Aku setengah loncat dari bis yang belum benar-benar berhenti. Itu pun bis langsung jalan lagi, tanpa menunggu lama. Aku sudah terbiasa. Tepatnya, aku membiasakan diri.
“Mba Dayu!” Pak Yanto melambai dari samping Innova abu-abu. Itu mobil operasional untuk kakek disini. Aku celingukan sesaat. Kebiasaan ini masih melekat sampai bertahun-tahun aku berusaha move on. Lalu dengan cepat masuk mobil. Pak Yanto langsung tancap gas.
“Sehat, Mba?” Tanya Pak Yanto, saat mobil sudah berjalan cukup jauh dari pertigaan besar Bandungan. Rambut Pak Yanto sudah lebih pendek dari terakhir kali aku melihatnya. Beberapa rambut putih nampak. Pak Yanto ini supir kepercayaan Kakek. Sejak muda sudah mengabdi pada Kakek. Sampai sekarang bisa menyekolahkan anaknya hingga SMA. Aku mengenal Hanum, anak sulungnya. Rumahnya memang tak jauh dari Villa, jadi kadang kami bertemu.
“Alhamdulilah, Pak. Sehat juga ya, Pak? Makin segar aja,”
Suara tawa renyah Pak Yanto terdengar. “Ah, Mba Dayu nih bisa saja, saya sekeluarga sehat, alhamdulilah, Mba.”
“Kakek sudah di Villa?”
Pak Yanto mengangguk. “Sudah sejak semalam, Mba. Bapak langsung datang dari Bandung.” Kakek memang paling anti dengan ingkar janji. Ia selalu menepati janjinya. “Tadi sepertinya ada tamu.”
“Penting?”
“Ya tamunya Bapak kan penting-penting semua, Mba.” Pak Yanto nyengir. Diikuti kikihanku. Apa yang aku pikirkan ya sebenarnya. Siapapun yang mencari Kakek, sudah pasti ada dalam list janjian, yang selalu dicatat oleh Mba Rara. Sekretaris Kakek.
>.<
Dua mobil sedan mewah terparkir di halaman. Itu pasti tamunya Kakek. Tak ada yang berubah di Villa, hanya tanaman merambat di pagar, sudah menjalar kemana-mana. Sebuah suara mengagetkanku, saat aku turun dari mobil. Pak Yanto membantuku membawa tas ranselku.
“Non Dayuuuu!” aku ingat sekali suara melolong itu milik siapa. Siapa lagi kalau bukan Mbok Jum. Asisten rumah tangga di Villa ini. Ia menghampiriku dengan cepat dan memelukku. “Ealah, tau engga sih, Mbok kangeeennnn banget,”
“Maaf ya, Mbok. Baru bisa pulang.” Aku mengelus lengannya. Ia memang tipe ibu-ibu yang bisa diandalkan. Pun seperti Pak Yanto, Mbok Jum sudah lama mengabdi pada Kakek. Warga daerah sini juga. Tapi sekarang menetap di Villa, sejak ditinggal suaminya dan anaknya pergi merantau. Perawakannya yang agak gemuk dan sedikit pendek dengan kondenya. Mengingatkan pada bibik jamu.
“Yang penting Non sehat-sehat ya,” senyum lebarnya tak berubah. Masih selebar jalan tol.
“Iya, pasti, Mbok. Ada tamu ya?”
“Di belakang, Non,”
Aku memasuki Villa, sepi di ruang tamu dan ruang tengah. Pintu ke arah taman belakang terbuka. Aku bisa melihat Kakek disana, duduk bersama dua orang yang berpakaian resmi. Diseberang kolam renang. Kakek tampak lebih kurus, apa karena efek kemeja longgar merah itu. Rautnya pun tampak lelah.
Aku tersentak. Kakek melambai padaku. Ragu aku mendekat.
“Ini cucu saya, Dayu.” Mereka menatapku dengan seksama. Mungkin menilaiku. Aku cukup sopan dengan celana katun dan blus biru. Mereka menyalamiku. “Ini Pak Probo dan Pak Tedi, beliau ini Komisaris Hotel Mulia.” Dari dekat, aku melihat mereka awal 60an dengan rambut klimis dan hitam legam. Sangat kontras dengan Kakek yang berambut putih.
“Kami harap Mba Dayu kapan-kapan mau mampir hotel.” Basa-basi bapak berkacamata.
“Oiya, terima kasih, Pak.” Jawabku.
“Mereka butuh dukungan saham.” Kata Kakek, saat tamu-tamunya sudah pergi beberapa menit kemudian. Aku tahu, kalau yang ada diseputaran Kakek adalah bisnis. “Kamu kurusan, Nduk,” Kakek mengeryit menatapku.
“Ah, engga juga, biasa aja, Kek,” elakku. Karena aku memang tak pernah mengurangi porsi makan.
“Sudah makan?”
“Sudah tadi siang.” Aku memang sempat makan di kedai dekat kos, sebelum berangkat tadi. Wajah Kakek tampak tak puas.
“Kakek sudah bilang Mbok Jum, kamu dibuatkan seafood. Sudah dibikinkan Udang Goreng mentega itu,”
Mataku pasti membola, tanpa sadar. “Lha? Tadi Mbok Jum ga bilang apa-apa didepan.”
Kakek tertawa. “Memang surprise.” Kakek bangkit dari kursinya. Mengambil tongkatnya dan mulai berjalan kearah Villa. Untuk ukuran usia 67 tahun, Kakek cukup sehat. Dengan diet disegala lini. Aku membuntuti Kakek. “Ada kiriman sepertinya di kamarmu,”
>.<
Gaun amethyst tanpa lengan yang sangat indah.. pasti mahal harganya… diatas kotak, aku menemukan sebuah memo berukir daun ungu.
Hello my Love..
Gaun ini pasti cocok untukmu, sayang..
Your lovely Mom
Ah, Mama terlalu, tiap gaun yang dilihatnya, selalu dibilang cocok untukku. Aku sebenarnya tak pernah suka Mama menghamburkan uang untuk selembar gaun yang entah kapan kupakai.
Pandanganku beralih ke kotak diatas meja. Macbook seri terbaru masih terbungkus rapi disana sejak tiga bulan yang lalu. Itu dari Ayah.
Mereka memang suka mengirimi barang-barang. Sejak mereka memutuskan bercerai enam tahun yang lalu. Dan berpencar mengikuti intuisi hati masing-masing. Mama terbang ke Paris, melanjutkan mimpinya menjadi desainer. Papa ke Ulm. Selepas mereka bercerai. Aku yang ditarik sana-sini, lebih memilih di Indonesia dengan Kakek.
Ponselku bernyanyi. Mama. Dia punya indera keenam ya, bisa tahu aku sudah meihat hadiahnya.
“Halo sayang, suka engga kiriman Mama?” Tanya Mama, bahkan sebelum aku mengatakan apapun.
“Ma, aku pernah bilang kan-“
“Ga usah belanja ga penting, maksudmu?”
Aku mendesah. “Iya, yang penting Mama sehat disana.”
“Mama selalu sehat disini, sayang. Mama selalu tunggu kamu kesini.”
“Ma, aku masih kuliah,” elesku.
“Itu selalu alasanmu, Mama sudah bosan.”
“Lalu? Mama mau aku menjawab apa?” kadang memang Mama ini paling tidak mau dibantah.
“Iyakan dong sayang, Mama akan sangat senang sekali. Oiya, sukses ya buat besok.”
Aku tercekat. “Besok?”
“Iya, buat pesta besok, jangan lupa pakai gaun itu ya sayang.”
“Pesta? Besok?”
>.<