Dalam keheningan malam yang pekat, cermin kamar Freya bergeming seperti hidup—sosok yang bukan dirinya berdiri di balik kaca, menatap dengan mata yang berkilat dingin.
Freya terbangun dengan jantung berdebar kencang. Bayangan gelap dalam mimpinya masih tampak jelas di matanya. Ia menarik selimut hingga ke dagu, berusaha menenangkan napas yang tersengal. Namun, perasaan aneh itu tak kunjung hilang. Sesuatu telah berubah dalam dirinya.
Beberapa minggu terakhir, hidupnya terasa seperti berjalan di atas jembatan rapuh, di antara dunia nyata dan bayangan yang terus mengintai. Kekuatan gelap yang dulu dianggapnya alat untuk bertahan hidup kini menjadi belenggu yang perlahan menggerogoti jati dirinya. Freya mulai kehilangan ingatan tentang hal-hal yang dulu membuatnya merasa manusiawi—kenangan hangat bersama teman, momen-momen kecil penuh tawa, bahkan perasaan sederhana seperti bahagia dan takut.
Sementara itu, bayangan yang selalu muncul di cermin semakin nyata. Sosok itu bukan lagi hanya pantulan samar di permukaan kaca, tetapi terlihat jelas berdiri di balik kaca, menatap dengan mata yang berkilat dingin dan senyum yang mengerikan. Bayangan itu bergerak bebas di dunia Freya, mengikuti langkahnya, menyusup ke dalam pikirannya, dan merusak setiap upaya Freya untuk melawan.
Pada pagi yang suram, di ruang makan rumah Raka, cowok itu duduk di seberang meja, memandangi Freya dengan tatapan penuh kekhawatiran. Freya tampak letih, matanya sayu dan tak bertenaga.
“Freya, aku yakin, selama ini ada hal yang sedang mengganggu pikiranmu. Kamu harus menceritakan semuanya padaku,” kata Raka lembut.
Freya mengangkat kepala perlahan. “Aku… aku tidak tahu harus mulai dari mana, Raka.”
“Ini tentang bayangan yang kamu ceritakan? Aku tahu kamu berjuang sendirian, tapi aku ingin membantu. Kita bisa cari jalan keluarnya sama-sama.”
Freya menunduk. “Aku takut, Raka. Aku takut kalau aku kehilangan diriku sendiri.”
Raka meraih tangan Freya dan menggenggamnya erat. “Aku ada di sini. Kamu nggak sendirian. Kita berjuang sama-sama”
Namun di balik kata-kata itu, Raka menyadari betapa besar jarak yang kini memisahkan mereka. Freya semakin tertutup, kadang menghilang tanpa jejak. Saat bersama, dia terlihat hadir tapi pikirannya seperti mengambang jauh, seolah ada sesuatu yang menghalangi dia untuk benar-benar kembali.
Hari-hari berlalu. Bayangan itu semakin berani. Ia tak hanya muncul di cermin, tetapi kadang muncul secara tiba-tiba di sudut ruangan, berdiri diam tanpa suara, hanya menatap Freya dengan sorot mata yang menusuk jiwa. Kadang, bayangan itu muncul di jendela saat malam, atau bahkan terlihat di balik pepohonan saat Freya berjalan sendiri.
“Kenapa aku harus menghadapi ini sendirian?” Freya sempat berbisik di dalam hatinya, merasa putus asa. Ia mencoba membuang bayangan itu. Namun, seolah-olah bayangan itu adalah bagian dari dirinya sendiri yang tidak bisa dihapus.
Sosok itu mulai berbisik dalam pikirannya setiap kali Freya merasa lemah. “Kamu tidak layak bahagia. Kamu hanyalah sisa-sisa dari diri yang dulu. Aku yang asli, dan kamu harus mengakuinya.”
Bayangan itu menanamkan benih keraguan yang meracuni setiap keputusan Freya. Ia mulai mempertanyakan segala hal. Apakah pilihannya selama ini benar? Apakah teman-temannya benar-benar peduli? Atau apakah semua ini hanya ilusi yang ia ciptakan sendiri?
Sementara itu, Raka mulai curiga bahwa ada sesuatu yang terasa sangat ganjil dengan Freya. Teman-teman mereka juga merasakan perubahan itu. Freya yang ceria dan penuh semangat berubah menjadi sosok yang dingin dan tertutup. Kadang ia tampak seperti berbicara sendiri, kadang pula seperti terperangkap dalam pikirannya sendiri.
Suatu sore, Raka mengajak beberapa teman dekat untuk berkumpul di rumahnya, mencoba mencari cara untuk membantu Freya.
“Kita harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Raka tegas. “Kalau Freya mulai kehilangan dirinya, kita harus menemukan cara supaya dia bisa kembali.”
