Malam semakin larut, tapi mata Raka tetap terpaku pada layar hologram yang berdenyut dengan cahaya aneh. Garis-garis bercabang seperti akar pohon itu bergerak perlahan, seolah mengisyaratkan sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang pernah mereka bayangkan.
Raka mengusap wajahnya lelah. “Ini lebih rumit dari yang kita kira. Dimensi pecahan ini bukan hanya bayangan atau mimpi buruk yang kita ciptakan di kepala.”
Yara mengangguk serius sambil menunjuk satu titik di peta. “Lihat ini. Di sini, di pusatnya. Ada konsentrasi energi yang sangat kuat. Ini mungkin sumber utama dari ketidakstabilan.”
Zayn yang baru masuk membawa secangkir teh hangat, ikut menimpali. “Jadi, eksperimen Match Breaker dulu benar-benar mengacaukan ruang waktu?”
“Benar,” jawab Neo. “Eksperimen itu mencoba membelah energi dimensi untuk mendapatkan kekuatan yang tidak terbayangkan. Tapi malah menciptakan celah-celah—dimensi pecahan. Mereka bukan hanya fragmen ruang, tapi juga fragmen jiwa, ingatan, dan perasaan.”
Raka menatap tajam. “Kalau itu pecahannya, berarti bayangan Freya selama ini adalah bagian dari… realita alternatif atau pilihan?”
Yara mengangguk. “Dia adalah perwujudan dari sisi lain Freya yang terperangkap di dimensi itu. Bayangan itu bukan musuh, tapi sebuah pesan—peringatan.”
Freya yang sejak tadi diam mendengarkan, melangkah maju dengan wajah penuh kegelisahan. “Kalau begitu, apa yang terjadi kalau dua dunia ini menyatu? Apa yang akan terjadi pada kita?”
Yara menghela napas. “Kalau dua dimensi yang tidak stabil itu menyatu secara paksa, energi dari kedua dunia akan bertabrakan. Dunia kita bisa runtuh, seperti kaca yang retak melebar hingga pecah berkeping-keping.”
Raka menatap Freya, matanya menatap gadis itu iba. “Kamu harus melakukan sesuatu, Freya. Kamu yang terhubung dengan dimensi itu.”
Freya menggigit bibir bawahnya. “Tapi aku takut. Aku sudah mulai kehilangan ingatan dan perasaan yang membuatku menjadi manusia. Kalau aku masuk ke sana, aku khawatir aku akan hilang… dan digantikan oleh bayangan itu.”
Tiba-tiba, ruangan menjadi dingin. Suasana mencekam menyelimuti setiap sudutnya. Sebuah suara lembut tapi tegas terdengar dari arah sudut ruangan.
“Freya…”
Semua menoleh dan melihat sebuah cahaya lembut yang berpendar, membentuk sosok bayangan Freya yang lain. Sosok itu tampak samar, tapi tatapannya tajam dan penuh kesedihan.
“Ini pertama kalinya dia benar-benar muncul di dunia nyata,” bisik Yara.
Bayangan itu melangkah mendekat. “Aku datang bukan untuk melawanmu. Aku datang untuk membantumu menemukan kebenaran yang selama ini kamu hindari.”
Freya mundur selangkah, napasnya bergetar. “Kenapa aku harus percaya padamu?”
Bayangan itu tersenyum sendu. “Karena aku adalah bagian dari dirimu. Semua kekuatan dan rasa sakit yang kau coba sembunyikan, aku ingin kau menerima itu, agar kamu bisa menyelamatkan diri dan dunia kita.”
Raka maju dan berkata dengan tegas, “Freya, ini bukan waktunya untuk ragu. Kami semua di sini mendukungmu. Tapi kamu harus siap menghadapi apa pun di dunia itu.”
Freya menatap mereka semua. “Aku tahu aku harus melakukan ini. Tapi aku merasa seperti terbelah menjadi dua—satu bagian ingin bertahan dan satu bagian lagi ingin menyerah.”
Zayn menepuk bahunya dengan lembut. “Kita di sini untuk membantumu, Freya. Kita akan melalui ini bersama.”
Malam itu, Freya berbaring di tempat tidurnya, mata menatap langit-langit dengan penuh pergulatan. Hatinya penuh dengan pertanyaan, tapi satu hal yang pasti: dia harus mencari jawaban di dimensi pecahan.
Keesokan harinya, Raka, Yara, dan semua teman mereka berkumpul di ruang bawah tanah rahasia mereka. Di tengah ruangan, lingkaran energi bercahaya lembut mulai terbentuk.
“Ini jalur energi yang sudah aku pelajari,” jelas Yara sambil menunjuk kristal bercahaya yang mengambang di udara. “Kristal ini akan membuka portal menuju dimensi pecahan. Tapi portalnya tidak stabil. Satu langkah salah bisa membuatmu terjebak di sana.”
Raka mengangguk mantap. “Aku akan menemani Freya, pastikan dia aman.”
Freya menghela napas dalam-dalam. “Aku siap.”
Saat Freya berdiri di tengah lingkaran bercahaya itu, tangan gemetar memegang kristal. Raka berdiri di sampingnya, mengulurkan tangan sebagai tanda dukungan.
“Jangan takut,” kata Raka. “Aku akan selalu ada di sini.”
Dengan tekad kuat, Freya melepaskan energi dari kristal itu. Pusaran cahaya terbentuk, memancarkan warna-warna pelangi yang memukau.
“Selamat jalan, Freya. Hati-hati," ucap Raka lirih, matanya mulai berkaca-kaca, mengaburkan pandangannya.
Freya masuk ke dalam pusaran cahaya dan tubuhnya terasa ringan seperti melayang. Dunia berubah menjadi kabut warna ungu dan biru yang misterius.
Ketika kabut perlahan menghilang, Freya menemukan dirinya berdiri di dunia yang asing tapi memikat. Bentuk-bentuk aneh melayang dan bergerak di udara. Suara bisikan seperti angin malam membawa kenangan yang samar.
Dari kejauhan, bayangan dirinya muncul lagi, tapi kali ini ia tampak lebih manusiawi, lebih hidup.
“Kamu sudah datang,” suara itu lembut tapi tegas.
Freya menatap bayangan itu dengan campuran takut dan penasaran. “Siapa kamu?”
“Aku adalah kamu—atau tepatnya, bagian dari masa depan yang bisa terjadi jika kamu memilih jalan tertentu.”
Freya melangkah maju. “Apa yang harus aku lakukan?”
Bayangan itu mengulurkan tangan dan berkata, “Aku akan menunjukkan rahasia dimensi pecahan ini. Tapi kamu harus siap menerima semua bagian dirimu.”
Mereka berjalan melewati lorong-lorong yang terus berubah bentuk, penuh dengan simbol dan cahaya yang berkelip. Freya merasa setiap langkahnya seperti menyelam lebih dalam ke dalam dirinya sendiri.
“Aku tak pernah tahu ada sisi diriku yang begitu gelap dan kuat,” ucap Freya dengan suara bergetar.
“Semua orang punya sisi gelap. Namun, yang membedakan adalah bagaimana kita menerimanya,” jawab bayangan itu.
Mereka tiba di sebuah ruangan bercahaya remang dengan dinding penuh coretan dan tulisan kuno. Bayangan itu mulai menjelaskan.
“Dimensi pecahan tercipta dari energi yang terpecah akibat eksperimen Match Breaker dulu. Energi itu tak terkendali dan menciptakan dunia alternatif yang rapuh dan berbahaya.”
Freya mengernyit. “Apa yang terjadi jika dua dunia ini menyatu?”
“Keruntuhan total,” jawab bayangan itu. “Kita harus menghentikan penyatuan itu.”
Freya menggenggam tangan bayangan itu erat-erat. “Aku takut.”
“Ketakutan adalah bagian dari perjalananmu,” bisik bayangan itu.
Tiba-tiba, bayangan itu berubah wujud. Sosok itu menjadi Raka—atau lebih tepatnya, versi bayangan Raka dari dimensi pecahan.
Freya terpaku, tak percaya. “Raka? Apa maksudnya?”
Bayangan Raka tersenyum sedih. “Aku bukan Raka yang kamu kenal. Aku adalah bayangan masa depan dari dunia pecahan, yang menunjukkan apa yang bisa terjadi jika kita gagal.”
Freya menunduk, bergulat dengan perasaannya sendiri. “Jadi, ini ujian?”
“Ya. Ujian untuk menentukan apakah kamu siap menerima semua bagian dirimu dan menyelamatkan kedua dunia.”
Freya mengangguk pelan, penuh tekad. “Kalau begitu, aku siap.”
****
Freya masih berdiri di hadapan sosok bayangan Raka, tubuhnya sedikit gemetar, bukan karena takut, tapi karena jiwanya bergetar. Ada sesuatu dalam tatapan sosok itu—sesuatu yang sangat mirip dengan Raka, namun juga sangat berbeda.
"Aku... tidak mengerti," gumam Freya lirih. "Kalau kamu bukan Raka yang aku kenal, mengapa kamu tampak begitu nyata? Kenapa kamu mengingat semua hal tentangku?"
Bayangan Raka melangkah mendekat, dan untuk sesaat, Freya ingin mundur. Tapi dia menahan diri.
"Karena di dimensi ini, semua kemungkinan tentang dirimu dan orang-orang di sekitarmu hidup dan berkembang seperti cabang-cabang pohon," jawabnya tenang. "Aku adalah kemungkinan dari Raka, itu pun jika dia gagal menyelamatkanmu dan bila dia membiarkan kegelapan menguasai hatimu."
Freya menahan napas. Luka itu masih terasa perih dan masih segar dalam ingatannya. Sebuah perasaan takut, bahwa ia telah melukai mereka semua dengan ketidakseimbangannya.
"Freya, dengarkan aku." Suara itu lebih dalam sekarang, nyaris menyerupai gema. "Setiap kali kamu menolak sisi gelapmu, kamu menciptakan retakan lain di dunia ini. Dan setiap retakan itu menelan sepotong dari dunia nyatamu."
Freya menatapnya, matanya mulai berkaca. “Tapi bagaimana aku bisa menerima sisi gelapku tanpa kehilangan diriku sendiri?”
Bayangan Raka mengangguk lembut. “Dengan tidak sendirian. Dunia ini, dimensi pecahan ini, dihidupkan oleh kesepian. Dan kamu terlalu lama memikul beban sendirian.”
****
Flashback Singkat: Kenangan Freya dan Raka
Freya tiba-tiba tersentak oleh kilasan kenangan. Sebuah sore di atap sekolah. Raka dan dia duduk berdampingan, menatap langit jingga.
"Aku nggak tahu, akan jadi seperti apa nantinya," ucap Freya dalam kenangan itu. "Kadang aku takut menjalani hidup yang salah, atau tumbuh menjadi manusia yang jahat dan melukai banyak orang."
Raka tersenyum tulus waktu itu sembari menatapnya dengan sorot mata yang lembut. “Kamu nggak perlu tahu kamu akan tumbuh seperti apa di mana depan. Yang penting kamu yang sekarang berani jadi dirimu sendiri dalam enjalani hari demi hari. Biarkan itu mengalir apa adanya."
Perlahan-lahan, kenangan bersama Raka pun memudar, mengembalikan Freya ke tempat semula ia kini berada, dimensi pecahan. Air matanya perlahan-lahan menetes, membanjiri kedua pipi. Namun, tangis pilunya kini, tanpa suara.
"Aku... rindu dia," bisiknya.
"Dia tidak pernah pergi," jawab Bayangan Raka. "Tapi kalau kamu ingin dia tetap ada, kamu harus menyelamatkan dunia ini."
Tiba-tiba, muncul sosok lain dari balik kabut, Sasmita. Namun, ini juga bukan Sasmita yang Freya kenal. Versi ini tampak lebih dingin, mengenakan jubah panjang dan mata yang penuh ambisi.
"Jangan percaya padanya," kata Bayangan Sasmita dengan sorot mata tajam. "Bayangan Raka ini manipulatif. Dunia ini butuh pemimpin, bukan perasa."
Freya mundur. “Apa maksudmu?”
Bayangan Sasmita mendekat. “Kamu bisa jadi penguasa di dimensi ini. Dengan kekuatanmu sekarang, kamu lebih dari sekadar penjaga. Kamu bisa menciptakan keseimbangan baru.”
“Dengan menghancurkan dunia nyata?” Freya menatapnya tak percaya.
“Bukan menghancurkan,” jawab Bayangan Sasmita. “Menggabungkan. Satukan dua dimensi, lalu bentuk dunia tanpa batas.”
Freya gemetar. Tawaran itu ..., begitu menggoda sekaligus menjerumuskan, bila ia salah mengambil langkah serta keputusan.
Konflik Batin: Daya Tarik Kekuasaan vs. Empati
Freya menunduk. Di dalam hatinya, suara kecil mulai berbicara. Bayangan dirinya yang asli—yang dulu lemah dan takut—tiba-tiba muncul sebagai percikan cahaya di sisi bayangan Raka.
“Jangan biarkan mereka memanfaatkan luka hatimu untuk memaksa keputusan,” suara itu lembut, mirip suara dirinya saat kecil. “Kamu tahu siapa kamu, Freya.”
Bayangan Sasmita mencibir. “Kelemahan itu yang membuatmu ditinggalkan. Bahkan Raka pun akan menyerah jika kamu terus menjadi lemah.”
“Cukup!” Freya berteriak, gema suaranya mengguncang langit dunia pecahan. “Kalian semua adalah bagian dari pikiranku. Tapi hanya aku yang bisa memilih. Aku akan menyelamatkan dunia ini. Bukan karena ingin menjadi pemimpin. Tapi karena aku mencintai mereka semua.”
Bayangan Raka menunduk pelan. “Kalau begitu, kamu sudah siap.”
Tiba-tiba, tanah di bawah mereka retak. Cahaya ungu menyala terang dari celah-celahnya. Langit berubah warna, dan angin keras menerpa seluruh dimensi.
Bayangan Sasmita memudar. “Kamu telah menentukan jalan yang sulit. Kita akan bertemu lagi… di medan perang.”
Freya berbalik ke bayangan Raka. “Apa yang terjadi?”
“Kamu sudah membuka kunci terakhir dari dimensi ini. Dunia pecahan kini menyadari bahwa kamu adalah ancaman sekaligus juga harapan.”
Sebelum Freya pergi, bayangan Raka menarik sesuatu dari balik jubahnya—sebuah benda kecil bercahaya.
“Apa itu?” tanya Freya.
“Potongan jiwa yang tertinggal saat kamu pertama kali memakai kekuatan gelapmu,” jawab bayangan itu. “Kalau kamu ingin kembali utuh, kamu harus menggabungkannya kembali ke dalam dirimu. Namun, ada risikonya.”
“Apa risikonya?”
“Kamu akan tahu kebenaran… bukan hanya tentang dirimu, tapi tentang seseorang yang telah memanipulasi semua ini sejak awal.”
Freya terdiam. “Siapa?”
Bayangan Raka menatap lurus ke arahnya. “Raka... versi aslinya... mungkin bukan seperti yang kamu kira.”
Freya membeku. Dunia di sekitarnya berputar. Sebuah kebenaran yang tak pernah ia sangka perlahan menyusup ke pikirannya.
Dan di tengah badai dimensi yang mengamuk, Freya menggenggam potongan jiwanya, dengan rasa takut, tapi juga tekad yang tak tergoyahkan.
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan