Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
MENU
About Us  

Pagi itu, aku terbangun dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Tidak ada luka fisik, tidak ada demam, tapi ada sesuatu yang berat di dada. Rasanya seperti membawa ransel penuh batu yang tak terlihat oleh orang lain. Aku mencoba menjalani hari seperti biasa. Sarapan, mandi, dan bersiap untuk bekerja. Namun, setiap langkah terasa berat. Senyum yang kuperlihatkan di depan cermin pun terasa palsu. Di kantor, aku berusaha terlihat normal. Menjawab sapaan rekan kerja, menghadiri rapat, dan menyelesaikan tugas. Tapi di dalam hati, aku merasa hampa. Seperti robot yang menjalankan program tanpa perasaan. Saat makan siang, aku duduk sendirian di pojok kantin. Melihat sekeliling, semua orang tampak bahagia, tertawa, dan berbagi cerita. Aku hanya menatap nasi di piringku, kehilangan selera makan.

Sore harinya, aku pulang lebih awal. Di rumah, aku duduk di sofa, menyalakan televisi, tapi tidak benar-benar menontonnya. Pikiran melayang ke masa lalu, mengingat kejadian-kejadian yang mungkin menjadi penyebab perasaan ini. Aku teringat saat kehilangan sahabatku dalam kecelakaan beberapa tahun lalu. Saat itu, aku menahan air mata, berpura-pura kuat di depan keluarga dan teman-teman. Aku tidak pernah benar-benar mengungkapkan kesedihanku. Malam itu, aku memutuskan untuk menulis di jurnal. Menuliskan semua perasaan yang selama ini kupendam. Kata demi kata mengalir, dan tanpa kusadari, air mata pun jatuh membasahi halaman. Menulis membuatku merasa sedikit lega. Aku menyadari bahwa luka batin yang tidak terlihat ini perlu diakui dan dihadapi, bukan disembunyikan.

Keesokan harinya, aku memutuskan untuk berbicara dengan seorang terapis. Dalam sesi pertama, aku menceritakan perasaanku, dan untuk pertama kalinya, aku merasa didengar tanpa dihakimi. Terapis itu memberiku pemahaman bahwa luka batin, meskipun tidak terlihat, sama nyatanya dengan luka fisik. Dan penting untuk memberikan waktu dan ruang bagi diri sendiri untuk sembuh. Seiring waktu, aku belajar untuk lebih mengenal diriku sendiri. Mengakui perasaan yang muncul, dan tidak memaksakan diri untuk selalu terlihat kuat. Aku mulai berbagi cerita dengan teman-teman terdekat. Ternyata, banyak dari mereka juga pernah merasakan hal yang sama. Kami saling mendukung dan menguatkan.

Kini, aku memahami bahwa tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja. Yang penting adalah terus berusaha dan tidak menyerah. Luka yang tak terlihat bukanlah tanda kelemahan, melainkan bagian dari perjalanan hidup yang membentuk kita menjadi pribadi yang lebih kuat dan empatik. Hari-hari berikutnya aku isi dengan hal-hal sederhana yang membuatku merasa lebih hidup. Jalan kaki di pagi hari sambil mendengarkan lagu-lagu lawas, menonton ulang film favorit yang membuatku tertawa, dan menelepon ibu hanya untuk mendengar suaranya. Aku juga mulai menulis surat kepada diriku sendiri. Surat-surat yang berisi pengingat bahwa aku dicintai, bahwa aku cukup, meski kadang merasa kurang. Kadang surat itu aku baca ulang di malam-malam sulit. Dan ajaibnya, itu membantu.

Suatu malam, hujan turun cukup deras. Aku duduk di jendela, memandangi tetesan air yang meluncur di kaca. Aku teringat masa kecil, saat aku dan ayah sering menonton hujan sambil minum teh hangat. Saat itu aku sadar, bukan hanya luka yang tak terlihat yang tertanam dalam diriku—tapi juga kenangan hangat yang kadang aku lupakan. Aku mulai mengisi ulang kembali diriku dengan momen-momen kecil yang menenangkan. Berbicara jujur pada teman ketika aku tidak sanggup pergi keluar, memberi waktu pada tubuh untuk beristirahat, bahkan memeluk diriku sendiri saat hari terasa terlalu panjang.

