Ada hari-hari ketika aku merasa dunia ini terlalu berisik. Bukan karena suara klakson mobil, atau dering notifikasi WhatsApp yang tak henti-henti. Tapi karena pikiranku sendiri yang menjerit, sibuk berdebat dengan dirinya sendiri, mempertanyakan banyak hal yang belum tentu butuh jawaban. Pernah nggak sih, kamu berada di tengah keramaian tapi merasa benar-benar sendirian? Di satu sisi kamu tersenyum, tertawa, ikut bercanda—tapi di sisi lain, ada bagian dari dirimu yang ingin menyelinap keluar diam-diam dan bersembunyi di bawah selimut, pura-pura nggak ada siapa-siapa. Hari itu aku berada di kafe kecil tempat biasa aku menulis. Musiknya pelan, lampunya temaram, dan baristanya selalu senyum ramah meskipun aku cuma pesan kopi hitam dan duduk tiga jam. Tapi bahkan di sana, ketenangan sulit ditemukan. Di meja seberang ada pasangan muda yang sepertinya baru jadian—tertawa keras, saling swafoto, dan... entah kenapa itu bikin aku pengin pulang.
Aku bukan iri. Atau mungkin sedikit. Tapi lebih dari itu, aku sedang terlalu lelah untuk bersosialisasi. Bahkan untuk tersenyum. Dan hari itu, aku menyadari sesuatu: kadang dunia terlalu ramai bukan karena jumlah orangnya, tapi karena beban pikiran kita yang terlalu penuh. Aku pun menutup laptop, mematikan notifikasi HP, dan menuliskan tiga kata besar di buku catatanku:
AKU BUTUH JEDA.
Dan kamu tahu apa yang terjadi ketika aku bilang itu ke salah satu temanku? Dia malah ngirimin link Google Form survei kesehatan mental.
“Isian ini bagus banget buat refleksi, loh,” katanya.
Tentu saja aku mengisi. Tapi jujur aja, setelah pertanyaan ke-17 yang bunyinya “Seberapa sering Anda merasa tidak berarti dalam satu minggu terakhir?”, aku cuma bisa nyengir. Bukan karena aku merasa nggak berarti, tapi karena ternyata... aku udah lupa rasanya berarti buat diri sendiri. Kita terlalu sering ingin diakui orang lain, sampai lupa bahwa pengakuan paling penting datang dari dalam diri. Kita terlalu ingin dianggap mampu, dianggap kuat, dianggap hebat, sampai akhirnya capek sendiri karena ternyata... kita hanya manusia biasa.
Dan ya, manusia biasa boleh merasa kewalahan.
Ada satu malam saat aku duduk sendirian di teras rumah, menatap langit gelap yang cerah oleh bintang-bintang—seolah mereka tahu aku lagi butuh ditemani tapi nggak mau diajak ngobrol. Aku berpikir tentang semua yang terjadi beberapa bulan terakhir. Tentang bagaimana aku mencoba menjadi versi terbaik dari diriku, padahal kadang yang aku butuhkan hanyalah menjadi versi paling jujur. Pernah ada waktu aku memaksa diri menghadiri undangan ulang tahun teman, padahal aku tahu batinku lagi nggak stabil. Hasilnya? Aku senyum palsu sepanjang malam dan pulang dengan perasaan lebih hampa. Pernah juga aku sok-sokan aktif di grup chat, ikut bercanda, kasih respons lucu, padahal aku sedang menangis dalam selimut. Kenapa? Karena aku takut jadi yang “aneh”. Takut dianggap tidak normal karena ingin sendiri. Tapi malam itu, aku sadar: ingin sendiri bukan berarti aneh. Menikmati sunyi bukan tanda ada yang salah. Kadang kita butuh ruang tanpa suara, tanpa harapan orang lain, tanpa keharusan menjelaskan segalanya.
Kadang kita hanya ingin ada, bukan untuk siapa-siapa. Cuma untuk diri sendiri.
Hari berikutnya aku izin cuti kerja. Satu hari aja. Dan bukan untuk liburan ke pantai atau staycation yang estetik. Aku cuma ingin diem di rumah. Nonton ulang serial lama yang sudah aku hafal dialognya. Minum teh jahe. Baca ulang buku yang dulu menyelamatkanku di masa-masa sulit. Hari itu aku benar-benar merasakan kembali napas yang tenang. Rasanya seperti pelukan setelah hari yang berat. Aku tidak ngapa-ngapain, tapi juga tidak merasa bersalah karenanya. Dan itu, teman-teman, adalah bentuk self-care yang paling underrated: memberi izin pada diri sendiri untuk tidak harus selalu produktif. Dunia boleh sibuk. Orang-orang boleh lari ke sana kemari mengejar pencapaian. Tapi aku? Aku memilih berjalan pelan, sambil menikmati aroma teh yang menenangkan, dan membiarkan pikiranku bernapas.
Beberapa hari kemudian, aku kembali ke kantor dengan energi yang sedikit lebih utuh. Dan kamu tahu apa yang paling menghibur? Ternyata aku nggak sendiri.
“Lo juga ya, ngerasa dunia akhir-akhir ini kayak... terlalu rame?” tanya Dira, rekan kerjaku, sambil mengaduk kopi sachet di pantry.
Aku kaget. “Lho, kamu juga?”
Dia mengangguk. “Makanya kemarin gue nggak muncul. Gue matiin HP, tidur seharian. Dunia ini terlalu banyak suara, kadang kita butuh hening buat dengerin diri sendiri.”
Aku tertawa kecil. “Kita kayak radio yang frekuensinya kacau ya. Butuh di-reset biar suara dalamnya bisa terdengar jelas.”
Dira mengangguk setuju. Dan di situlah aku sadar bahwa yang aku alami ternyata bukan cuma aku yang rasakan.
Banyak orang merasa begitu. Merasa lelah tanpa tahu sebabnya. Merasa penuh tanpa bisa menjelaskan isinya apa. Merasa butuh ruang, tapi takut dibilang antisosial. Padahal, tidak apa-apa untuk bilang, “Hari ini aku tidak ingin bicara banyak.” Tidak apa-apa untuk bilang, “Aku sedang tidak ingin ditanya-tanya.” Dan yang paling penting: tidak apa-apa untuk bilang, “Aku butuh sendiri.” Karena menjadi bagian dari dunia tidak harus selalu berarti terlibat dalam hiruk pikuknya. Kadang, menjadi bagian dari dunia juga bisa berarti menjaga dunia kecil kita sendiri: pikiran, perasaan, dan ketenangan dalam hati.
Malam ini aku menulis lagi di buku catatanku. Tapi kali ini, bukan tentang kelelahan. Melainkan tentang pemahaman. Bahwa dunia akan selalu terasa ramai, tapi aku bisa menciptakan ruang sunyi di dalam diriku sendiri. Sebuah ruang yang tidak perlu penilaian. Tidak perlu validasi. Tidak perlu balasan cepat atau emotikon. Cukup ruang untuk menjadi... aku. Dengan segala kebisingan dalam kepala yang kini mulai bisa diajak berdamai.
Aku menulis:
Sunyi bukan musuh. Sunyi adalah tempat pulang. Dan kamu tahu? Setelah aku menulis itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, aku bisa tertidur tanpa suara-suara yang rebutan di dalam kepala.
Pesan Moral:
Bab ini ingin mengingatkan kita bahwa kelelahan mental bisa datang dari keramaian yang tidak terlihat. Dari suara-suara kecil yang terus-menerus memaksa kita untuk kuat, aktif, ramah, dan produktif. Padahal, kita tidak harus selalu begitu. Kita boleh memilih diam. Kita boleh memilih sendiri. Kita boleh memilih jeda. Karena menjadi manusia bukan soal tampil sempurna di tengah keramaian, tapi berani jujur pada diri sendiri, meskipun dunia sedang sibuk bersorak-sorai. Dan jika suatu hari nanti kamu merasa dunia ini terlalu ramai, ingatlah: kamu selalu boleh pulang ke ruang tenang dalam dirimu. Di sana, kamu aman. Di sana, kamu cukup. Sementara itu, dunia di luar terasa makin bising. Orang-orang berlalu lalang, masing-masing dengan tujuan dan langkah mereka sendiri. Tapi di tengah keramaian itu, aku merasa semakin kecil. Seolah-olah aku menjadi bagian dari suatu hiruk-pikuk yang tak tahu tujuan. Dan aku, terjebak di dalamnya, bingung apakah aku sedang berjalan ke arah yang benar atau sekadar mengikuti arus.
Ketika dunia terasa terlalu ramai, kita sering merasa seperti hanya ada di pinggiran, hanya menjadi penonton dalam kehidupan orang lain. Itu yang aku rasakan saat itu. Semua orang tampak sibuk dengan dunia mereka sendiri. Sementara aku, hanya berdiri di sana, menyaksikan dengan diam, tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Pikiran-pikiran itu datang seperti hujan deras, tak terbendung. Rasanya, aku ingin menutup telinga dan mata, ingin bersembunyi di balik dunia kecilku. Namun, aku tahu itu bukan solusi. Aku tidak bisa terus bersembunyi dari kenyataan.
