Langit dalam mimpinya tidak memiliki warna. Bukan biru, juga bukan kelabu, bahkan tak terlihat gelap. Hanya hamparan kosong yang membentang tak berujung. Saat Freya membuka matanya, ia berdiri di sebuah koridor panjang yang seolah-olah terbuat dari cermin. Setiap langkahnya memantulkan bayangannya kembali. Namun, ada sesuatu yang aneh, bayangan yang terpantul dalam cermin, tidak selalu bergerak seperti dirinya.
Ia menyentuh salah satu dinding. Dingin. Padat, tetapi nyata, meski ia tahu dirinya kini sedang berada dalam alam mimpi. Dari balik pantulan itu, versi lain dirinya menatap balik. Wajah yang sama. Mata yang sama. Namun dengan sorot mata yang berbeda, lebih tajam, lebih kelam.
"Kenapa aku di sini?" tanya Freya lirih. Suaranya terdengar menggema.
Bayangan itu tersenyum. Namun, senyum yang ditunjukkannya, bukanlah senyum ramah. "Karena kuperhatikan, kau akhirnya telah siap. Sepenuhnya telah memiliki keberanian melihat dirimu yang sebenarnya."
Freya mundur selangkah. "Aku bukanlah kau."
"Justru itulah masalahnya," jawab sang bayangan. "Kau selalu menolak bagian terdalam dari dirimu. Menolak merasakan semua rasa takut serta segala kebimbangan. Kau menyembunyikannya, berharap menjadi sempurna. Namun, di sinilah aku, bukti bahwa kesempurnaan itu hanya ilusi," terang sang bayangan.
Koridor itu tampak berdenyut, seperti ada bayangan serupa fatamorgana yang muncul di tenga-tengah oase. Tiba-tiba saja, Freya berdiri di tengah kelas lamanya. Meja-meja tersusun rapi. Di papan tulis tertera sebuah tulisan yang membuat Freya semakin merasa bingung.
Siapa sesungguhnya dirimu jika bukan bayangan dari pilihan-pilihanmu dan bukan pula menjadi versi terbaik dari dirimu?
Di sudut ruangan, versi dirinya duduk sambil menatap jendela.
"Apa maksudmu dengan 'versi terbaik'?" tanya Freya.
Bayangan Freya menoleh. "Setiap keputusan yang kau buat menciptakan cabang. Versi alternatif atau pilihan dari dunia. Versi lainnya. Di beberapa dunia, kau gagal. Di beberapa lainnya, kau lebih kuat. Namun, ada satu dunia ..., di mana kau tidak pernah bertemu Raka."
Jantung Freya berdetak lebih cepat. "Kenapa itu bisa terjadi?"
"Karena di dunia itu, kau tidak pernah kehilangan siapa pun. Tidak harus menyelamatkan siapa pun. Dan tetap saja, kau menjadi lebih kuat. Lebih utuh."
"Jadi aku lemah karena aku peduli pada Raka?"
Bayangan itu berdiri dan mendekatinya. Wajah mereka kini sejajar.
"Tidak. Kau lemah karena kau membiarkan rasa sayang itu membutakanmu. Kau tahu dia berubah. Kau tahu ada sesuatu yang salah. Tapi kau terus berharap dia bisa kembali."
Freya menunduk. "Aku percaya sepenuhnya pada dia."
"Kepercayaanlah yang justru membunuhmu perlahan. Dan jika kau tidak siap, saatnya akan datang ketika kau harus memilih, menyelamatkan dunia... atau menyelamatkan dia."
Cermin-cermin di sekeliling mereka bergetar, memunculkan gambar-gambar bayangan memori dari masa lalu. Freya menangis di pelukan Raka. Freya berdiri di depan pisau yang dulu dia pegang. Freya berteriak pada teman-temannya. Dan di bagian akhir, Raka menatapnya dengan sorot mata kelam dan sendu. Ia tersenyum dengan darah di tangannya.
"Berhenti!" teriak Freya. "Itu bukan dia. Itu bukan aku!"
"Bukan sekarang," kata bayangan itu tenang. "Tapi waktu bergerak, Freya. Dan dunia tidak menunggu untukmu bersiap."