Pernah suatu pagi aku bangun dengan perasaan yang benar-benar ringan. Bukan karena semua masalah selesai, tapi karena aku tidak lagi menyangkal bahwa aku punya luka. Dan itu tidak apa-apa. Aku tidak harus pura-pura bahagia sepanjang waktu. Aku pun mulai aktif di komunitas kecil tentang kesehatan mental. Kami berbagi cerita, menangis, tertawa, bahkan saling menyemangati lewat pesan singkat. Dari situ aku belajar bahwa luka yang tak terlihat itu ada di mana-mana, dalam berbagai bentuk dan warna. Di satu sesi pertemuan komunitas, seorang wanita bernama Lina menceritakan tentang kecemasannya yang tak kunjung reda. Ia merasa sendiri, tak dianggap, dan lelah menjalani hidup. Tapi dengan menangis di depan kami, ia merasa lebih ringan. Dan kami semua yang mendengarnya, merasa lebih terhubung satu sama lain.

Saat aku pulang malam itu, aku tersenyum sendiri di angkutan kota. Luka yang tak terlihat itu ternyata tidak harus ditangani sendirian. Ada ruang untuk kita saling memeluk, walau hanya lewat kata-kata. Suatu hari, aku bertemu dengan seorang teman lama. Ia bilang, "Kamu sekarang kelihatan beda. Lebih... tenang." Aku tertawa kecil dan menjawab, "Aku sedang belajar berdamai dengan diriku sendiri." Perjalanan ini bukan perjalanan cepat. Ini bukan jalan lurus. Kadang aku merasa membaik, lalu besoknya kembali merasa tenggelam. Tapi setiap kali aku jatuh, aku tahu aku punya alat bantu untuk bangkit: menulis, berbicara, mendengar musik, memeluk diri sendiri, dan meminta bantuan. Dan yang terpenting, aku tidak lagi merasa perlu menyembunyikan luka itu. Aku mulai membiarkan orang-orang tahu bahwa aku juga pernah rapuh. Bahwa aku juga pernah merasa tidak berarti. Dan mereka tidak menertawakanku. Justru mereka merespons dengan hangat: "Aku juga, kok."

Malam ini, aku menulis lagi di jurnalku. Tapi kali ini bukan tentang kesedihan, melainkan tentang betapa bangganya aku terhadap diriku yang telah bertahan. Aku menulis: "Terima kasih, diriku. Karena kamu tidak menyerah. Karena kamu masih di sini."

Luka yang tak terlihat itu kini tidak lagi menakutkanku. Aku tidak lagi menghindarinya. Aku belajar untuk duduk bersamanya, menatapnya, dan berkata, "Kamu bagian dari hidupku, tapi kamu bukan seluruh diriku." Dan dalam pelukan malam yang sunyi, aku merasa utuh. Luka dan semuanya. Seiring hari-hari berlalu, aku mulai mengenali pola-pola yang dulu kuabaikan. Setiap kali aku merasa hampa atau cemas tanpa sebab yang jelas, ternyata itu bukan tanpa alasan. Ada bagian dalam diriku yang selama ini berteriak minta diperhatikan, tapi aku tutup mulutnya dengan kesibukan, tawa basa-basi, dan kalimat “aku baik-baik saja” yang kosong. Ternyata, menyembuhkan luka batin bukan soal menemukan solusi cepat, melainkan tentang keberanian untuk duduk bersama rasa sakit itu. Bukan untuk mengusirnya, tapi untuk mendengarkannya. Untuk menatapnya, dan berkata, “Aku tahu kamu ada di sana. Aku siap belajar berjalan bersamamu.”

Suatu malam, saat hujan turun deras dan angin mengetuk jendela seperti ingin masuk, aku menyalakan lilin aroma lavender dan memutar playlist yang dulu sering kudengar saat SMA. Lagu-lagu lama itu membawaku kembali ke masa-masa yang lebih sederhana. Masa saat aku bisa menangis tanpa merasa harus memberi alasan. Saat aku bisa tertawa lepas hanya karena melihat seekor kucing menari di YouTube.

Aku tersenyum kecil saat mengingat betapa polosnya aku dulu. Dan tanpa sadar, aku juga menangisi versi diriku yang sudah terlalu lama kutinggalkan. Aku pernah menjadi orang yang ringan, yang hangat, yang percaya pada banyak hal kecil dalam hidup. Tapi luka-luka yang tak terlihat itu, entah sejak kapan, membuatku membangun tembok yang tinggi. Bukan untuk melindungi diri, tapi untuk menyembunyikan semua kerapuhan yang kupikir memalukan.

Tapi malam itu, di bawah cahaya lilin dan lantunan lagu-lagu nostalgia, aku berjanji: aku akan menjadi rumah bagi diriku sendiri. Aku tak mau lagi menjauh dari perasaanku sendiri. Aku tak akan menutup pintu untuk kesedihan hanya karena takut terlihat lemah. Beberapa hari kemudian, aku memberanikan diri untuk membuka obrolan dengan salah satu sahabat lama, Awan. Kami dulu dekat, tapi setelah kejadian-kejadian pahit dalam hidup, aku menjauh. Aku takut ditanya, “Kamu kenapa?” karena aku tak punya jawaban. Namun kali ini, aku berkata jujur padanya. Bahwa beberapa waktu terakhir ini aku merasa seperti mengambang. Seperti kehilangan arah. Dan tahu apa responsnya? Dia hanya mengetik: “Aku pernah juga ngerasa kayak gitu. Nggak gampang. Tapi kamu nggak sendirian.” Dan dari kalimat sesederhana itu, aku menangis. Bukan karena sedih, tapi karena lega. Ternyata aku tidak gila. Aku tidak sendiri. Banyak orang yang juga menyimpan luka yang tak terlihat, dan saling memahami dalam sunyi.

Aku mulai belajar memberi ruang untuk hal-hal kecil yang menenangkan: berjalan tanpa tujuan di sore hari, membuat kopi sambil memutar podcast lucu, menulis tanpa harus bagus, hanya untuk menumpahkan isi kepala. Aku juga mulai memaafkan diriku sendiri. Untuk semua malam di mana aku tidak bisa tidur karena pikiran yang melompat-lompat. Untuk semua hari di mana aku tidak produktif dan hanya bisa duduk sambil menatap langit. Untuk semua keputusan yang dulu kuanggap salah, tapi ternyata membawaku ke tempat di mana aku bisa mulai menyembuhkan diri.

Di sesi terapi berikutnya, aku berkata, “Saya sudah mulai mengizinkan diri untuk tidak kuat setiap waktu.” Terapisku tersenyum dan menjawab, “Itu kemajuan besar. Mengizinkan diri sendiri untuk tidak baik-baik saja adalah awal dari kebebasan.”

Aku terdiam, meresapi kalimat itu. Ya, kebebasan. Selama ini aku terpenjara oleh ekspektasi orang lain, bahkan oleh ekspektasi diriku sendiri. Aku ingin selalu terlihat tangguh, cerdas, bisa diandalkan. Tapi ternyata, di balik semua itu, ada aku yang lelah. Yang ingin rebahan. Yang ingin menangis tanpa ditanya, “Kok nangis sih?”

Setelah sesi itu, aku menulis satu kalimat di kertas kecil dan kutempel di dinding kamarku:
“Tidak semua luka harus dijelaskan. Tapi semua luka berhak untuk dirawat.”

Kalimat itu menjadi mantra kecilku setiap kali hari terasa berat. Setiap kali dada sesak tanpa sebab. Setiap kali aku merasa ingin menghilang sebentar dari dunia. Dan kamu tahu, penyembuhan bukan proses lurus. Ada hari-hari di mana aku kembali merasa kosong. Ada pagi-pagi di mana aku enggan membuka mata. Tapi kali ini, aku tidak lagi menyalahkan diri. Aku hanya berkata, “Nggak apa-apa. Hari ini pelan-pelan saja.” Aku mulai mengganti to-do list yang panjang dengan to-feel list: Hari ini, aku ingin merasa cukup. Aku ingin merasa damai. Aku ingin merasa dihargai—oleh diriku sendiri.

Dan lucunya, saat aku tidak lagi memaksakan diri untuk sembuh, justru di situlah pelan-pelan aku mulai merasa lebih ringan. Aku belajar bahwa tidak semua luka butuh diceritakan pada semua orang. Tapi penting untuk punya satu atau dua orang yang bisa kamu hubungi tanpa harus sok kuat. Yang bisa kamu kirimi pesan pendek seperti, “Aku lagi butuh pelukan, walaupun virtual aja.” Awan sering jadi orang itu buatku. Dan aku bersyukur, di tengah semua kekacauan dunia, masih ada orang-orang baik yang hadir hanya untuk duduk di sebelahmu, bahkan dalam diam. Luka yang tak terlihat bukan berarti tidak nyata. Kadang ia hanya butuh waktu. Butuh kesabaran. Dan yang terpenting: butuh dirimu sendiri untuk tidak pergi. Hari ini, jika kamu membaca ini sambil menahan napas panjang karena merasa berat menjalani hidup—aku ingin kamu tahu, aku pernah di sana. Dan kamu tidak sendiri. Tidak sekarang. Tidak besok.

Kita tidak harus sembuh secepat mungkin. Kita hanya perlu jujur, pelan-pelan, dan penuh kasih kepada diri sendiri. Karena luka, meskipun tak terlihat, tetaplah bagian dari kita. Tapi ia tidak akan selamanya jadi pusat dari cerita kita. Ada hari-hari baru menanti. Ada versi dirimu yang lebih kuat—bukan karena tak terluka, tapi karena memilih untuk tetap bertahan meski terluka.

Dan itu, temanku, adalah keberanian yang sesungguhnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
CELOTEH KUTU KATA
40247      6616     16     
Fantasy
Kita adalah sekumpulan kutu yang banyak menghabiskan kata tanpa peduli ada atau tidaknya makna. Sebagai kutu kadang kita lupa bahwa hidup bukan sekedar berkata-kata, tapi lebih dari itu, kita harus berkarya. Berkaryalah walau hanya sepatah kata sebelum jiwa dan ragamu jadi mangsa kutu penghuni tanah.
Kainga
2835      1445     13     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
Kini Hidup Kembali
138      125     1     
Inspirational
Sebenarnya apa makna rumah bagi seorang anak? Tempat mengadu luka? Bangunan yang selalu ada ketika kamu lelah dengan dunia? Atau jelmaan neraka? Barangkali, Lesta pikir pilihan terakhir adalah yang paling mendekati dunianya. Rumah adalah tempat yang inginnya selalu dihindari. Namun, ia tidak bisa pergi ke mana-mana lagi.
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
779      389     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
The Best Gift
59      56     1     
Inspirational
Tidak ada cinta, tidak ada keluarga yang selalu ada, tidak ada pekerjaan yang pasti, dan juga teman dekat. Nada Naira, gadis 20 tahun yang merasa tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Hidupnya hanya dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi dalam  novel-novel dan drama  kesukaannya. Tak seperti manusia yang lain, hidup Ara sangat monoton seakan tak punya mimpi dan ambisi. Hingga pertemuan dengan ...
Paint of Pain
2714      1633     38     
Inspirational
Vincia ingin fokus menyelesaikan lukisan untuk tugas akhir. Namun, seorang lelaki misterius muncul dan membuat dunianya terjungkir. Ikuti perjalanan Vincia menemukan dirinya sendiri dalam rahasia yang terpendam dalam takdir.
By Your Side
454      321     1     
Short Story
Syrena dan mimpinya untuk berada di atas es.
Dalam Satu Ruang
243      183     2     
Inspirational
Dalam Satu Ruang kita akan mengikuti cerita Kalila—Seorang gadis SMA yang ditugaskan oleh guru BKnya untuk menjalankan suatu program. Bersama ketiga temannya, Kalila akan melalui suka duka selama menjadi konselor sebaya dan juga kejadian-kejadian yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Lost In Auto
1629      671     1     
Romance
Vrinda Vanita, adalah seorang remaja putri yang bersekolah di SMK Loka Karya jurusan Mekanik Otomotif bersama sahabatnya Alexa. Di sekolah yang mayoritas muridnya laki-laki, mereka justru suka pada cowok yang sama.
Di Antara Luka dan Mimpi
1618      920     70     
Inspirational
Aira tidak pernah mengira bahwa langkah kecilnya ke dalam dunia pondok akan membuka pintu menuju mimpi yang penuh luka dan luka yang menyimpan mimpi. Ia hanya ingin belajar menggapai mimpi dan tumbuh, namun di perjalanan mengejar mimpi itu ia di uji dengan rasa sakit yang perlahan merampas warna dari pandangannya dan menghapus sebagian ingatannya. Hari-harinya dilalui dengan tubuh yang lemah dan ...