Aku mulai berpikir, apa yang salah dengan dunia ini? Mengapa terasa begitu banyak tuntutan dan ekspektasi yang harus aku penuhi? Mengapa semua orang tampak begitu hebat, sementara aku hanya merasa kebingungan dan lelah? Itu adalah pertanyaan yang terus menghantui pikiranku. Tetapi, lama-kelamaan aku menyadari satu hal penting: dunia ini, dengan segala keramaian dan kebisingannya, tidak pernah memaksaku untuk ikut larut di dalamnya. Aku bisa memilih. Aku bisa memilih untuk tidak terlalu memikirkan apa yang orang lain pikirkan, dan lebih fokus pada diriku sendiri.
Menjadi kuat setiap hari bukanlah keharusan. Itu adalah pilihan. Dan dalam perjalanan ini, aku menyadari bahwa kekuatan sejati bukan datang dari selalu tampil sempurna atau memenuhi ekspektasi orang lain. Kekuatan sejati datang ketika kita mampu menerima kelemahan kita, ketika kita berani untuk berkata, "Aku tidak tahu," dan tidak takut untuk mencari bantuan atau beristirahat. Pagi itu, saat aku duduk di balkon rumah, memandangi langit yang mulai cerah, aku merasa sedikit lega. Dunia mungkin tetap bising, tetapi aku tidak perlu terjebak di dalamnya. Aku bisa memilih untuk berdiri, menarik napas dalam-dalam, dan melangkah ke arah yang lebih tenang.
Aku tahu perjalanan ini tidak akan mudah. Akan ada banyak rintangan, banyak momen ketika aku merasa seperti ingin menyerah. Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak harus kuat setiap hari. Ada kalanya aku boleh merasa lemah, boleh merasa rapuh, dan itu tidak membuatku menjadi lebih kecil atau kurang berarti. Aku ingat satu kalimat yang pernah kubaca: "Kekuatan sejati datang bukan dari berapa banyak yang bisa kamu tanggung, tapi dari seberapa banyak kamu bisa melepaskan dan membiarkan diri untuk sembuh." Kalimat itu seperti sebuah pencerahan bagiku. Selama ini aku berpikir bahwa menjadi kuat berarti menahan segala beban dan tidak pernah tampak rapuh. Tapi kini, aku mulai memahami bahwa kekuatan sejati datang dari kemampuan untuk mengakui bahwa kita tidak selalu baik-baik saja, dan itu tidak apa-apa.
Di tengah keramaian dunia ini, aku belajar untuk mendengarkan diriku sendiri. Aku belajar untuk mendengarkan apa yang dibutuhkan oleh hatiku, apa yang sebenarnya aku rasakan, bukan hanya apa yang dunia harapkan dariku. Dan meskipun dunia tetap ramai, aku merasa sedikit lebih tenang. Aku tahu bahwa aku tidak sendirian, bahkan jika aku merasa terkadang seperti itu. Ada banyak orang di luar sana yang juga merasa sama. Dan kami semua, dengan cara masing-masing, sedang mencari cara untuk kembali ke diri kami yang sejati. Aku mulai merangkul momen-momen kecil yang dulu sering aku abaikan. Tertawa bersama teman-teman, menikmati secangkir kopi di pagi hari, atau sekadar duduk dalam keheningan dan membiarkan pikiran-pikiran datang dan pergi. Semua itu adalah bagian dari proses menyembuhkan diri. Dan aku tahu, meskipun dunia ini kadang terasa terlalu ramai, aku bisa memilih untuk berjalan dengan langkah yang lebih pelan, lebih penuh kesadaran, dan lebih penuh penerimaan terhadap diriku sendiri.
Jadi, ketika dunia terasa terlalu ramai, aku tidak perlu terjebak di dalamnya. Aku bisa memilih untuk berhenti sejenak, menarik napas, dan kemudian melanjutkan perjalanan ini dengan lebih bijaksana. Dunia mungkin tidak akan berhenti berputar, tetapi aku bisa memilih bagaimana aku ingin menghadapinya. Aku tidak harus menjadi hebat setiap hari. Aku hanya perlu menjadi aku, dengan segala kekurangan dan kelebihanku. Aku tidak harus sempurna, aku hanya perlu menjadi manusia yang belajar setiap hari, dan itu sudah cukup. Aku percaya, langkah demi langkah, aku akan menemukan kedamaian yang selama ini kucari.
Karena pada akhirnya, kebahagiaan bukanlah tentang seberapa banyak yang kita capai, tapi tentang seberapa banyak kita bisa merasa cukup dengan diri kita sendiri. Dan aku, kini, mulai merasa cukup. Dengan segala kekurangan, dengan segala kelebihan, aku mulai belajar untuk mencintai diri sendiri, dengan cara yang paling tulus.