Apa yang kamu lakukan ketika suara di kepalamu bukan hanya milikmu sendiri, tapi milik seseorang yang menyerupai dirimu—dan jauh lebih jahat?
Langit Arkha berpendar merah darah saat Freya terbangun dari tidurnya yang tak wajar. Napasnya memburu, jantungnya berdebar keras. Mimpi itu kembali. Mimpi tentang dirinya sendiri, tetapi berbeda jauh dari yang ia jalani. Bukan dirinya yang ia kenal, melainkan sosok dengan mata penuh cela, senyum licik, dan tawa yang menggema seperti ironi dari takdir.
Sudah tiga malam berturut-turut bayangan itu muncul. Awalnya samar, hanya siluet di antara kabut. Namun, malam ini, sosok itu mulai buka suara.
"Kenapa kau terus berbohong pada dirimu sendiri, Freya?" kata bayangan itu dari dalam cermin.
Freya menggenggam selimutnya erat-erat. Selama ini, ia tak memberitahu Raka soal mimpinya. Tak ingin menambah kekacauan. Namun, ketakutan itu mulai menguasai hati dan pikirannya. Ia mulai mendengar bisikan bahkan saat terjaga. Terkadang, ia melihat bayangan dalam genangan air bergerak tak selaras dengannya. Menatapnya, seperti sedang menghakiminya.
Pagi itu, mereka menyusuri tepi Sungai Fluvia Sentis. Raka berbicara tentang rencana untuk menemukan lokasi sumber Heartstorm berikutnya, tapi Freya hanya setengah mendengarkan. Dunia sekitarnya terasa melambat. Suara Raka menjadi gema yang cukup jauh. Dan ketika ia menoleh ke permukaan sungai, ia melihat bayangan dirinya tersenyum kembali. Kali ini, sang bayangan melambaikan tangan.
"Freya, kamu baik-baik saja?" Raka menyentuh lengannya.
"I ..., iya" jawabnya cepat dan agak gelagapan. "Cuma, lagi mencoba berpikir keras dan memahami semua ini."
Raka menatapnya lama. Sejak kembali dari dimensi pecahan, Freya memang berubah. Lebih pendiam. Lebih mudah tersentak.
"Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, bilang, ya, jangan disembunyiin. Kamu nggak harus menanggung semuanya sendiri. Kita, kan, udah janji untuk saling berbagi."
Freya mengangguk. Namun, lidahnya terasa kelu, masih tak sanggup mengatakan kebenaran. Karena sebagian dari dirinya, mulai ragu, apakah ini semua memang gangguan? Atau ..., apakah ini hanya sekadar ilusi belaka?
Malam itu, ia memberanikan diri menghadap ke cermin. Ia berdiri di depan bayangannya sendiri dalam pantulan cermin, sembari menunggu kemunculan sosok yang selama ini mengusik pikirannya dan kerap muncul dalam mimpi-mimpinya. Sepuluh menit berlalu, tetapi tak ada tanda-tanda kemunculan sosok yang dinantinya. Namun, Freya masih tak beranjak. Ia masih tetap mematut diri di depan cermin. Ternyata, penantiannya tak sia-sia. Tepat di menit ke empat puluh lima, sosok yang ditunggu pun datang.
Shadow Freya.
"Akhirnya kau memanggilku," katanya dengan suara lembut seperti serpihan kaca.
"Kau itu sesungguhnya siapa?" bisik Freya. "Kenapa kau menyerupai aku? Apa kau tak bisa sedikit kreatif tanpa meniru diriku?"
"Karena aku adalah kamu. Versi yang kau kubur. Yang tahu bagaimana caranya bertahan tanpa takut. Yang tak pernah memaafkan. Yang tahu bahwa cinta hanya membawa kehancuran."
Freya menggeleng kuat-kuat. "Aku tak seperti itu!" teriaknya, mencoba menyangkal agar tak mudah terpengaruh.
"Bukan sekarang. Tapi kau akan jadi seperti itu. Kau seharusnya berterima kasih padaku. Karena aku ingin menyelamatkanmu. Sebelum kau dihancurkan oleh semua orang yang kau percayai."
****
Hari-hari berikutnya, bayangan itu tak lagi muncul hanya dalam cermin. Ia mulai menghantui langkah Freya. Dalam bayangan di dinding. Dalam pantulan di jendela. Dalam kilatan cahaya. Sosok itu mulai gencar membisikkan keraguan.
"Apa kau yakin Raka tak menyembunyikan sesuatu?"
"Apa kau pikir Lyra benar-benar ingin membantumu?"
"Apa kau masih percaya pada ‘cinta’?"
Freya mulai mempertanyakan segalanya. Ketika ia berbicara dengan Lyra, ia merasa Lyra menunduk terlalu cepat. Ketika Raka menghilang sebentar dari kamp mereka untuk mencari kayu bakar, Freya panik luar biasa.
Suatu malam, Freya mendengar tawa Shadow Freya dari balik pohon. Ia pun mencoba mengejar suara itu. Ia berlari dalam gelap, menembus akar dan semak, hingga tiba-tiba semuanya hening. Dan saat Freya berhenti, ia mulai menyadari bahwa ia telah melangkah terlalu jauh dari tempat semula.
Kini di hadapannya berdiri sebuah portal berputar dengan cahaya biru pucat. Sebuah cermin. Namun, kali ini bukan hanya cermin biasa, melainkan seperti celah antar realitas.
Sebelum ia sempat berpikir, tangan bayangan itu meraih tubuhnya dari dalam portal dan menariknya masuk.
Freya mendarat di ruangan aneh. Gelap, tetapi dipenuhi pantulan. Cermin-cermin menggantung di udara, memantulkan versi dirinya yang berbeda dengan berbagai macam ekspresi dan emosi. Marah, sedih, takut, dingin, tak terjamah, serta haus kekuasaan.
Di tengah-tengah ruangan itu, Shadow Freya tampak berdiri sembari mengamati.
"Selamat datang di ruang bawah sadarmu, yang sudah aku kuasai," katanya ringan seperti tanpa beban.
"Kenapa kau menarikku ke sini?"
"Karena ini waktunya kita menjadi satu. Kau terlalu rapuh bila berjalan sendiri. Aku hanya ingin melindungimu dengan mengambil alih."
Freya mundur. "Tidak. Kau bukan pelindungku. Kau adalah bagian dari luka yang belum kusembuhkan. Aku tak butuh dikendalikan oleh rasa takut."
"Benarkah? Maka buktikanlah! Jangan hanya berkata-kata saja. Tunjukkan bahwa kau bisa melawan aku."
Freya menutup matanya, berusaha menemukan jawaban. Shadow Freya memang terlihat tangguh. Namun, ia yakin, bayangan itu punya kelemahan, sama seperti dirinya. Karena sejatinya, tak ada satu pun yang terlahir sempurna. Lalu, ia mulai fokus pada satu hal yang tak pernah bisa dimiliki oleh Shadow Freya. Harapan.
Ia mengingat Raka. Wajahnya saat tertawa. Ketika mengeluh tentang mood swing hutan. Ketika selalu memaklumi kekurangannya, tanpa menghakimi atau menilai buruk.
Saat ia membuka mata, seberkas cahaya muncul di dadanya. Cahaya itu mengalir, lalu memantul ke cermin-cermin. Satu per satu, pantulan yang menakutkan pun mulai pecah.
Shadow Freya berteriak seperti merasakan kesakitan. "Jangan! Kau belum cukup kuat untuk melawanku!"
"Tapi aku tak sendiri. Ada empat teman lain yang berhati tulus di pihakku. Kamu tak punya jalinan persahabatan yang seperti itu," bisik Freya.
Keyakinan akan makna pertemanan itulah yang menguatkan serta membulatkan tekadnya untuk melawan bayangannya sendiri.
Namun sebelum ia sempat menghancurkan pantulan terakhir, sebuah tangan menahan lengannya dari belakang. Tangannya kecil, tetapi cukup kuat untuk menahan tubuh Freya.
Freya menoleh dan membeku. Seorang perempuan tampak berdiri di belakangnya. Sosok itu ..., juga versi lain dirinya. Bukan Shadow Freya. Sosok baru itu lebih dewasa. Lebih lembut.
"Ibu?" bisik Freya lirih.
Perempuan itu tersenyum. "Tidak, sayang. Aku adalah kemungkinan yang lain. Aku versi yang hidup jika kau memilih untuk melupakan. Sayangnya, kau memilih untuk mengingat. Maka, kau juga harus menerima bagian tergelapmu."
Shadow Freya menatap keduanya penuh dendam. "Kita akan bertemu lagi, Freya. Bahkan jika kau mengalahkanku kali ini, aku tetap bagian lain dari dirimu."
Freya menutup mata. "Aku tahu. Dan kali ini, aku tidak akan lari."
Bersamaan dengan pancaran cahaya menyilaukan yang kian membesar memenuhi ruangan, Shadow Freya dan versi Freya yang lebih tua pun lenyap.
****
Freya terbangun di hutan Arkha. Namun, kali ini, tubuhnya terasa lebih ringan. Dan... lebih kosong. Ia menatap tangannya. Benang-benang itu tampak jernih dari biasanya.
Raka berlari menghampirinya, tapi terhenti di tengah jalan. Seakan-akan, ada beban yang menahan kedua kakinya, hingga tak dapat digerakkan.
"Freya...?"
Tubuh Freya mulai menghilang. Seolah-olah realitas menolaknya.
"Aku... belum sepenuhnya kembali," bisiknya.
Suara Shadow Freya terdengar samar, menggema dari celah antara dunia.
"Jika kau ingin kembali, kau harus memilih. Aku atau dia. Kau tak bisa punya dua jiwa dalam satu tubuh."
Freya menatap ke langit Arkha yang kembali memerah serupa darah. Meskipun berat, dunia ini menunggunya untuk mengambil langkah dan menetapkan sebuah pilihan.
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan