Langit sore berwarna abu-abu, seakan ikut mencerminkan kekacauan dalam benak Freya. Langkahnya tampak tergesa, menuju tempat yang diperintahkan Raja Vergana melalui ponselnya. Ia berdiri di belakang koridor tua gedung teater yang sudah lama tak digunakan, tempat di mana ikatan aura antara Elen dan Ray nyaris lengkap. Aura biru keperakan mulai menjalin di antara keduanya, membentuk pusaran kecil—tanda bahwa emosi mereka akan terkunci dalam simpul energi, menyalurkan kekuatan gelap yang tak terkendali.
Freya menahan napas. Tangannya terangkat, ujung jarinya memancarkan cahaya ungu yang berdenyut pelan. "Aku harus memutus ini sekarang sebelum terlambat..."
Dia melangkah maju, bersiap untuk menghentikan keduanya. Namun, suara langkah kaki yang semakin mendekat, terdengar dari arah belakang, seketika saja menghentikan langkahnya. Dari balik tembok, Freya mengintip, diam-diam mencari tahu sosok yang dimaksud.
Seseorang tampak memasuki ruangan. Langkahnya terdengar santai, tak menunjukkan rasa curiga ataupun maksud tersembunyi. Seorang murid laki-laki dengan rambut cokelat acak-acakan, mengenakan seragam SMA yang sedikit kusut, berdiri di ambang pintu.
Raka Aditama.
Freya menegang, hingga tubuhnya terasa membeku dan sulit untuk bergerak. Gadis itu memilih untuk terus mengawasi dari tempatnya bersembunyi.
Raka menatap mereka dengan dahi berkerut. “Lho, kalian berdua sedang apa di sini? Main sulap, ya?”
Elen dan Ray tersentak. Aura di antara mereka mulai bergetar. Freya ingin berteriak agar Raka keluar, tapi sebelum sempat bergerak, sesuatu yang tak terduga, tiba-tiba saja terjadi dengan begitu cepat.
Raka, yang hanya berdiri dan menyipitkan mata ke arah pusaran aura itu, tiba-tiba mengangkat tangan, seakan-akan hanya ingin menghalangi cahaya yang menyilaukan. Namun, begitu telapak tangannya menghadap pusaran, aura itu pun seketika saja berhenti. Tak ada ledakan. Tidak ada juga yang lenyap. Namun, semuanya tercerai-berai dalam sekejap.
Saat itu, waktu seakan-akan mendadak terhenti. Freya merasa seperti disedot ke dalam kehampaan yang tak kasat mata. Tubuh Elen ambruk ke lantai, sementara Rey tampak membeku. Deru napasnya terlihat tak beraturan. Freya ternganga, masih tak percaya dengan semua adegan yang ia saksikan. Segalanya terjadi dengan secepat kilat. Aura yang hampir sempurna—terputus begitu saja. Bukan oleh sihir atau kekuatan lawan, bukan pula oleh dirinya, melainkan oleh seorang anak laki-laki biasa. Atau begitulah yang ia duga selama ini.
Freya melangkah cepat ke arah Raka. "Apa yang kamu lakukan barusan?"
Raka menoleh dengan ekspresi bingung. “Aku?" Cowok itu mengedikkan bahu dan malah balik bertanya. Tak lama kemudian, terdengar tawanya membahana memenuhi ruangan. "Oh, yang tadi. Mungkin mereka kaget dengan kehadiran aku yang tiba-tiba ini. Lucu juga, ya, Elen sampai pingsan.”
Freya mengernyit. Ia melayangkan tatapan tajam dan menyelidik, mencoba menembus dinding tenang yang Raka tunjukkan. Kedua matanya mengamati intens cowok di dapannya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Raka yang berdiri di hadapannya kini, auranya sangat jauh berbeda dengan Raka yang ia temui di aula sekolah kemarin. Kali ini, tak ada gelombang aura mencurigakan dari tubuh cowok itu. Tak ada distorsi energi. Yang Freya rasakan, hanya kehampaan. Kekosongan yang justru membuat bulu kuduk Freya meremang.
Manusia biasa memiliki aura samar. Mereka yang berbakat memiliki gelombang kuat. Namun, Raka seperti lubang hitam yang menyerap semuanya. Merasa ngeri, tubuh Freya sedikit gemetar. Sekelas Raja Vergana yang terkenal memiliki kekuatan dahsyat seantero Callindra pun, tak mampu mendeteksi kekuatan tersembunyi di balik sikap polos yang ditunjukkan Raka dalam kesehariannya.
****
Beberapa Jam Kemudian – Gudang Buku-Buku Bekas di Sekolah
Freya menyusup masuk. Kali iini, dia benar-benar membutuhkan jawaban, dan tempat terbaik untuk melacak sesuatu adalah ruang tempat menyimpan sejumlah buku-buku bekas koleksi di perpustakaan sekolah yang sudah tak terpakai lagi. Tempoat ini juga untuk sementara waktu, akan ia gunakan sebagai ruang pantau aura.
Gadis itu mulai menyalakan alat pembaca aura buatan sendiri yang tentu saja dibantu cara membuatnya dengan mengikuti arahan tutorial dari Raja Vergana. Freya harap, alat sederhan ini bisa banyak membantu. “Rekaman siang ini, mari kita lihat.”
Rekaman energi pun terlihat mulai bergulir. Pusaran aura Elen dan Ray tampak kuat, lalu muncullah siluet Raka. Detik berikutnya, grafik energi anjlok drastis. Freya menghela napas lelah seraya menggigit bibir bawahnya. rasa kecewa tergambar jelas di wajah cantiknya. “Tak mungkin. Ini bukan anti-aura. Ini seperti, pembalik resonansi.”
Dalam benak gadis itu terlintas sesuatu hal. Legenda lama tentang "Pemecah Jalinan"—makhluk langka yang bisa meniadakan sihir atau kekuatan spiritual hanya dengan kehadiran mereka. Namun, legenda itu sudah lama dianggap mitos. Bahkan di antara para Pengamat. Lantas, mengapa grafik ini membuktikan sebaliknya? Kali ini, rasa curiga mulai menggelayuti pikiran Freya. Raka bukanlah remaja biasa. Dalam hatinya bertekad, akan mencari tahu lebih banyak tentang Raka.
*****
Keesokan Harinya – Kelas Fisika
Freya sengaja masuk ke kelas Raka, mengamatinya dari bangku belakang. Cowok itu duduk santai, menggambar sesuatu di bukunya sembari sesekali menyimak penjelasan Pak Ahkam yang untung saja kali ini berbaik hati memperbolehkan Freya ikut belajar di kelas itu.
Penasaran, gadis itu melayangkan jurus pandangan jarak jauh dan tembus pandang, untuk melihat lebih jelas, apa yang sedang ditulis Raka. Ternyata, Bukan catatan fisika, melainkan simbol aneh yang tak familiar di kalangan para remaja biasa. Namun, Freya dapat dengan mudah menebak—itu adalah pola resonansi matriks, simbol yang hanya digunakan oleh mereka yang mengerti struktur energi dalam tubuh manusia.
Merasa sangat penasaran, usai jam pelajaran, Freya menghampiri Raka yang terlihat masih asyik menggambar.
"Gambarnya unik. Kamu tahu itu gambar apa?" tanya Freya, mencoba bersikap santai, agar Raka tak menaruh curiga dan tak merasa sedang diinterogasi.
Raka menoleh sebentar, lalu tersenyum. “Nggak tahu, suka aja dengan gambar ini, tampak keren. Rasanya, dulu aku pernah melihat bentuk seperti ini. Mungkin dalam mimpi.” Dahi cowok itu berkerut, seperti sedang berusaha mengingat-ingat sesuatu.
Freya terlihat semakin curiga dan penasaran. “Kamu pernah belajar soal energi aura?”
Raka tertawa kecil. “Aura? Kayaknya kamu di kosan terlalu sering nonton anime, deh, Freya.”
Freya membeku. Bagaimana mungkin Raka bisa tahu dengan kebiasannnya? Padahal, meski tinggal satu atap, tetapi gadis itu tak terlalu membuka dirinya terhadap Raka.
“Dari mana kamu tahu kebiasaan aku?”
Raka hanya tersenyum lalu melangkah pergi, tak menghiraukan tatapan heran, penasaran, sekaligus waspada yang dilayangkan Freya ke punggungnya yang berjalan semakin menjauh.
****
Malam Hari – Catatan Rahasia
Freya tampak mondar-mandir di kamar kosnya. Benak gadis itu dipenuhi banyak tanya yang semakin membuatnya kebingungan. Ia meraih ponsel dari nakas dan mulai menulis pesan kepada Raja Vergana. Siapa tahu, ia bisa mendapatkan jawaban.
“Raja, maaf, sepertinya Raka menyembunyikan sesuatu. Tapi bukan sekadar kekuatan. Dia punya ingatan yang tidak selaras dengan waktunya. Seperti déjà vu permanen. Mungkinkah dia ....”
Baru saja Freya hendak melanjutkan mengetik, tiba-tiba saja, udara di ruangan berubah dingin. Suara langkah terdengar ari arah luar jendela. Freya menoleh dengan cepat. Di luar, tampak berdiri sosok berjubah hitam. Wajahnya tertutup topeng logam perak. Simbol bulan sabit tergantung di lehernya.
"Penjaga Keseimbangan."
Freya mundur pelan-pelan. Meski pun bibir sang penjaga tak bergerak, tetapi terdengar suara-suara bergema di kepala gadis itu.
“Kau terlalu dekat dengan kebenaran, Anak Pengamat. Anak itu bukan milik dunia ini.”
“Apa maksudmu?” tanya Freya dalam hati.
“Ia adalah pecahan. Kepingan dari sesuatu yang hilang. Jika ia menyadari jati dirinya lebih cepat dari waktunya ..., kehancuran akan lebih cepat datang. Kau akan menemukan sesuatu di dalam jurnalmu.”
Dalam sekejap, sosok itu pun lenyap dari pandangan. Buru-buru Freya membuka jurnal miliknya, bagian paling tua yang hanya bisa dibuka dengan mantra tertentu. Ia ingin segera mencari dan menemukan petunjuk tentang pecahan yang dimaksud oleh sang penjaga. Namun, yang Freya temukan membuat sekujur tubuhnya menggigil.
Sungguh mengejutkan, pada lembar terakhir, tertera sebuah kalimat yang membuat Freya sangat tercengan, ditulis dengan menggunakan tinta perak.
“Jika kau membaca ini, maka dia telah kembali. Lindungi Raka. Dia adalah kunci dan sekaligus kehancuran. Tanda keempat akan segera muncul.”
Dan, yang lebih mengejutkan lagi, tulisan itu ..., adalah tulisan tangan Freya sendiri.
Tertanggal sepuluh tahun yang lalu. Dengan tangan gemetar, jurnal dalam genggaman Freya jatuh ke lantai. Bergegas ia meraih ponsel di nakas dan kembali mengetik pesan.
Raja ..., tolong ..., beri aku petunjuk. Aku bingung sekaligus takut ....
Pesan terkirim.
Tak berapa lama, bunyi notifikasi pesan masuk terdengar dari ponsel Freya. Buru-buru ia membuka pesan dari sang raja. Namun, isinya membuat tubuh gadis itu seketika saja lemas, seolah-olah tenaganya terkuras habis tak bersisa. Ia menjatuhkan tubuh lemasnya di kasur dengan posisi tengkurap.
Kau yang menjalankan misi ini. Maka kau harus mencari tahu sendiri. (tertawa jahat).
Freya menggenggam erat-erat ponsel di tangannya. Kedua mata gadis itu mulai berkaca-kaca. Khawatir tangisnya terdengar oleh Ratu Olivia dan juga Raka, ia membenamkan wajahnya ke bantal.
"Raja sungguh kejam! Sungguh tak berperikeiblisan!"
Menarik sekali
Comment on chapter World Building dan Penokohan