Langkah kaki Freya yang tergesa menggema di lorong bawah tanah Callindra, tempat arsip tua disimpan di balik segel batu dan sensor energi. Aroma kertas lembab, logam karat, dan serpihan kristal patah menyatu dalam udara dingin dan sunyi. Berbekal rasa penasaran yang melanda, dengan cahaya lembut dari liontin kristalnya, Freya perlahan-lahan menyentuh segel logam tersebut.
“Kode akses: F-17-EL.”
Pelan-pelan, terlihat dinding pun bergerak, membuka celah ke ruang sempit yang penuh rak logam. Jari Freya menyusuri laci demi laci—hingga akhirnya menemukan sesuatu yang ia cari.
RAKA ELVADRA.
Tangan Freya bergetar saat menarik file itu keluar. Di dalamnya, ia menemukan sejumlah dokumen, berupa lembar rekrutmen, lembar hasil uji kekuatan, dan satu lembar khusus bertanda segel merah.
“DITOLAK. Ketidakstabilan emosi. Potensi luar biasa sebagai Penyambung Benang ditemukan. Namun tidak terkendali. Disarankan dikunci. Energi terlalu erat terhubung dengan emosi. Dikembalikan ke wali: Subira Elvardra.”
Freya menatap nama itu dalam diam. Rupanya nama belakang asli Raka adalah Elvadra.
"Subira. Ada hubungan apa Raka dengan nama tersebut?"
Napas gadis itu terasa tercekat di tenggorokan. Ini berarti ..., kekuatan Raka bukan hanya ada, tetapi dulu pernah berkembang.
Lalu, dikunci.
“Apa yang kau lindungi darinya, Subira? Mengapa kekuatannya dikunci? Mengapa Raka selama ini berusaha mati-matian merahasiakan kekuatannya?”
Sementara itu, di atap sekolah yang sunyi, Raka duduk diam, punggungnya bersandar pada tembok tua. Napas cowok itu terasa berat, seperti ada berton-ton beban tengah mengimpit dadanya. Sejak adegan-adegan aneh kerap muncul dalam mimpi-mimpinya belakangan ini, ada banyak hal yang tak bisa ia pahami. Bahkan, di rumahnya, ia sering menemukan beberapa dokumen peninggalan sang nenek dengan simbol-simbol aneh yang tak ia kenal. Semakin hari sejumlah tanya kian bertumpuk memenuhi isi kepalanya. Seperti ada gumpalan cahaya yang berputar dalam dirinya, tapi belum menyala sempurna.
“Kau ingat, Raka kecil ....”
Suara itu terdengar dari dalam mimpinya. Lalu, tiba-tiba, dunia pun berubah.
****
FLASHBACK – LIMA BELAS TAHUN LALU
Anak kecil dengan mata tajam tengah duduk di lingkaran batu bercahaya. Di hadapannya, sepasang orang asing berdiri, saling menatap dengan malu-malu. Di tengah mereka, benang biru melayang samar, terlihat belum menyatu.
Nenek Subira—dengan jubah biru tua dan rambut perak terikat sanggul—berdiri di sampingnya.
“Kau tahu cara menyambung benang, Raka?”
Anak itu mengangguk. “Aku bisa merasakannya.”
“Gunakan hatimu. Bukan pikiranmu. Jangan mengendalikan cinta. Biarkan ia membentuk jalannya.”
“Tapi ..., kenapa mereka takut?”
Subira menatap anak lelaki itu dengan penuh kasih sayang. Matanya tampak sayu. “Karena cinta kadang menolak perintah. Dan itu ..., membuat mereka ketakutan.”
Raka mengulurkan tangan mungilnya. Benang biru berpendar, menyatu di tengah—lalu meledak, memancarkan cahaya putih. Pasangan itu pun menangis. Nenek Subira tampak tersenyum kecil.
Namun, malam itu, cahaya putih yang dipancarkan, menimbulkan suara keras yang memenuhi setiap penjuru rumah mereka. Cahaya itu telah menarik perhatian beberapa Agen Callindra hingga datang ke situ.
“Dia terlalu kuat! Terlalu terhubung dengan perasaan. Jika dia gagal mengendalikan dirinya—ikatan cinta bisa tumbuh liar dan menembus dimensi.”
“Kalau begitu... kunci dia.” ujar salah satu agen dengan nada dingin.
Subira berdiri gemetar, menatap cucunya yang tertidur.
“Maafkan Nenek.”
Dengan mantra kuno, dia menekan telapak tangannya ke dada Raka kecil. Cahaya biru pun meledak, berpendar memenuhi seisi kamar, perlahan-lahan memudar, lalu padam, kemudian semuanya tampak gelap-gulita.
****
KEMBALI KE MASA KINI
Raka terbangun dengan tubuh menggigil. Keringat membasahi tengkuknya.
“Kenapa kau lakukan itu, Nek…?” bisiknya serak. “Apa yang kau lihat dalam diriku, yang membuatmu takut?”
Raka dapat mengingat dengan jelas, dalam mimpi tadi, kedua matanya membara oleh nyala yang baru, cahaya biru menyelinap keluar dari pori-porinya. Untuk pertama kalinya, dia tak ingin memadamkan bara itu.
Raka mengusap wajahnya pelan, bersamaan dengan bunyi notifikasi ponsel di nakas sebagai tanda pesan masuk. Dahinya berkerut, ketika mengetahui nama sang pengirim.
"Freya ...."
Malam itu, Freya berdiri di bawah pohon sakura di taman belakang sekolah, tampak tengah menunggu kedatangan seseorang. Sebelumnya, gadis itu telah mengirimkan pesan singkat pada Raka.
“Temui aku malam ini. Dalam mimpiku kemarin malam, aku melihat sebagian kebenarannya.”
Tak lama kemudian, suara langkah perlahan menghampiri. Raka muncul dengan mata letih. Namun ada sesuatu dalam dirinya yang kini terasa lebih terbuka.
“Kenapa kamu tiba-tiba ingin bertemu?” tanyanya, sedikit waspada, hingga tempatnya berdiri sedikit berjarak dengan Freya.
Freya menunjuk berkas dalam pelukannya. “Aku tahu kekuatanmu bukan kebetulan. Kamu dulu pernah hampir jadi bagian dari Callindra. Namun, mereka takut. Mereka lalu mengunci kekuatanmu.”
Raka menunduk. Wajahnya sama sekali tak tampak terkejut. Dalam pandangan Freya, cowok itu tampak merasa sedikit ..., terluka.
“Kebetulan, kemarin pun aku bermimpi. Semua adegan itu terpampang nyata, hingga kini aku mengingat semua hal di masa lalu, segala yang telah aku lalui,” gumamnya. “Cara mereka datang. Cara nenekku menghapus semuanya. Aku pikir ..., aku cuma remaja biasa. Tapi ternyata aku dianugerahi kekuatan tersembunyi. Aku sebagai pusat dari sesuatu yang mereka tak bisa kendalikan.”
Keduanya terdiam cukup lama. Angin malam meniup lembut benang tipis yang samar mengambang dari dada mereka. Belum menyala, tetapi sudah terlihat dengan samar.
“Kalau kamu pada akhirnya tahu semua ini, kenapa kamu tak membenciku?” tanya Raka perlahan.
Freya menatapnya dengan mata jernih. “Karena aku juga mulai meragukan Callindra. Kita memutus cinta, tanpa tahu dari mana cinta itu datang. Tanpa tahu apa tujuannya.”
Freya menghela napas berat, sebelum akhirnya menambahkan, nyaris berbisik, “Dan karena aku tahu ..., aku tak bisa berpura-pura bersikap biasa saja.”
Raka mendekat satu langkah. “Kau sekarang percaya sepenuhnya padaku?”
Freya menahan napas. Lalu mengangguk.
“Untuk pertama kalinya ..., aku percaya sepenuhnya padamu, tanpa rasa ragu sedikit pun.”
Benang biru di antara mereka berpendar pelan. Tak menyilaukan. Namun nyata.
Freya kembali ke kamarnya malam itu, tetapi pikirannya tak bisa berhenti berputar-putar. File Raka masih tergenggam. Kata-kata Nenek Subira dalam mimpinya terus terngiang-ngiang.
“Energi cinta bukan hanya kekuatan. Ia adalah jembatan antarrealitas. Jika disalahgunakan, ia bisa membuka portal yang tak bisa ditutup kembali.”
Sebuah tanda tanya besar memenuhi benak Freya, sehingga membuatnya semakin merasa pusing. "Jika digunakan dengan benar ..., apakah kekuatan yang dimilikinya bisa menyelamatkan dunia?"
Sementara itu, Raka masih duduk termenung di aula sekolah. Tangannya masih memegang buku lama berisi simbol-simbol. Dari tubuhnya, benang-benang biru mulai keluar. Namun, kali ini, ia tak takut, karena sekarang Raka menyadari satu hal, bahwa dirinya bukanlah monster. Kekuatan yang dimilikinya dan susah payah ia sembunyikan selama ini bukanlah sebuah kesalahan. Raka adalah penghubung. Dan dia akan membuktikan bahwa cinta tak perlu dikendalikan dengan ketakutan. Nasihat sang nenek yang dulu sempat terucap sebelum mengunci kekuatannya, kembali bergema di telinga Raka.
“Yang pernah dikunci akan terbuka. Yang terlupakan akan diingat. Dan yang dianggap ancaman… bisa jadi harapan.”
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan