Tidak semua kebangkitan berarti kemenangan. Terkadang, itu hanyalah bentuk baru dari kehancuran yang lebih fatal.
Suasana pagi di kota Aetherium tampak beku meski matahari bersinar terik. Burung-burung tak lagi terdengar berkicau, jam-jam di menara kota tidak bergerak, dan udara terasa berat seolah mengandung rahasia yang menolak untuk diucapkan. Freya berdiri di balkon asrama sekolahnya, memandangi langit yang retak tipis seperti kaca tua. Sejak dimensi pecahan tertutup, dunia belum benar-benar pulih. Dan kini, dunia menyimpan sesuatu yang jauh lebih menyeramkan, keheningan sebelum badai menyerang.
"Kau melihatnya juga, kan?" tanya Yara, datang dari arah belakang sambil menyampirkan hoodie ungunya di pundak.
Freya menoleh. "Langit yang seperti cermin? Atau waktu yang terasa enggan bergerak?"
"Keduanya. Dan suara itu... dari jam kota. Kau dengar?"
Freya mengangguk. Setiap malam pukul tiga lewat tujuh menit, suara berderak seperti rantai terdengar dari arah menara kota, seolah sesuatu sedang membongkar fondasi waktu.
Hari itu, mereka berlima menerima sebuah pesan misterius. Semua anggota tim inti—Freya, Raka, Yara, Neo, serta Zayn, menerima undangan digital yang aneh serta tanpa nama pengirim. Hanya satu nama yang muncul pada layar. Callindra.
Mereka berkumpul di ruang rahasia bawah tanah sekolah, tempat lama yang pernah mereka gunakan untuk misi-misi terdahulu. Ketika mereka tiba, sosok lain berdiri di tengah lingkaran cahaya biru, Vergana.
"Selamat datang," ucapnya dengan nada datar, namun tak bisa menyembunyikan ketegangan yang menyelimuti ruangan itu.
"Vergana? Apa ini jebakan lagi?" Raka bertanya, tatapannya tajam seperti biasa. Namun, kini ada sesuatu yang lebih kelam di balik matanya, sisa bayangan Freya versi dimensi lain yang menyatu dengannya.
Vergana menatap mereka satu per satu. "Aku tahu kalian tak percaya. Tapi Callindra bangkit bukan untuk menguasai, melainkan memperbaiki. Kalian tahu sendiri, bukan, bahwa waktu telah berjalan tak stabil? Realitas mulai menolak logika. Jika kita tidak melakukan sesuatu, dunia akan runtuh perlahan-lahan."
"Dan kita harus percaya begitu saja? Setelah semua yang kau lakukan?" seru Yara. "Kau lupa bagaimana Callindra dulu menculik orang demi eksperimen?"
"Aku bukan bagian dari Callindra lama. Aku—aku adalah ...." Vergana terdiam sejenak, matanya tampak bergetar. "Aku adalah rekonstruksi. Dibentuk dari kenangan semua versi Freya yang pernah ada di seluruh dunia alternatif. Aku diciptakan kembali bukan untuk memimpin atau menjadi raja, tapi untuk menjaga jalur waktu yang stabil. Aku... bagian dari kalian."
Ruangan menjadi sunyi. Neo tampak tercengang, Zayn mengerutkan alis, dan Freya .... Gadis itu mundur satu langkah, tubuhnya terasa dingin.
"Maksudmu... kau adalah bagian dari diriku?" bisik Freya merasa tak percaya.
"Sebagian besar, ya. Kenanganmu saat kau berbohong, saat kau mencinta, saat kau mengkhianati dan dikhianati. Semua ada dalam diriku. Aku dibentuk agar bisa mengetahui serta mengahdapi semua kemungkinan dan pilihan."
Raka menggenggam tangan Freya tanpa berkata-kata, seolah ingin melindunginya dari kenyataan yang baru saja terungkap.
"Kami membentuk Callindra kembali," lanjut Vergana. "Tapi kali ini, bukan untuk mengendalikan, melainkan menyatukan fragmen realitas yang tercerai berai. Ada sebuah perangkat yang harus dibangun. Sebuah Mesin Korektor Realitas. Tapi kami tak bisa mengoperasikannya tanpa izin kalian. Lebih tepatnya, tanpa persetujuan Freya."
"Kenapa aku?" tanya Freya lirih.
"Karena kau titik simpul dari semua realitas. Karena keputusanmu menutup dimensi dulu... mengubah semuanya. Kini kita harus memperbaiki jalur itu, atau semuanya lenyap."
Raka melangkah maju. "Tunggu. Jika mesin ini dibangun, apa konsekuensinya?"
Vergana menarik napas panjang. "Mesin ini akan mencari satu jalur utama yang paling stabil, dan menghapus semua realitas lain yang bertentangan. Dalam kata lain—banyak versi kehidupan, kenangan, bahkan orang-orang... akan hilang."
Yara menggigit bibir bawa. Ekspresi terkejut tergambar jelas di wajahnya. "Jadi... kita harus memilih satu versi masa depan, dan sisanya menghilang? Sungguh itu tak adil!"
"Itulah sebabnya kami meminta bantuan kalian, bukan memaksa," ucap Vergana. "Callindra bukan organisasi lagi. Ini adalah pilihan. Dan waktu kita tidak banyak. Retakan di langit hanyalah permulaan."
****
Malamnya, Freya duduk sendiri di atap sekolah. Angin dingin menyentuh wajahnya, dan bayangan dirinya sendiri yang terpantul dalam cermin dari dunia mimpi, berdiri di sampingnya.
"Bagaimana jika aku salah memilih lagi?" bisik Freya.
"Itu bukan soal benar atau salah," jawab bayangan itu. "Tapi soal apa yang siap kau korbankan."
Langkah kaki terdengar mendekat. Raka datang dan duduk di samping Freya tanpa berkata apa-apa selama beberapa detik.
"Kau pikir kita harus bekerja sama dengan mereka?" tanya Freya dengan suara yang bergetar dan hampir putus asa.
"Aku... tak tahu. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, aku tak mau kehilanganmu. Jika mesin itu memilih realitas di mana kita tak pernah bertemu... aku—"
"—aku juga takut," potong Freya cepat. "Tapi kalau dunia ini hancur... kita semua akan hilang. Bukan hanya kita."
"Maka kita pertaruhkan segalanya lagi. Bersama."
"Kita harus membuat kesepakatan agar tak merugikan kedua belah pihak."
Raka mengangguk mantap. Secercah harapan membuncah dalam dadanya.
****
Keesokan harinya, mereka semua berdiri di pusat baru Callindra, sebuah fasilitas megah di bawah permukaan tanah, terbuat dari kaca hitam dan logam transparan yang berdenyut dengan cahaya biru. Di tengah ruangan, sebuah mesin raksasa berdiri—belum lengkap, namun bentuknya seperti kristal berlapis, dengan simbol tak dikenal berputar di sekelilingnya.
Freya melangkah ke depan. "Kami akan membantu kalian. Tapi dengan satu syarat, tidak boleh ada yang dikorbankan tanpa persetujuan. Tidak ada pemusnahan sepihak. Kita cari cara lain, jika itu berarti kita harus mempertaruhkan hidup, maka biarlah. Tapi bukan melenyapkan eksistensi."
Vergana menunduk. "Aku harap ada jalur pilihan lain. Aku juga ingin tetap ada, tapi ...."
Raka menatap Vergana, mata tajamnya seperti sedang menyelidiki. "Kau tahu kemungkinan itu kecil, bukan? Kau sendiri mungkin akan hilang jika jalur utama yang dipilih bukan dari ingatan Freya."
Vergana tersenyum lemah. "Aku diciptakan untuk menjaga takdir, bukan memilikinya. Jika keberadaanku harus hilang agar dunia utuh... maka aku akan lenyap dengan senang hati."
Freya menatapnya lama. Untuk pertama kalinya, ia merasa sedang berbicara dengan dirinya sendiri, versi yang lebih tua, lebih lelah, tapi penuh kasih.
Namun, saat mereka akan meninggalkan ruangan, sesuatu yang tak terduga pun terjadi.
Mesin yang belum selesai berdenyut dengan cahaya tak biasa. Lampu-lampu padam sejenak, dan suara dengungan misterius memenuhi udara. Simbol-simbol di dinding mulai menyala dengan merah menyala. Vergana tampak terkejut, lalu refleks berteriak, "ini seharusnya belum waktunya! Seseorang mengaktifkannya dari luar!"
Freya membeku. Raka langsung berdiri di depan Freya, melindunginya.
Dan di layar tengah, muncul sebuah kalimat yang membuat semua terkejut.
Realitas baru terdeteksi. Proses rekonstruksi dimulai. Prioritas: Prototipe Freya Alpha.
Semua mata beralih pada Vergana. Pria itu tampak terguncang. "Itu... bukan aku. Itu berarti... seseorang di masa depan mengendalikan mesin ini. Prototipe Freya Alpha—itu aku... tapi versi yang belum sempurna. Yang—yang seharusnya tak pernah bangkit."
Raka mengepalkan tangan. "Kita punya musuh baru. Dan dia bukan bagian dari masa lalu... tapi masa depan yang belum terjadi."
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan