“Cieee cieee Dayu cieee.. “ Tika terus mencie-cie sampai es teh kami datang. Ina dan Risa yang baru datang, dan tak tahu apa-apa, hanya celingukan, mencoba mencari tahu. “Biasa, Babang Rony melambai,” Tika memberi konfirmasi.
Dan tawa mereka langsung pecah.
“Kemana Babang Rony?” Ina buru-buru berdiri, menoleh kanan kiri. Ada kelegaan dihatiku, melihat Ina sudah kembali jadi Ina yang ceria, setelah insiden nilai kemarin.
“Uda masuk mobil kali,” Tika menunjuk kearah lapangan parkir, yang memang tak jauh dari kantin.
“Waduh, aku ketinggalan liat Babang Rony yang ganteng banget,” aku tahu Ina hanya melebay-lebay kan.
“Udahlah, Na. Ini minum dulu,” aku menyodorkan es teh pesanannya.
“Day, kenapa sih kamu ga pernah mau terima ajakan Babang Rony?” Tanya Ina akhirnya, setelah menandaskan setengah gelas. Ni anak emang hausan.
Aku menggeleng. “Ga apa-apa.”
“Yah, Day, kamu tahu kan kalo dia terkenal dikalangan mahasiswa. Mahasiswa kedokteran, tajir pula. Anaknya pejabat pemkot. Ganteng pula. Ramah. Murah senyum.” Tika kembali membuka buku tentang Rony. Entahlah, aku tak begitu suka dengannya. Entah mengapa.
Memang tadi ia tak menghampiri kami, hanya melambai dikejauhan. Saat mata kami berbenturan, tak sengaja.
“Dia sendiri?” Tanya Risa.
“Sama temennya itu, si dingin Alde.” Tika mengudek es tehnya.
“Cowo yang ga pernah senyum itu ya?” Ina tampak berusaha mengingat. “Dia kan temenan sama Babang Rony dari jaman SMA,”
“Tahu darimana, Na?” Tanya Risa, ia tampak penasaran dengan makhluk bernama Alde, yang setahuku selalu mengikuti kemana pun Rony pergi. Punggawa kalau mau pakai istilah Tika. Tapi tetaplah namanya teman.
“Temenku ada yang satu SMA sama mereka. Mereka memang akrab dari kelas sebelas. Gatau juga terus lanjut kuliahnya bareng juga. Yah orang pinter mah bebas.” Ina kembali menyedot es tehnya.
“Apa dia anak pejabat juga?” kali ini Tika yang nampak membutuhkan asupan info.
“Gatau kalo itu. Temenku ga bilang apa-apa.” Ina garuk-garuk kepala, hingga membuat Tika ber Yah kecewa cepat.
“Tapi, dia juga ganteng kok, cuma pendiam aja kan.” Perkataan Risa, membuat kami semua menatapnya. “Kenapa? Aku cuma berpendapat,”
“Yah ga salah sih, dia juga lumayan lah. Cuma kurang ramah itu.” Imbuh Tika.
“Udah udah gosipnya, ayo makan dulu,” Mba Rumi, pelayan kantin, sudah membawakan gado-gado dan lotek pesanan kami diatas meja.
“Makasi, Mbaaa,” kata kami bersamaan.
>.<
Rony Atmadja. Itu nama Babang Rony yang selalu dipuja Ina. Perkenalan kami tak sengaja, saat ia terburu-buru membutuhkan fotokopi, dan aku yang tengah bertugas di koperasi bagian fotokopi. Seharusnya koperasi sudah mau tutup, tapi Rony memohon untuk menfotokopi beberapa lembar saja. Karena aku tahu sendiri, untuk fotokopi keluar harus berjalan jauh, aku pun membantunya fotokopi, dengan mengorbankan aku pulang lebih petang.
“Terima kasih ya, siapa namamu? Anak bisnis?” Rony bertanya seperti basa-basi saja.
“Iya, saya anak manajemen.” Sahutku pendek.
“Nama?” aku menandanginya. Tampangnya memang diatas rata-rata, tapi rasanya ia tipe perayu yang mudah mengatakan kata-kata indah. “Kenapa? Aku engga gigit lho.” Ia mengeluarkan kartu mahasiswa. “Aku mahasiswa juga, lihat, kamu bisa lihat kan?” ia menunjuk fotonya sendiri. “Sama kan?” akhir-akhir ini memang banyak kasus mahasiswa abal-abal.
“Jurusan apa, Mas?” tanyaku ganti.
“Aku kedokteran, Mba. Semester enam. Namaku Rony. Mbaknya siapa namanya?” ia masih memandangiku lekat.
“Dayu,” aku hanya mengangguk sekilas. Tanganku terus bergerak memfotokopi kertas-kertasnya. Memang kebanyakan bahasa yang aku tak pernah tahu. Ada banyak gambar dan coretan berwarna.
“Sudah lama kerja disini, Mba?”
“Iya, lumayan,” lumayan untuk menyibukkan diri.
“Aku baru pertama kesini soalnya, jadi baru kali ini kita bertemu,” ia memamerkan gigi rapinya.
“Ron, gimana?” Nampak seorang cowo lain menepuk bahu Rony. Tinggi mereka hampir sama. Tapi rautnya dingin. Dan tak ada senyum dibibirnya.
“Bentar, lagi di kopi. Pak Harun belom balik kan?”
“Kita ke Sarjito saja,” kata si cowo dingin, ia mengeluarkan ponsel dari sakunya, dan sibuk kemudian.
“Udah jadi belum ya, Mba?” ia kembali memandangiku, penuh mohon.
“Sudah, Mas.” Aku mengulurkan kopian yang sudah selesai ku steples.
“Berapa, Mba?” ia merogoh saku celananya.
“Sepuluh ribu, Mas.”
Ia mengeluarkan uang dua puluh ribu. “Kembaliannya buat Mba aja ya, makasi ya,” ia buru-buru meraih hasil kopian, dan berlalu setelah tersenyum singkat.
Sejak perkenalan tak disengaja itu, beberapa kali kami tak sengaja bertemu. Dan dia selalu tampak berusaha mendekati. Aku saja yang tak penah mau diajaknya. Masih terlalu dini aku mempercayai orang lain, selain Ina, Tika dan Risa. Mereka pun aku kenal dua tahun, baru aku benar-benar mempercayai mereka. Tapi bukan percaya seluruhnya.
Adegan demi adegan yang tak pernah bisa tidur dipikiranku, selalu mengambang kepermukaan. Yang selalu aku coba untuk usir, tapi tak pernah bisa. Yang kadang jadi bunga tidur paling tidak menyenangkan disepanjang hidupku.
>.<