Pagi itu, aku duduk di teras rumah dengan secangkir kopi yang mulai mendingin. Di depanku, selembar kertas penuh coretan dan tanda silang besar. Itu adalah daftar resolusi tahun lalu yang sebagian besar belum tercapai.
"Belajar bahasa Prancis," coret.
"Menulis novel," coret.
"Olahraga rutin," coret.
Aku menatap daftar itu dan tertawa kecil. Bukan karena lucu, tapi karena menyadari betapa ambisiusnya diriku setahun lalu. Tapi bukankah hidup memang seperti itu? Kita membuat rencana, lalu hidup berkata, "Tunggu dulu, aku punya ide lain."
Pertemuan dengan Diri Sendiri
Di tengah tawa itu, aku merenung. Apakah aku gagal? Atau mungkin, aku hanya sedang belajar? Belajar bahwa tidak semua rencana berjalan mulus. Belajar bahwa terkadang, berhenti sejenak bukan berarti menyerah. Belajar bahwa hidup bukan tentang mencapai semua target, tapi tentang menikmati prosesnya.
Kisah Si Kucing dan Kursi
Beberapa hari lalu, kucing peliharaanku, Momo, mencoba melompat ke kursi tinggi di ruang tamu. Dia gagal. Lalu mencoba lagi. Gagal lagi. Tapi dia tidak menyerah. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya dia berhasil duduk manis di atas kursi, menatapku dengan bangga. Melihat Momo, aku tersenyum. Terkadang, kita perlu belajar dari kucing. Mereka tidak mengenal kata gagal, hanya mencoba dan mencoba lagi.
Pelajaran dari Kegagalan
Dulu, aku takut gagal. Takut dicap tidak kompeten. Takut mengecewakan orang lain. Tapi semakin aku mencoba menghindari kegagalan, semakin aku merasa terjebak. Sampai suatu hari, aku membaca kutipan yang mengubah perspektifku: "Kegagalan adalah guru terbaik." Sejak saat itu, aku mulai melihat kegagalan sebagai bagian dari proses belajar. Setiap kesalahan adalah pelajaran. Setiap jatuh adalah kesempatan untuk bangkit lebih kuat.
Menulis Ulang Definisi Sukses
Dulu, sukses bagiku adalah mencapai semua target. Sekarang, sukses adalah ketika aku bisa tidur nyenyak tanpa beban di hati. Sukses adalah ketika aku bisa tertawa lepas meski hari tidak berjalan sesuai rencana. Sukses adalah ketika aku bisa menerima diriku apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangan.
Pukul empat sore, aku kembali membuka folder bernama "Proyek Besar Tahun Ini" di laptop. Di dalamnya? Dokumen-dokumen dengan judul ambisius: "Novel Debut Bestseller", "Channel YouTube Motivasi", dan yang paling menggelikan: "Aplikasi Pintar Pengingat Air Minum untuk Orang Pelupa". Aku sendiri ngakak lihat itu. Kenapa dulu aku mikir bisa bangun semua itu dalam setahun sambil kerja kantoran dan masih sempat rebahan? Tapi hari ini, aku tidak membuka folder itu untuk menyalahkan diri. Aku membukanya untuk tersenyum. Karena walau belum semuanya selesai, aku telah memulai. Dan itu bukan kegagalan. Itu keberanian.
"Kita ini suka lupa," kata Rani, sahabatku, beberapa minggu lalu. "Bahwa niat baik pun layak dirayakan, meski hasil akhirnya belum kelihatan." Kalimat itu menempel di kepala. Seperti stiker lucu yang nempel di kulkas rumah nenek. Kadang kita terlalu keras sama diri sendiri, padahal orang lain pun belum tentu menuntut seperti itu.
Cerita Si Sore yang Hancur
Aku ingat satu sore yang membuatku merasa seperti manusia gagal sejati. Hari itu aku lupa deadline kerja, lupa beli gas, dan bahkan lupa bawa dompet. Ketika akhirnya sampai rumah, aku nangis di dapur gara-gara telur pecah semua di tas belanja. Drama banget, iya. Tapi itu nyata. Malamnya, aku kirim voice note ke Rani, sambil sesenggukan seperti sinetron:
"Ran… aku kayaknya nggak cocok jadi manusia."
Dia cuma balas satu kalimat:
"Besok coba lagi jadi manusia, kalau belum cocok juga, jadi tanaman. Minimal kamu tetap tumbuh."
Aku ketawa. Dan ya, itu menghiburku lebih dari semua kata-kata motivasi di internet.
Kita Tidak Diajari Caranya Memaafkan Diri Sendiri Kita semua pernah salah langkah. Pernah membuang waktu untuk orang yang tak tahu cara menghargai. Pernah memilih jalan yang ujungnya hanya luka. Tapi tidak semua dari kita tahu bahwa kita boleh berhenti sejenak, menghela napas, dan berkata, “Aku memaafkan diriku.” Aku pernah marah pada diriku sendiri hanya karena tidak kuat setiap hari. Aku mengira aku lemah karena menangis. Aku merasa gagal karena tidak bisa menyelesaikan semuanya dengan sempurna.
Tapi ternyata... tidak apa-apa.
Tidak apa-apa kalau kamu sempat berhenti. Tidak apa-apa kalau kamu pernah takut. Tidak apa-apa kalau kamu butuh waktu lebih lama untuk sembuh, untuk bangkit, untuk percaya lagi.
Belajar Merayakan Hal Kecil
Suatu hari aku berhasil bangun tanpa menunda alarm. Aku merasa seperti pemenang Oscar. Hari lain, aku memasak tanpa gosong. Rasanya seperti juara MasterChef. Hal-hal kecil seperti itu... layak dirayakan. Seringkali kita terlalu fokus pada pencapaian besar, padahal keberanian untuk bertahan hari ini juga butuh kekuatan luar biasa. Aku mulai mencatat "kemenangan kecil" di notes HP-ku. Hari-hari ketika aku berhasil mandi pagi, membalas chat teman, atau sekadar menyeduh teh tanpa airnya kepanasan. Hal-hal yang dulu terasa sepele, kini jadi bukti bahwa aku belajar.
Dan Tentang Mereka yang Terus Melangkah
Ada satu hal yang aku sadari dari semua orang hebat yang aku kagumi: mereka bukan tidak pernah gagal. Mereka hanya tidak berhenti ketika gagal. Mereka mengambil waktu, merenung, menangis, mungkin rebahan sambil makan es krim, tapi mereka tetap bangkit. Pelan-pelan. Dan aku juga bisa seperti itu. Aku bukan harus selalu luar biasa. Aku hanya perlu tetap mencoba. Bahkan saat rasanya semua orang lebih cepat, lebih hebat, lebih berkilau—aku bisa tetap berjalan dengan kecepatanku sendiri.
Kata “Belajar” Itu Ajaib
Kata "belajar" itu punya kekuatan luar biasa. Saat aku berkata, "Aku gagal", rasanya berat. Tapi saat aku bilang, "Aku sedang belajar", ada ruang untuk tumbuh. Ada harapan di sana. Kata itu mengubah luka menjadi pelajaran. Mengubah air mata jadi proses. Mengubah rasa malu menjadi momen yang bisa diceritakan sambil tertawa.
Bayangkan kalau semua orang bisa berkata begitu:
"Aku belum bisa—tapi aku sedang belajar."
"Bukannya gagal, cuma belum sampai."
"Bukannya lambat, hanya menyesuaikan langkah."
Momen Damai dalam Diri Sendiri
Malam itu, aku menulis surat untuk diriku sendiri.
Halo, kamu yang sedang mencoba.
Terima kasih sudah bertahan sejauh ini.
Terima kasih karena tidak menyerah, meski dunia kadang terlalu bising.
Aku tahu kamu capek. Tapi aku bangga padamu.
Kamu bukan gagal. Kamu sedang belajar. Dan itu lebih dari cukup.
Aku melipat surat itu, menyimpannya di bawah bantal. Bukan untuk dibaca orang lain. Tapi untuk aku temukan lagi di hari-hari ketika aku lupa betapa kuatnya aku.
Jadi, kalau kamu sedang merasa tidak hebat, tidak cukup, tidak mampu… peluk dirimu sendiri. Katakan pelan-pelan:
“Aku tidak gagal. Aku sedang belajar.”
Dan belajar butuh waktu. Belajar butuh kesabaran. Belajar butuh cinta.
Termasuk cinta dari dirimu sendiri. Karena hidup bukan lomba cepat-cepat sampai. Hidup adalah perjalanan yang kadang perlu mampir, ngopi, bahkan duduk sambil menangis sebentar. Tapi setelah itu, kita bisa lanjut lagi.
Pelan-pelan. Tapi tetap melangkah.
Hari ini, aku menatap daftar resolusi itu sekali lagi. Aku tidak mencoretnya, tapi menulis di bawahnya: "Aku tidak gagal, aku sedang belajar." Karena hidup bukan tentang mencapai semua yang kita inginkan, tapi tentang tumbuh dan belajar dari setiap pengalaman.