Semua cermin pecah dalam ledakan cahaya putih. Saat Freya membuka matanya, ia tengah terduduk di ranjangnya dengan napas memburu dan tubuh basah oleh keringat. Jam menunjukkan pukul 03:33. Udara malam terasa dingin menusuk tulang. Ia memandang ke luar melalui jendela. Tubuhnya seketika saja membeku. Di kaca jendela, pantulan wajahnya menatap balik. Namun, bayangan itu tersenyum, kemudian menghilang dengan sangat cepat.
****
Esoknya, Freya membisu selama menyantap menu makan siang di sekolah pada jam istirahat bersama teman-temannya. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya bahkan ketika Yara mencoba menyapa dengan semangat.
"Kamu baik-baik aja, Freya?" tanya Neo mengamati wajah Freya, lalu menyuapkan nasi dan sepotong rolade ke mulutnya. "Sejak kemarin... kamu kelihatan nggak kayak biasanya," lanjut cowok berambut ikal itu di sela-sela kunyahannya.
Freya menatap mereka, lalu mengangguk pelan. "Aku cuma mimpi buruk. Tapi... mimpi itu terasa nyata, bahkan terlalu nyata, hingga aku merasa itu bukan hanya sekadar bunga tidur."
Zayn ikut duduk dan berbisik, "Kau melihatnya lagi, ya? Versi dirimu yang lain?"
Freya tak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil. Meskipun lapar, kali ini Freya kehilangan selera makan. Sehingga, menu makan siang kali ini, sama sekali tak tersentuh olehnya.
****
Sepulang sekolah, Freya kembali ke atap gedung tempat ia biasa menyendiri. Langit mendung, dan angin menerbangkan lembaran kertas yang entah milik siapa. Ia duduk di tepi, memandangi cakrawala.
"Apa artinya semua ini?" gumamnya. "Kenapa aku harus menjadi musuh dari orang yang paling ingin aku selamatkan?"
Langkah kaki terdengar mendekat. Suara itu sangatlah familiar.
"Karena terkadang, musuhmu bukan siapa pun di luar sana. Tapi pilihan-pilihanmu sendiri."
Freya menoleh. Di sana, berdiri Vergana, sang penjaga alur takdir dari masa depan. Wajahnya serius, sorot matanya tajam.
"Anda tahu sesuatu, bukan?" tanya Freya.
Vergana mengangguk. "Versi dirimu yang muncul dalam mimpi adalah bayangan dari jalur masa depan yang belum terjadi. Tapi ia juga peringatan. Dunia yang kau tutup belum benar-benar hilang. Jejaknya masih terikat dalam dirimu dan juga Raka."
"Kenapa aku? Kenapa kami?"
"Karena kalian berdua adalah simpul. Dua ujung tali dari takdir yang saling tarik menarik. Jika salah satu terlepas... keseimbangan akan hancur."
Freya memejamkan mata. "Aku takut. Bukan karena mimpi. Tapi karena... bagian dari diriku mulai percaya bahwa mungkin aku memang akan kehilangan Raka."
Vergana duduk di sampingnya. "Kau tak bisa menyelamatkan semuanya. Tapi kau bisa memilih. Dan kadang... pilihan itu butuh keberanian untuk melepaskan."
Malam itu, dengan perasaan yang berkecamuk, Freya menulis dalam jurnalnya. Tangan gadis itu sedikit gemetar. Bulir bening mulai menggenang di pelupuk mata, sedikit mengaburkan pandangannya.
Jika aku memang harus melawan Raka, aku ingin tahu kenapa. Aku ingin tahu apakah cinta yang kumiliki cukup kuat untuk melawan takdir. Atau justru cinta itu akan menjadi penyebab runtuhnya dunia ini.
Ketika ia menutup jurnal, sebuah getaran lembut terasa di udara. Kaca jendela memantulkan bayangan. Namun kali ini, bayangan itu tak tersenyum. Ia menatap Freya dengan mata kosong. Darah tiba-tiba saja mengalir dari matanya.
Di balik bayangan itu, terdengar sebuah suara yang berbisik lirih, "akan tiba saatnya kau harus melawan Raka... atau kau kehilangan segalanya."
Freya menatap dirinya sendiri. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa... takut pada dirinya sendiri.
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan