"Apa jadinya jika kau membawa pulang fragmen dunia yang bukan milikmu?"
Freya dan Raka akhirnya kembali menjejakkan kaki di hutan Arkha, realitas terasa lebih rapuh dari sebelumnya. Langit tampak seperti kanvas yang belum selesai dilukis, dengan warna-warna yang tak konsisten bergulir seperti tinta basah. Jalan setapak yang dulu mereka susuri kini bergoyang perlahan, seolah-olah sedang bernapas. Suara-suara aneh mulai bermunculan dan saling bersahutan. Desahan, bisikan, dan kadang suara tawa anak-anak, bergaung dari segala arah. Padahal, tak ada satu pun makhluk hidup yang terlihat atau berkeliaran di sekitar situ.
Freya menyentuh batang pohon yang tampak familier, tapi kini terasa asing. Kulit pohonnya halus, hampir seperti kulit manusia. Saat disentuh, ia mendengar gumaman samar dalam benaknya. "Jangan lupa siapa kau. Jangan lupakan kami juga."
"Raka, kamu dengar suara itu?" tanya Freya pelan.
"Dengar suara apa?" Raka menatapnya dengan alis mengerut.
"Suara pohonnya ..., seperti berbicara."
Raka hanya menggeleng, tetapi raut wajahnya menunjukkan ekspresi yang tak yakin. Karena kenyataannya, dia juga mulai merasakan sesuatu yang sulit untuk dijelaskan. Sejak kembali dari dimensi prisma, keduanya mulai mengalami gangguan aneh. Mereka sering dibayangi kilasan ingatan yang bukan milik mereka.
Malam itu, saat mereka duduk di dekat api unggun, Freya terbangun dengan tubuh gemetar. Ia bermimpi menjadi seorang anak laki-laki bernama Kael, yang hidup di sebuah kota apung dan sedang melarikan diri dari perang. Ia bisa merasakan luka di kaki Kael, ketakutan di dadanya, dan rasa kehilangan yang menggumpal di tenggorokannya.
Di pagi harinya, giliran Raka yang diam membeku, menatap telapak tangannya sendiri seperti baru melihatnya untuk pertama kali. "Aku bermimpi aku adalah seorang wanita tua ..., di ujung dunia. Namaku Mireya. Aku menjaga kunci terakhir dari sesuatu yang disebut Pintu Satu Jiwa. Aku mati ..., karena mengkhianati seseorang. Namun, anehnya aku justru merasa bangga." Raka bergidik ngeri. Tubuhnya tampak gemetar.
Freya memandangnya dengan tatapan penuh cemas. "Raka, mungkin yang kita bawa bukan hanya sekadar fragmen. Kita membawa ... identitas yang lain."
Mereka memutuskan kembali ke tempat Cermin Memorium untuk mencari jawaban. Namun reruntuhan bundar itu telah menghilang. Yang tersisa hanyalah padang kosong dengan bekas lingkaran terbakar.
"Kita tak bisa kembali," gumam Freya. "Tapi mungkin ..., seseorang yang mengetahui kebenarannya, akan muncul dan mendatangi kita."
Malam berikutnya, saat kabut turun lebih awal dari biasanya, suara langkah kaki terdengar dari antara semak-semak. Raka sigap mengangkat tongkat sihir yang ia temukan di tengah perjalanan panjang mereka. Namun, sosok yang muncul membuat keduanya membeku.
Lagi-lagi mereka menghadapi sosok Freya. Namun, bukan Freya mereka yang sekarang. Sosok itu lebih dewasa, dengan rambut lebih panjang, dan mata yang memancarkan kekuatan luar biasa. Sorot matanya terlihat dingin. Freya masa depan, tapi versi yang lain lagi.
"Kalian membawa pulang lebih dari yang kalian kira," katanya datar. "Arkha akan mulai runtuh jika jejak dimensi itu tidak disucikan."
"Apa maksudmu?" tanya Freya semakin merasa bingung.
"Kalian telah mencampur benang dunia. Sekarang, realitas mulai keliru. Orang akan mulai bermimpi bukan sebagai diri mereka sendiri. Dan jika itu terus terjadi, satu-satunya cara semesta untuk bertahan adalah dengan membuang yang cacat."
Raka berdiri. "Lalu apa yang harus kami lakukan?"
Freya masa depan mengangkat tangannya. Sebuah peta muncul dari cahaya di udara. "Kalian harus ke jantung Arkha. Tempat di mana semua benang dunia bertemu. Di sana, kalian bisa memilih, apakah akan menghapus fragmen dari pikiran kalian, atau mengikatnya selamanya. Namun, setiap pilihan ada harganya. Jika kalian memilih untuk menghapusnya, kalian akan melupakan apa pun yang pernah kalian lihat di dalam prisma. Jika kalian memilih untuk mengikat, kalian akan kehilangan sebagian dari siapa diri kalian sebelumnya."
Freya dan Raka saling berpandangan. Kebisuan menyelimuti mereka beberapa saat. Sungguh pilihan yang sangat sulit.
"Bagaimana kalau kami tidak memilih?" tanya Raka akhirnya.
"Maka dunia akan memilih untuk kalian," jawab Freya masa depan sambil berbalik. "Dan itu biasanya bukan pilihan yang baik."
Freya mencoba mengikuti sosok masa depannya, namun ia menghilang begitu saja secepat kilat, melewati kabut. Yang tertinggal hanya peta bercahaya.
Saat keduanya menatap peta itu, titik-titik cahaya mulai menyebar, membentuk jaringan rumit seperti saraf otak.
"Jantung Arkha ada di sini," kata Freya pelan, menunjuk titik pusat. "Kita harus ke sana."
Namun, sebelum mereka sempat bergerak, kabut di belakang mereka membentuk wajah besar yang tampak seperti kumpulan kenangan. Wajah itu memiliki mata—mata dari setiap versi Freya dan Raka yang pernah ada di dimensi lain.
Wajah itu seolah-olah berbicara.
"Pilihanku sudah dibuat. Kalian tidak akan sempat memilih."
Tanah di bawah mereka tiba-tiba saja berguncang, lalu terbelah begitu saja. Freya dan Raka jatuh ke dalam kehampaan. Saat mereka jatuh, ingatan keduanya mulai bercampur satu sama lain. Freya merasakan cinta pertama Raka, dan Raka melihat kematian ibu Freya yang justru tak pernah ia kenal sebelumnya, termasuk tak pernah muncul dalam mimpi sekali pun. Suara mereka saling bersahutan, tetapi tak bisa didengar dengan jelas. Hanya suara-suara samar.
Sementara itu, peta yang mereka pegang terbakar perlahan, meninggalkan sebuah tulisan peringatan lainnya.
"Untuk mengikat benang, kau harus putuskan jalinan yang lama."
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan