Mereka menemukan sebuah ruang dimensi baru yang disebut “Ruang Pemisah,” tempat waktu dan identitas bisa diatur ulang.
Freya menatap ke depan dengan mata yang masih sulit untuk sepenuhnya percaya pada apa yang sedang mereka hadapi. Sebuah ruang yang bahkan tidak pernah ada dalam imajinasinya, namun kini nyata di depan mereka, Ruang Pemisah.
Ruang itu terbentang luas, bukan seperti ruangan biasa, melainkan sebuah dimensi yang tampak seperti tirai tipis antara kenyataan dan mimpi. Kabut berwarna biru pucat berputar lembut, melayang seperti asap yang berasal dari napas yang terlupakan. Dindingnya bukanlah sesuatu yang bisa disentuh, tapi seperti cahaya padat yang berdenyut, menyerupai detak jantung yang lembut namun pasti.
“Jadi, sebenarnya Ruang Pemisah itu apa?” tanya Raka, suaranya nyaris berbisik, seperti takut mengganggu ketenangan yang ditunjukkan oleh ruangan yang terlihat ganjil itu.
Vergana berdiri tegap di samping mereka. Wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi dengan beban dan keseriusan. “Ruang ini adalah tempat di mana waktu dan identitas bisa diatur ulang. Sebuah titik di mana kenangan seseorang bisa dipisahkan dari keberadaannya. Tempat ini penting untuk memulihkan keseimbangan dunia yang mulai terganggu setelah penutupan dimensi pecahan.”
Freya mengerutkan alis, napasnya bergetar sedikit. “Apa maksudmu dengan ‘mengatur ulang identitas’? Apakah kita harus kehilangan diri sendiri?”
“Lebih dari itu,” Vergana menjelaskan. “Salah satu dari kalian harus memasuki Ruang Pemisah, dan menukar semua kenangannya—semua hal yang membuat kalian ada—agar keseimbangan dunia bisa kembali. Jika tidak, kerusakan yang mulai terjadi akan terus meluas.”
Raka menatap Vergana dengan wajah penuh ketidakpercayaan. “Jadi hanya satu dari kami yang bisa melakukan itu? Kenapa hanya satu?”
Vergana memandang mereka satu per satu, suaranya terdengar berat, seakan-akan ada beban berat yang tengah mengimpit tubuhnya. “Karena hanya satu jiwa yang bisa mengisi ruang itu tanpa mengacaukan sistem keseimbangan. Memaksakan lebih dari satu akan menghancurkan semuanya.”
Suasana menjadi hening. Udara di sekitar mereka seolah berubah menjadi tegang, menekan seperti beban yang lama-kelamaan terasa semakin berat.
Freya mengangguk pelan, meski hatinya penuh kecemasan. Dia bisa merasakan beban pilihan yang harus diambil di depan mereka, pilihan yang bukan hanya soal diri sendiri, tapi seluruh dunia.
“Tapi kenapa aku merasa... seolah-olah ini adalah jalan yang harus diambil?” bisik Freya. Suaranya nyaris tak terdengar.
Di sudut lain, Raka berdiri dengan tangan terkepal di samping tubuhnya. Matanya gelap, menatap ke depan tanpa ekspresi, namun ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya — sebuah keteguhan yang membuat udara di sekitarnya berubah.
Freya membalikkan badan, menatap Raka dan bertanya pelan, “Raka, menurutmu bagaimana?”
Raka mengalihkan pandangannya, kemudian berkata dengan suara yang dingin namun mantap, “Aku siap. Aku akan menjadi penukar itu.”
“Tidak,” Freya segera menolak, suaranya bergetar. “Jangan bicara seperti itu. Kita akan cari cara lain bersama-sama. Aku... aku tidak bisa membiarkanmu melakukan ini sendirian.”
Raka menggeleng, langkahnya mendekat. “Freya, dengarkan aku. Aku sudah memikirkan ini sejak lama. Jika aku yang melakukannya, kalian yang lain masih bisa bertahan, masih bisa memperbaiki dunia. Aku ingin kalian ada. Aku tidak ingin ada yang hilang.”
Mata Freya berkaca-kaca, hatinya hancur mendengar tekad Raka yang begitu kuat. “Tapi itu berarti kau... kau akan hilang. Seperti tidak pernah ada.”
Raka mengangguk pelan, menundukkan kepala. “Aku tahu risikonya. Tapi aku tidak punya pilihan lain.”
Yara, Neo, dan juga Zayn mulai mengelilingi mereka. Semua yang hadir, menunjukkan ekspresi yang memancarkan rasa takut, sedih, juga bingung.
Vergana maju, menyentuh bahu Raka, “Kita tidak akan membiarkanmu pergi sendirian. Apa pun yang terjadi, kita akan hadapi bersama.”
Namun Raka tersenyum kecil, penuh pengertian, berusaha menghibur dirinya yang kalut. “Aku tahu. Tapi hanya satu orang yang bisa masuk ke sana. Aku siap melakukannya. Bukan hanya untuk kalian, tapi juga untuk kita semua.”
Freya menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Dia bisa merasakan air mata yang tak terbendung mulai membanjiri. Namun, ia tahu, mereka tidak punya banyak waktu.
“Tolong, jelaskan bagaimana prosesnya,” pinta Freya, suaranya kini lebih tenang, setelah susah payah menguasai kembali dirinya.
Vergana maju, mengambil sejenis kristal berbentuk jam pasir yang berkilauan dalam cahaya biru redup.
“Kristal ini adalah kunci untuk masuk ke dalam Ruang Pemisah. Saat seseorang masuk, kenangan-kenangan mereka akan dipindahkan dan identitas mereka di dunia ini dihapus. Namun prosesnya tidak instan. Mereka harus melewati tahapan di mana mereka merelakan semua kenangan itu, termasuk kenangan tentang keluarga, teman-teman, bahkan tentang diri mereka sendiri.”
Freya menatap kristal itu dengan mata yang penuh pertanyaan dan rasa takut. “Apa yang terjadi kalau proses itu gagal?”
Vergana menunduk. “Jika gagal, maka ruang dan waktu akan semakin kacau, dan identitasmu bisa hilang di antara dimensi. Tidak hanya kau, tapi juga orang-orang yang kau sayangi.”
Mendengar itu, teman-teman mereka saling berpandangan, ketakutan semakin menguasai mereka.
****
Malam itu, saat mereka beristirahat di dekat pintu masuk Ruang Pemisah, Freya duduk termenung, merasakan beban yang luar biasa sesak di dadanya. Dia memandang Raka, yang duduk sendiri di tepi jurang dimensi itu, tampak begitu tenang tapi juga rapuh.
Freya mendekat, duduk di sampingnya. Tangan mereka hampir bersentuhan. “Raka, aku takut kehilanganmu.”
Raka tersenyum tipis, menggenggam jemari Freya erat. “Aku tidak akan benar-benar hilang. Karena aku membawa kalian semua dalam hatiku.”
Saat mereka berbicara, di balik layar Ruang Pemisah, sebuah suara halus terdengar, “Segala keputusan membawa konsekuensi. Tapi takdirmu belum berakhir.”
Freya dan Raka saling menatap, menyadari bahwa perjalanan mereka belum benar-benar selesai.
Malam berganti, dan saat semua tertidur, Raka berdiri sendiri di ambang pintu cahaya Ruang Pemisah. Dalam genggamannya, kristal jam pasir memancarkan kilatan merah samar.
Dia menarik napas dalam, memejamkan mata, dan berkata pelan, “Sudah waktunya.”
Dengan satu langkah tegas, Raka melangkah ke dalam cahaya, menghilang di antara kabut dan detak jantung Ruang Pemisah.
Di belakangnya, Freya menutup mata, berbisik dalam hati, “Jangan pernah menyerah, Raka. Kami akan menunggumu.”
Namun di sudut gelap Ruang Pemisah, sesuatu bergerak perlahan. Kilatan merah dari kristal itu pecah menjadi serpihan kecil yang terbang ke arah bayangan samar. Sosok yang bukan manusia, tapi sesuatu yang jauh lebih gelap muncul.
Tiba-tiba, dalam diam, sebuah sosok lain muncul di tengah kabut biru, bukan Raka yang mereka kenal, tapi sosok dengan mata bercahaya merah dan senyum dingin yang tak dikenal. Ruang Pemisah tidak hanya menghilangkan kenangan, tapi juga membuka jalan bagi bayangan yang selama ini tersembunyi dalam jiwa Raka. Pertarungan yang sebenarnya baru saja akan dimulai.
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan