raka mulai membacanya. Lama. Saat ia selesai membaca sebaris kalimat terakhir dalam surat, matanya memerah. Namun, tak ada air mata yang mengalir. Ia hanya mengatupkan rahang dan menunduk.

“Dia... aku,” gumamnya. “Aku bisa menjadi dia.”

“Tapi kau bukanlah dia,” potong Freya lembut. “Kau bukan dia, Raka. Kau punya kesempatan untuk membuat keputusan lain. Untuk tetap menjadi… dirimu sendiri. Bukankah hal itu yang sering kamu ucapkan padaku? Untuk menjalani hari-hari dengan menjadi diri sendiri."

Keheningan menyelimuti mereka. Lalu Freya bertanya, “Apa yang akan kau lakukan sekarang?”

Raka terdiam lama. Lalu ia menjawab, “Aku akan tetap tinggal. Sampai semuanya benar-benar selesai. Bukan karena aku ingin menebus, tapi karena aku ingin memilih. Kali ini… dengan penuh kesadaran.”

Freya menatap bintang-bintang yang mulai bermunculan. Hatinya masih sesak, tapi ada kehangatan kecil tumbuh pelan di dadanya. Malam semakin beranjak larut, ketika Raka telah pamit pulang. Langit masih tampak mendung, tapi lagi-lagi tak membuat hujan jatuh ke bumi. Di atap markas yang lapuk, Freya berdiri menatap langit sambil mendekap surat itu erat-erat di dadanya.

“Aku tidak akan menyerah, Raka,” bisiknya. “Kalau sebagian dari dirimu masih ingin bertahan... maka aku akan mencari sisanya.”

Tiba-tiba, bintang jatuh melintas, menyisakan jejak cahaya sejenak. Dan di saat itu, suara pelan menggemakan namanya dari bayang-bayang langit.

“Freya...”

Ia menoleh cepat ke arah sumber suara. Tidak ada siapa pun di sana. Namun, surat di tangannya mulai hangat, seolah merespon sesuatu yang tak kasat mata. Satu hal yang Freya tahu pasti, Raka belum sepenuhnya lenyap. Jejaknya, kenangannya, harapannya ..., masih hidup. Mungkin, surat itu memang tak pernah sampai pada waktu yang seharusnya. Namun, ia tiba di saat yang paling mereka butuhkan. Dan itu rasanya cukup. Freya menyimpan surat itu di dalam sebuah kotak rahasia di kamarnya. Namun, ketika ia membukanya kembali keesokan harinya, ada tambahan baris di bagian akhir surat yang belum pernah ia baca sebelumnya.

“Jangan percaya pada Vergana sepenuhnya. Dia menyembunyikan sesuatu darimu.”

Freya menatap baris itu dengan jantung berdebar. Ia tahu, sesuatu yang jauh lebih besar sedang bergerak di balik bayang-bayang. Dan surat dari Raka... hanyalah awal dari peringatan yang tertunda.

****

Beberapa hari kemudian, Yara meminta Freya menemuinya di laboratorium waktu, salah satu tempat peninggalan Nenek Raka. Di sana, layar dimensi menunjukkan rekaman energi dari surat itu. Mereka menganalisis jejak-jejak temporal yang tertinggal.

“Freya,” ucap Yara dengan nada serius. “Kami melacak asal surat ini... dan ada sesuatu yang harus kau lihat.”

Layar menunjukkan koordinat dimensi. Bukan hanya satu, tapi lusinan. Semua mengarah ke satu titik pusat temporal yang kacau.

“Surat ini... tidak hanya berasal dari satu dimensi Raka,” ucap Yara pelan. “Ia berasal dari semua versi Raka yang... memilih untuk pergi. Semua sosok yang merasa dirinya bukanlah bagian yang utuh dari dunia mereka.”

Freya membeku. “Jadi, surat ini—”

“—adalah suara kolektif,” Yara melanjutkan, “dari semua Raka yang pernah hilang.”

Freya menatap surat yang kini ditaruh dalam kotak pelindung. Hening. Namun dalam kesunyian yang tercipta, ia merasa ribuan suara sedang berbisik padanya. Dan salah satu dari mereka, ia tahu pasti, masih berdiri di sampingnya. Siap untuk memilih. Siap untuk bertahan. Walau hanya satu, Raka yang ada bersamanya ..., cukup untuk mengubah segalanya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • baskarasoebrata

    Menarik sekali

    Comment on chapter World Building dan Penokohan
  • warna senja

    Sepertinya Freya sedang mengalami quarter life crisise

    Comment on chapter Prolog
  • azrilgg

    Wah, seru, nih

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Daniel : A Ruineed Soul
577      339     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...
Memoria
349      290     0     
Romance
Memoria Memoria. Memori yang cepat berlalu. Memeluk dan menjadi kuat. Aku cinta kamu aku cinta padamu
ALEXIA
2128      708     10     
Fantasy
Alexia seorang wanita pemberani yang tinggal sendiri di sebuah gubuk reotnya menemukan sepasang benda unik yang akan mengubah hidupnya. Sebuah buku kuno dan kalung permata yang indah. Tanpa diketahui Alex. Buku dan kalung itu akan membawa sebuah petaka sekaligus keberuntungan untuknya jika ia berhasil melewati segala rintangan. Kedua benda itulah yang akan membawa Alex pada sosok pria muda yang...
Unbelievable Sandra Moment
598      432     2     
Short Story
Sandra adalah remaja kalangan atas yang sedang mengalami sesuatu yang tidak terduga apakah Sandra akan baik-baik saja?
Warna Untuk Pelangi
8528      1816     4     
Romance
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi. Revi tidak ...
Unending Love (End)
17221      2566     9     
Fantasy
Berawal dari hutang-hutang ayahnya, Elena Taylor dipaksa bekerja sebagai wanita penghibur. Disanalah ia bertemua makhluk buas yang seharusnya ada sebagai fantasi semata. Tanpa disangka makhluk buas itu menyelematkan Elena dari tempat terkutuk. Ia hanya melepaskan Elena kemudian ia tangkap kembali agar masuk dalam kehidupan makhluk buas tersebut. Lalu bagaimana kehidupan Elena di dalam dunia tanpa...
Lovebolisme
167      147     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
Monologue
631      430     1     
Romance
Anka dibuat kesal, hingga nyaris menyesal. Editor genre misteri-thriller dengan pengalaman lebih dari tiga tahun itu, tiba-tiba dipaksa menyunting genre yang paling ia hindari: romance remaja. Bukan hanya genre yang menjijikkan baginya, tapi juga kabar hilangnya editor sebelumnya. Tanpa alasan. Tanpa jejak. Lalu datanglah naskah dari genre menjijikkan itu, dengan nama penulis yang bahkan...
Lantas?
41      41     0     
Romance
"Lah sejak kapan lo hilang ingatan?" "Kemarin." "Kok lo inget cara bernapas, berak, kencing, makan, minum, bicara?! Tipu kan lo?! Hayo ngaku." "Gue amnesia bukan mati, Kunyuk!" Karandoman mereka, Amanda dan Rendi berakhir seiring ingatan Rendi yang memudar tentang cewek itu dikarenakan sebuah kecelakaan. Amanda tetap bersikeras mendapatkan ingatan Rendi meski harus mengorbankan nyawan...
Heavenly Project
591      401     5     
Inspirational
Sakha dan Reina, dua remaja yang tau seperti apa rasanya kehilangan dan ditinggalkan. Kehilangan orang yang dikasihi membuat Sakha paham bahwa ia harus menjaga setiap puing kenangan indah dengan baik. Sementara Reina, ditinggal setiap orang yang menurutnya berhaga, membuat ia mengerti bahwa tidak seharusnya ia menjaga setiap hal dengan baik. Dua orang yang rumit dan saling menyakiti satu sama...