Langit di atas dimensi manusia tampak retak. Seperti kaca yang digores perlahan-lahan. Lama kelamaan, retakan itu semakin menyebar dan bertambah. Benang-benang cinta yang dulu hanya berpendar lembut, kini bergetar tak stabil, seolah dunia mulai kehilangan keseimbangan.
Freya berdiri di balkon observasi Callindra, memegang selembar perintah resmi dari Raja Vergana Armushu. Angin malam menyapu rambutnya yang panjang, namun tubuhnya tetap kaku. Di tangannya, titah itu terasa lebih berat dari senjata apa pun.
Jika Raka menghalangi ..., hapus saja dia.
Matanya menutup perlahan, lalu terbuka kembali. Namun dalam pikirannya, bukan perintah itu yang menggaung. Melainkan suara dari masa lalu, yang seakan-akan terus terngiang-ngiang di telinganya. Kilasan adegan itu pun kembali membayang di pelupuk matanya.
"Kau percaya cinta bisa menyelamatkan dunia?" tanya Freya kecil sambil duduk di lantai pelatihan, tempat untuk menguji kekuatan.
Raka, yang lebih muda dan jauh lebih cerewet kala itu, mengangkat bahu. "Aku percaya cinta bisa menghancurkan dunia kalau salah pakai. Tapi, ya, ..., aku juga percaya cinta bisa jadi alasan kita bertahan."
Freya menghela napas. Seandainya saja ia bisa, ingin sekali Freya menampar wajah polos masa lalunya sendiri.
Hari itu, misi turun ke dunia manusia terasa berbeda. Ia ditemani dua pengawal dari unit penyeimbang, lengkap dengan alat pemutus benang. Targetnya: Delina dan Saka, dua siswa SMA Lazuardi Mandiri yang katanya memiliki pola benang "tidak biasa."
Begitu tiba di taman belakang sekolah, Freya melihat mereka duduk berdampingan di bangku kayu, tertawa sambil menggambar bersama.
"Hai, Delina, hallo Saka," sapa Freya seraya tersenyum seramah mungkin. Namun, suaranya terdengar cukup lantang untuk membuat sekumpulan burung yang bertengger di dahan pohon melompat kaget.
Pasangan itu menoleh. Saka refleks berdiri di depan Delina, memasang wajah seperti superhero yang sedang melindungi kekasihnya dari marabahaya.
"Kami tahu siapa kamu. Match Breaker, kan?"
Freya mengangkat satu alis. "Wow, ternyata aku populer juga rupanya."
Delina menggenggam tangan Saka. "Kami tak akan membiarkanmu memutuskan kami."
"Sebenarnya aku lebih suka memutus orang-orang yang ghosting sih, tapi... kerjaan ya kerjaan."
Seketika, benang biru keemasan di antara Delina dan Saka menyala tajam. Bentuknya spiral, bercahaya stabil.
"Ini ..., bukan sembarang ikatan. Ini mendekati soul convergence," bisik Freya seperti berbicara pada dirinya sendiri
Freya membuka alat pemutusnya. Namun, sebelum ia bergerak lebih jauh, sebuah suara lantang menginterupsi aksinya.
"Freya! Hentikan!"
Dari balik pintu, muncullah Raka. Napasnya tampak terengah-engah. Jaket cowok itu separuh terbuka, dan rambutnya sedikit berantakan.
"Kau datang terlalu cepat," gumam Freya, mencibir.
"Kau datang terlalu keras kepala," balas Raka sambil menyiapkan alur benang dari telapak tangannya. "Kalau kau nekat, aku akan melawanmu."
Freya menatapnya lama. "Jangan paksa aku, Raka."
"Kau tahu aku tidak suka dipaksa juga, kan?"
Pertarungan di antara keduanya pun dimulai. Tanah di sekitar mereka berguncang. Energi dari Freya meledak ke segala arah seperti pecahan kaca, tajam dan presisi. Sementara Raka menari di udara, mengendalikan benang dengan gerakan yang lebih mengalir. Seolah bukan menyerang, tapi mengajak berdialog.
"Kenapa kau bela mereka?!" teriak Freya sambil melompat mundur. "Kau tahu hubungan mereka bisa mengganggu aliran Fluvia!"
"Dan kau tahu sistem kita sudah lama rusak!" balas Raka. "Sejak kapan cinta harus diukur dengan grafik dan algoritma?!"
Satu benturan besar terjadi. Benang Freya menabrak perisai Raka, dan keduanya terpental. Freya tersungkur, lututnya berdarah.
Raka mendekat, tapi Freya menodongkan alat pemutus.
"Kau mencoba bergerak selangkah saja lagi, aku akan—"
"Apa? Memutusku juga?"
Freya terdiam. Dan saat itulah benang antara mereka memendar samar. Warna biru keperakan.
Ia menunduk. "Kenapa... kenapa benangnya seperti ini...?"
Raka tersenyum miris. "Mungkin karena kau mulai jujur dengan perasaanmu."
Saat itu pula, dari kejauhan, Delina dan Saka berlari ke arah mereka. Mata keduanya tampak berkaca-kaca.
"Kami tidak akan pergi! Kalau kalian ingin memutus kami, harus lewati kami dulu!"
Freya memandang mereka. Bukan dengan amarah, tapi dengan perasaan yang campur aduk. Batin yang tidak lagi bisa membedakan hitam dan putih.
Seketika suara khas Raja Vergana menggaung di pikirannya.
"Jika kau mencintainya, maka kau akan menjadi ancaman."
Tangan Freya terkulai. Alat pemutus jatuh ke tanah.
****
Malam itu, di markas Callindra, Freya duduk di cermin kamarnya. Rambut acak-acakan, baju sedikit terbakar di ujung lengan. ia tak berani pulang ke kosan karena tak ingin melibatkan Ratu Olivia untuk mencegah pertarungan antara ibu dan anak, alias Raja Vergana. Gadis itu membuka kotak rahasia di bawah lantainya. Di dalamnya, tersimpan sketsa lama, gambar dirinya dan Raka saat masih kecil. Di bagian bawah tertera sebuah tulisan yang membuat kepala Freya semakin berdenyut.
Kalau dunia ini tak bisa menerima cinta, maka mari ciptakan dunia baru.
Sang match breaker yang dulu terkenal paling kuat dan kini tampak lemah itu pun tersenyum kecil. Ironis. Kilasan-kilasan masa lalu kembali berkelebatan dalam benak Freya, hingga ia tak menyadari akan kehadiran sesosok bayangan yang tiba-tiba saja muncul di balik cermin. Liora.
"Aku perhatikan, kau sudah beberapa kali gagal menjalankan misi, ya? Tumben, kau yang sekarang bukan seperti Freya yang kukenal dulu. Kau yang sekarang, rapuh," ujarnya sambil mengunyah permen, membuyarkan lamunan Freya.
Freya mengangguk pelan. "Liora ..., kalau kau di posisiku, kau akan memilih siapa? Cinta, atau kewajiban?"
Liora mengangkat bahu. "Aku? Aku pilih permen. Tapi, jujur, sih, aku lebih memilih yang bisa bikin aku tidur nyenyak malam ini. Turuti saja semua perintah Raja Vergana, maka kau akan aman."
Freya menatap pantulan dirinya. Ucapan Liora sedikit membuka pikirannya, hingga ia kini bisa memutuskan, langkah selanjutnya yang akan ia pilih.
Saat Freya bersiap tidur, ia membuka pesan masuk di alat komunikasinya.
[Pengirim: Unknown]
Freya. Kau harus tahu yang sebenarnya tentang Project Match Breaker. Raka bukan satu-satunya yang diincar. Kau juga.
Freya membeku. Hatinya pun kembali meragu, bersamaan dengan sebuah pesan dari Raja Vergana yang masuk ke ponselnya.
Target berikutnya: Arvin dan Kana.
"Lho, bukannya mereka bersaudara? Untuk apa aku memutus ikatan keluarga?" Dahi Freya berkerut, tak habis pikir dengan perintah Raja Vergana kali ini.
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan