Pagi itu, aku terbangun dengan perasaan yang aneh. Tidak ada alarm yang berbunyi, tidak ada pesan masuk, tapi hatiku terasa sesak. Seperti ada beban yang menempel erat, sulit dilepaskan. Aku duduk di tepi tempat tidur, menatap jendela yang masih tertutup tirai. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi cahayanya mulai menyelinap masuk. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
"Hari ini, aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda," bisikku pada diri sendiri.
Aku mengambil buku catatan yang sudah lama tergeletak di meja. Buku itu penuh dengan coretan, daftar tugas, dan beberapa sketsa acak. Tapi hari ini, aku ingin menggunakannya untuk menulis surat.
Surat untuk diriku sendiri.
Kepada diriku yang pernah terluka
Aku tahu, selama ini kamu berusaha keras untuk menjadi kuat. Kamu menahan air mata, menyembunyikan luka, dan terus berjalan meski kaki terasa lelah. Tapi hari ini, aku ingin kamu tahu bahwa tidak apa-apa untuk berhenti sejenak. Tidak apa-apa untuk merasa sedih, kecewa, atau marah. Emosi itu manusiawi. Kamu tidak harus selalu tersenyum jika hatimu sedang menangis. Kamu berhak untuk merasakan semua itu. Aku minta maaf karena selama ini aku terlalu keras padamu. Aku menuntutmu untuk sempurna, untuk tidak membuat kesalahan. Padahal, kesalahan adalah bagian dari proses belajar. Tanpa kesalahan, kita tidak akan pernah tumbuh.
Aku memaafkanmu atas semua keputusan yang pernah kamu ambil, baik yang benar maupun yang salah. Karena dari semua itu, kamu belajar menjadi pribadi yang lebih bijaksana. Mulai hari ini, mari kita berjanji untuk lebih mencintai diri sendiri. Untuk menerima segala kekurangan dan kelebihan. Untuk tidak lagi membandingkan diri dengan orang lain. Karena kamu unik, dan itu sudah cukup.
Dengan penuh cinta,
Aku.
---
Setelah menulis surat itu, aku merasa lega. Seperti beban yang selama ini menempel di dada perlahan menghilang. Aku tersenyum, meski masih ada air mata yang mengalir. Tapi kali ini, air mata itu membawa kelegaan. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman dekat rumah. Udara pagi yang segar dan kicauan burung membuat hatiku lebih tenang. Di bangku taman, aku duduk sambil memperhatikan anak-anak yang bermain, pasangan yang berjalan bergandengan tangan, dan orang tua yang berolahraga.
Salah satu anak kecil mendekatiku, menawarkan permen. Aku tertawa dan menerimanya. "Terima kasih," kataku. Anak itu tersenyum lebar sebelum berlari kembali ke teman-temannya. Momen kecil itu mengingatkanku bahwa kebahagiaan bisa datang dari hal-hal sederhana. Kita hanya perlu membuka hati untuk merasakannya. Dalam perjalanan pulang, aku bertemu dengan tetangga yang sedang menyiram tanaman. "Pagi, Nak. Kelihatan ceria hari ini," sapanya.
Aku tersenyum. "Pagi, Bu. Iya, hari ini aku merasa lebih ringan."
"Baguslah. Jangan lupa, sesekali manjakan diri sendiri. Kita juga butuh istirahat," katanya sambil tertawa.
Aku mengangguk, merasa hangat dengan perhatian sederhana itu.
Sesampainya di rumah, aku membuat secangkir teh hangat dan duduk di balkon. Menatap langit biru yang cerah, aku merasa damai. Hari ini, aku belajar bahwa memaafkan diri sendiri bukan berarti melupakan masa lalu. Tapi menerima bahwa kita adalah manusia yang terus belajar dan berkembang. Dan itu, adalah langkah pertama menuju kebahagiaan sejati.
Setelah sore itu, hari-hariku berubah pelan-pelan. Bukan berubah secara drastis seperti di film-film yang langsung punya montase perubahan hidup, tapi perlahan, nyaris tak terasa. Sama seperti ketika kamu menyadari rambutmu sudah panjang setelah beberapa bulan tidak bercermin lama. Aku mulai membiasakan diri untuk lebih memperhatikan suara-suara kecil dari dalam diriku sendiri. Suara yang dulu sering kutolak karena terlalu jujur. Misalnya, suara yang bilang, “Udah capek, istirahat dulu,” atau suara yang diam-diam berbisik, “Maafkan aku yang dulu, aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana.”
Dulu aku menganggap itu suara lemah. Kini, aku mulai sadar, itu adalah suara yang sangat ingin didengar, dimengerti, dan dipeluk. Dan siapa yang bisa memeluk diriku sendiri lebih baik selain aku? Di hari Minggu, aku memutuskan untuk bersih-bersih kamar. Kegiatan klise yang selalu hadir di buku self-healing, tapi, entah kenapa memang cukup manjur. Aku menemukan banyak hal yang membuatku tertawa sendiri. Foto lama dengan ekspresi alay, catatan penuh keluh kesah zaman SMA, hingga surat cinta yang tidak pernah terkirim.
Salah satu surat berbunyi:
“Hai kamu, yang selalu jadi orang kuat di luar, tapi lelah di dalam. Aku tahu kamu lagi pura-pura hari ini. Tapi nggak apa-apa. Aku bangga sama kamu, walau kamu belum bangga sama diri sendiri. Suatu hari nanti kamu akan memeluk dirimu sendiri dan bilang: Terima kasih sudah bertahan sejauh ini.”
Aku tak ingat kapan menulis itu, tapi membaca ulangnya seperti menyadarkan bahwa aku sudah menanam benih cinta untuk diri sendiri jauh-jauh hari, hanya saja baru kini aku sempat menyiraminya. Memaafkan diri sendiri, ternyata tidak sesederhana “aku maafin diriku”. Kadang itu perlu ditangisi dulu, perlu ada rasa bersalah dulu yang diakui, perlu diam sebentar, dan berani mengulang kenangan yang selama ini kita kubur. Dan tidak semua memori itu menyakitkan, sebagian justru menjadi semacam pelukan dari masa lalu. Aku pernah gagal, iya. Tapi aku juga pernah berhasil. Aku pernah sangat kehilangan, tapi aku juga pernah sangat dicintai. Hidup ternyata bukan soal luka saja.
Suatu malam, aku berkumpul bersama teman-teman lama. Obrolannya ngalor-ngidul, dari politik, gosip artis, sampai ngebahas mantan masing-masing. Tapi dari pertemuan itu, aku jadi menyadari satu hal: semua orang pernah salah langkah, pernah merasa malu pada dirinya sendiri, dan pernah merasa ingin mengulang waktu. Ada yang pernah menjual motor kesayangan buat investasi bodong, ada yang nyaris menikah dengan orang yang toksik, ada yang menghilang dari keluarga selama setahun karena malu. Tapi, lihat mereka sekarang. Mereka tertawa, mereka bercerita, mereka hidup.
"Aku kira aku doang yang rusak," kataku sambil tertawa.
"Eh, kalau hidup kita direkam dari awal, semua orang pasti pernah ada bab yang nggak pengen diputer ulang," jawab Ratih sambil mengunyah gorengan. “Tapi justru itu yang bikin cerita kita menarik. Bayangin hidup yang lurus-lurus aja. Kayak garis lurus di EKG—itu artinya mati, lho!” Kami semua tertawa, dan dalam tawa itu aku merasa utuh. Aku tidak sendiri. Dan aku bukan satu-satunya yang sedang belajar berdamai dengan masa lalu.
Kadang, hidup memberimu pelajaran yang tidak kamu minta, dalam bentuk pengalaman yang tidak kamu suka. Tapi kalau kita bisa bertahan, bahkan hanya dengan napas satu-satu, itu artinya kita sudah luar biasa.
Aku jadi terbiasa berbicara lembut pada diriku sendiri. Kalau dulu aku sering bilang, “Kenapa sih bodoh banget?”, sekarang aku menggantinya dengan, “Nggak apa-apa, dulu kamu belum tahu. Sekarang sudah belajar.”
Setiap kali ada pikiran yang datang untuk menyalahkan diri sendiri, aku coba bayangkan jika aku adalah temanku sendiri—apa aku akan sejahat itu? Nggak, kan?
Dan itu yang aku praktikkan. Aku mulai menjadi sahabat untuk diriku sendiri. Memaafkan diri tidak menghapus masa lalu, tapi itu cara kita menyentuh masa lalu tanpa sakit. Sama seperti menyentuh bekas luka di kulit—masih ada, tapi tidak lagi perih. Di akhir pekan, aku menulis kembali. Tapi kali ini bukan surat, bukan curhat, tapi daftar hal-hal yang pernah aku lakukan dan pantas diapresiasi. Ternyata banyak juga, meskipun bukan hal-hal besar. Seperti:
Aku pernah membantu teman keluar dari masa depresi.
Aku pernah menulis puisi untuk diriku sendiri.
Aku pernah bertahan saat pikiranku ingin menyerah.
Aku masih hidup sampai sekarang, meskipun dulu aku pernah merasa tidak kuat lagi.
Setiap kalimat itu membentuk mozaik kecil tentang diriku. Bahwa aku tidak seburuk yang kupikir. Bahwa aku layak dimaafkan. Bahwa aku boleh mencintai diri ini, apa adanya. Malam itu, sebelum tidur, aku menatap cermin. Biasanya aku cuma lihat bayangan yang penuh kritik. Tapi kali ini aku senyum, dan berkata pelan:
“Terima kasih, ya, sudah mau tetap hidup. Aku maafin kamu.”
Dan entah kenapa, malam itu aku tidur lebih nyenyak. Mungkin, untuk pertama kalinya, hatiku merasa lega.
Pesan moral
Memaafkan diri sendiri bukan tanda kelemahan, tapi bentuk tertinggi dari penerimaan. Kita sering jadi hakim paling kejam bagi diri sendiri, padahal yang paling kita butuhkan adalah pelukan dari dalam. Jangan tunggu orang lain memaafkanmu duluan. Jadilah orang pertama yang memeluk dirimu sendiri, dengan hangat, sepenuh hati. Karena kamu berharga. Dan kamu layak untuk hidup damai.