Mereka membuka kembali buku-buku tua dan catatan tentang dimensi pecahan, bayangan, dan kekuatan gelap yang selama ini menjadi misteri bagi mereka.
“Dari semua yang aku baca,” ujar Neo, “bayangan itu bukan sekadar ilusi. Ia adalah manifestasi dari ketakutan terdalam dan potensi gelap yang tersembunyi dalam diri seseorang. Jika dibiarkan, ia bisa mengambil alih.”
Raka menatap teman-temannya dengan tekad. “Kita harus berjuang bersama. Freya adalah bagian dari kita, dan kita nggak boleh kehilangan dia.”
Di sisi lain, bayangan Freya mulai menyusup lebih dalam ke dunia mereka. Ia mulai berinteraksi secara diam-diam dengan teman-teman Freya dan Raka, menyamar sebagai Freya asli. Dengan kata-kata manis dan tipu daya halus, bayangan itu menabur benih keraguan dan konflik di antara mereka.
“Aku merasa Freya aneh akhir-akhir ini,” Yara. “Dia nggak seperti dulu lagi.”
Zayn pun menambahkan, “Mungkin dia sedang banyak pikiran dan butuh ruang untuk merenung sendiri. Kita harus menghagai itu sebagai privasinya.”
Namun bayangan itu terus memperkeruh suasana. Ia memanfaatkan keraguan itu untuk melemahkan ikatan mereka, sehingga saat konflik terjadi, Freya semakin terisolasi dan tak punya tempat untuk berlindung.
Freya, yang berjuang keras untuk mempertahankan jati dirinya, semakin merasa terkunci dalam perang batin yang melelahkan. Di momen-momen sepi, ia mulai kehilangan kemampuan membedakan mana kenyataan dan mana tipu daya bayangan. Kadang ia berbicara dengan bayangan itu dalam pikirannya sendiri.
“Kamu tak akan pernah menang,” ucap Freya tegas dalam hati.
Bayangan itu menjawab, “Aku adalah bagian dari dirimu, bagian yang kamu tolak. Jika kamu menolak aku, kamu juga menolak kekuatanmu sendiri.”
Pertarungan itu bukan hanya soal kekuatan, tapi soal penerimaan diri.
Suatu malam yang dingin, Freya memutuskan berjalan sendirian di tepi Sungai Fluvia, tempat di mana semua emosi pernah berkumpul. Air sungai berkilauan dengan warna-warna yang berubah-ubah mengikuti perasaan setiap orang di kota itu.
Di sana, bayangan itu muncul lagi, berdiri jauh di ujung dermaga. Ia melambai pelan, mengundang Freya mendekat. Freya merasa tertarik dan takut sekaligus.
Langkahnya berat, namun ia tak mampu menahan diri untuk mendekati bayangan itu.
“Kamu tidak bisa lari dariku,” suara bayangan itu lembut namun mengandung ancaman. “Aku adalah kamu yang sebenarnya. Aku adalah kekuatan yang kamu tolak. Bersama, kita bisa menguasai segalanya.”
Freya mengangkat kepala, ingin berteriak, tapi suara bayangan itu bergema memenuhi pikirannya.
Tepat saat Freya mencapai dermaga, Raka dan teman-temannya berlari menghampiri. Wajah mereka penuh kecemasan.
“Freya! Jangan dengarkan dia! Ingat, siapa kamu. Dirimu yang sesungguhnya itu baik hati!” teriak Raka dengan suara penuh harap.
Freya berdiri di antara dua dunia, berhadapan dengan bayangan dirinya sendiri. Saat itulah, bayangan itu membuka portal berkilauan yang menganga ke dunia dimensi pecahan. Bayangan itu ingin menarik Freya masuk ke dalam dunia gelap dan kacau itu, meninggalkan dunia nyata yang mulai rapuh.
Raka dan teman-teman berusaha sekuat tenaga untuk menarik Freya kembali, namun tarikannya terasa melemah, seolah ada kekuatan lain yang menahan.
Tiba-tiba, bayangan Freya berbicara dengan suara yang sama sekali berbeda — bukan dingin dan sinis, melainkan lembut dan penuh kehangatan. “Aku bukan hanya bayangan. Aku adalah bagian dari masa depanmu, Freya. Jika kamu menolak aku, kamu akan kehilangan semua yang pernah kau cintai.”
Freya menatap mata bayangan itu dengan tatapan yang terbuka lebar, sementara Raka dan teman-temannya hanya bisa terpaku dengan diliputi perasaan yang campur aduk, antara kebingungan dan juga takut.
Bayangan itu kemudian menghilang perlahan ke dalam portal yang tertutup sendiri. Di udara masih bergema satu pertanyaan yang menggantung.
Apakah Freya siap menerima masa depannya, atau memilih untuk mengabaikan dan kehilangan segalanya?
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan