Malam ini, aku tidak ingin menyelesaikan apa pun. Tidak ingin menaklukkan dunia. Tidak ingin menertawakan semua luka dengan kalimat motivasi. Aku hanya ingin duduk, diam, dan bernapas perlahan.
Seperti ini saja.
Kepalaku menempel di jendela, melihat lampu-lampu kota yang berjajar seperti kalung yang dibentangkan di atas bumi. Di luar, hujan turun pelan-pelan. Tidak deras, tidak juga malu-malu. Hanya hujan yang tahu caranya hadir tanpa gegap gempita, tapi tetap meninggalkan kesan. Kadang, aku ingin menjadi seperti hujan itu.
Sederhana. Tapi tetap berarti.
Tahu nggak, belakangan ini aku sering merasa capek tanpa tahu kenapa. Bukan karena kerjaan yang numpuk, bukan karena ditinggal teman atau ditolak gebetan (meskipun itu juga terjadi... dua kali). Tapi capek yang datang dari dalam. Seperti ada suara kecil yang bilang, “Kamu harus terus kuat,” padahal aku bahkan belum selesai menyusun ulang semangatku yang sempat pecah jadi potongan-potongan kecil.
Lalu aku sadar, selama ini aku terlalu keras pada diri sendiri.
Kamu juga, mungkin.
Kita berpura-pura baik-baik saja, padahal dunia di dalam dada kita sedang banjir bandang. Kita bilang “nggak apa-apa”, padahal kepala kita penuh dengan “apa-apaan ini?” Kita jalan terus, sambil seret-seret hati yang lecet dan lutut yang gemetar. Dan anehnya, kita bangga karena bisa begitu.
Padahal... siapa sih yang kita coba buktikan semua ini?
Hari ini, aku ingin bilang satu hal penting. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk kamu yang membaca ini:
Terima kasih sudah bertahan.
Serius. Terima kasih.
Terima kasih karena kamu memilih untuk tetap ada, meskipun pernah ingin hilang. Terima kasih karena kamu tetap berangkat kerja meski semalam menangis tanpa suara. Terima kasih karena kamu masih tersenyum di depan orang lain, walau ada beban yang nggak sempat kamu ceritakan. Terima kasih karena kamu tidak menyerah pada hari-hari yang terasa terlalu panjang dan malam-malam yang terasa terlalu sunyi.
Aku tahu itu tidak mudah.
Aku tahu kamu pernah ingin berhenti. Pernah merasa tidak cukup. Pernah membandingkan diri dengan orang lain dan berpikir, “Kok hidupku gini-gini aja, ya?” Pernah merasa jadi beban. Pernah mengira kamu satu-satunya yang belum sukses, belum menikah, belum bahagia.
Tapi kamu tetap di sini.
Kamu masih membaca ini, artinya kamu masih punya harapan, meskipun kecil. Masih punya ruang untuk mencintai diri sendiri, walaupun kadang lupa. Masih punya keberanian untuk membuka mata, bangun pagi, dan menjalani hidup yang—jujur saja—nggak selalu adil.
Dan itu luar biasa.
Kamu mungkin tidak menyadarinya, tapi ada versi kecil dari dirimu di masa lalu yang akan bangga melihat kamu sekarang. Versi kecil yang dulu cuma bisa bermimpi punya keberanian seperti yang kamu miliki hari ini. Versi kecil yang dulu menangis di bawah meja belajar karena takut salah, sekarang tumbuh jadi seseorang yang tetap berjalan meski takut. Aku tahu kamu mungkin belum sampai di tempat yang kamu harapkan. Tapi coba lihat perjalanan yang sudah kamu lalui.
Berapa banyak luka yang sudah kamu rawat sendiri?
Berapa banyak hari buruk yang sudah kamu lewati sendirian?
Berapa kali kamu tertawa, bahkan saat hatimu retak?
Banyak, kan?
Dan itu layak untuk dirayakan.
Mungkin bukan dengan pesta besar, bukan dengan kue dan balon. Tapi cukup dengan secangkir kopi di pagi hari, atau tidur yang nyenyak tanpa mimpi buruk. Cukup dengan bilang ke diri sendiri, “Kamu sudah cukup. Kamu sudah hebat.”
Kadang kita lupa, bahwa bertahan juga bentuk kemenangan.
Bukan hanya yang sukses yang layak dibanggakan. Tapi juga yang masih mencoba, yang tetap bernapas, yang belajar mencintai diri sendiri lagi, meskipun pelan-pelan. Lucu, ya? Hidup ini seringnya seperti naik sepeda di tanjakan. Kita ngos-ngosan, ngerasa hampir jatuh, tapi terus kayuh juga. Kadang kita bahkan nggak sadar, ternyata tanjakannya udah lewat. Dan sekarang kita sedang meluncur pelan di jalan yang datar.
Tapi kita masih tegang. Masih ngeri. Masih capek.
Itulah kenapa kita butuh berhenti sejenak. Untuk menyadari bahwa kita sudah lebih jauh dari yang kita kira.
Jadi malam ini, aku ingin bilang ke kamu:
Beristirahatlah.
Kalau kamu lelah, nggak usah memaksakan diri jadi kuat.
Kamu manusia, bukan mesin.
Kamu boleh capek.
Kamu boleh kecewa.
Kamu boleh nangis.
Asal jangan menyerah. Karena dunia ini masih membutuhkanmu.
Suara tawamu.
Ceritamu.
Caramu menyayangi orang-orang di sekitarmu.
Caramu menyeduh teh favoritmu di sore hari.
Dunia mungkin tidak bilang langsung. Tapi aku akan jadi penyambung suaranya malam ini:
Terima kasih telah bertahan.
Terima kasih karena tidak menyerah saat semuanya gelap.
Terima kasih karena kamu memilih untuk tetap tinggal, bahkan saat rasanya semua ingin ditinggalkan.
Terima kasih karena kamu ada.
Dan aku harap, kalau suatu hari kamu lupa bahwa kamu berarti, kamu akan kembali membaca halaman ini. Bukan untuk mengingatku. Tapi untuk mengingat dirimu sendiri.
Dirimu yang berharga.
Dirimu yang layak dicintai.
Dirimu yang tidak harus kuat setiap hari, tapi selalu memilih untuk melangkah, meskipun pelan.
Akhirnya, jika suatu hari kamu bertemu dengan seseorang yang sedang lelah, yang diam-diam bertarung dengan pikirannya sendiri, yang tampak baik-baik saja padahal tidak...
Berikan mereka pelukan.
Atau secangkir kopi.
Atau bahkan sekadar senyum.
Dan bilang pelan-pelan:
“Terima kasih ya, sudah bertahan sejauh ini.”
Karena mungkin, itu kalimat yang sudah lama sekali ingin mereka dengar.
Dan sekarang, aku bilang lagi...
Untuk kamu yang sudah membaca sampai akhir:
Terima kasih. Kamu sudah luar biasa.
Malam itu, aku duduk di beranda rumah, memandangi langit yang mulai berwarna jingga. Angin semilir membawa aroma kopi dari dapur, mengingatkanku pada pagi-pagi bersama Ayah. Ayah bukan tipe pria romantis. Ia jarang mengucapkan kata sayang, apalagi memeluk. Tapi ia selalu memastikan aku sarapan sebelum berangkat sekolah, menjemputku saat hujan turun, dan diam-diam menyelipkan uang jajan tambahan di tasku.
Suatu hari, saat aku masih kecil, aku bertanya, "Ayah, kenapa Ayah nggak pernah peluk aku?"
Ayah terdiam sejenak, lalu menjawab, "Karena Ayah takut, kalau Ayah peluk kamu, Ayah nggak bisa melepaskan."
Aku tidak mengerti saat itu. Tapi kini, setelah dewasa, aku paham. Ayah mencintai dengan caranya sendiri. Kini, Ayah sudah tiada. Dan aku merindukan pelukan yang tak pernah aku rasakan. Setiap kali aku merasa lelah, aku membayangkan pelukan Ayah. Hangat, kuat, dan penuh kasih. Pelukan yang tak pernah sampai, tapi selalu ada di hatiku. Aku belajar, bahwa cinta tidak selalu harus ditunjukkan dengan pelukan atau kata-kata. Kadang, cinta hadir dalam tindakan kecil yang sering kali kita abaikan. Dan meski pelukan Ayah tak pernah sampai, cintanya selalu aku rasakan.
Bab ini mengajarkan kita bahwa cinta tidak selalu harus ditunjukkan secara eksplisit. Kadang, cinta hadir dalam bentuk yang tak terduga, namun tetap terasa hangat dan tulus