Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
MENU
About Us  

Terkadang, luka tidak selalu terlihat oleh mata. Luka itu bisa tersembunyi begitu dalam, tak terlihat oleh orang lain, bahkan oleh diri kita sendiri. Luka itu bisa datang dalam bentuk kenangan yang menggerogoti, kata-kata yang menusuk, atau bahkan janji-janji yang tak pernah dipenuhi. Kita sering kali berusaha melupakan luka-luka itu, berusaha mengabaikan, seolah-olah kita bisa menguburnya dan berharap semuanya akan hilang. Namun, luka itu tetap ada—diam, menunggu untuk dipahami dan disembuhkan. Aku pernah mengira bahwa dengan waktu, luka-luka itu akan hilang begitu saja. Aku berpikir bahwa seiring berjalannya hari-hari, rasa sakit akan memudar dan tidak akan meninggalkan bekas. Namun, semakin aku mencoba untuk melupakan, semakin aku merasa bahwa luka itu justru semakin dalam. Itu seperti sebuah bayangan yang selalu mengikuti, meskipun aku berusaha menghindar. Terkadang, aku merasa seperti berlari dari bayanganku sendiri, namun bayangan itu tetap ada, mengingatkanku akan semua hal yang pernah aku coba lupakan.

Luka itu datang begitu cepat, seperti badai yang tiba-tiba melanda. Aku tidak pernah siap. Aku tidak pernah tahu bagaimana menghadapinya. Dulu, aku merasa bahwa aku harus kuat, harus mampu bertahan dengan segala rasa sakit yang datang. Aku merasa bahwa jika aku menangis atau menunjukkan kelemahan, itu berarti aku tidak cukup kuat untuk menghadapi dunia. Aku berusaha keras untuk melupakan, untuk berpura-pura bahwa aku baik-baik saja, meskipun di dalam hatiku, aku merasa hancur.

Namun, semakin aku berusaha menekan rasa sakit itu, semakin luka itu menggerogoti. Aku merasa seolah-olah aku hidup dalam sebuah kebohongan besar—berpura-pura kuat di hadapan orang lain, tetapi sesungguhnya, aku terluka begitu dalam. Aku tidak pernah benar-benar memberi diriku izin untuk merasakan luka itu, untuk merasakannya sepenuhnya. Aku selalu menolak untuk melihatnya, seolah-olah dengan mengabaikannya, rasa sakit itu akan hilang dengan sendirinya. Luka itu mulai menuntut perhatian. Itu mulai menunjukkan dirinya dengan cara yang tidak bisa lagi aku hindari. Ada malam-malam yang terasa begitu panjang, di mana pikiranku dipenuhi oleh kenangan lama yang datang begitu tiba-tiba. Ada saat-saat ketika aku merasa terjebak dalam ingatan-ingatan yang menyakitkan, dan aku merasa seolah-olah tidak ada jalan keluar. Aku merasa seperti seorang pejuang yang terluka, yang tidak tahu harus berbuat apa.

Suatu malam, setelah berhari-hari merasa cemas dan terperangkap dalam pikiranku, aku duduk sendiri di kamarku. Keheningan itu menyelimuti, dan aku mulai merasakan kekosongan yang begitu dalam. Aku tahu, luka itu masih ada. Luka lama yang sudah lama aku abaikan. Dan malam itu, aku memutuskan untuk berhenti melawan. Aku memutuskan untuk membiarkan diriku merasa, membiarkan diriku merasakan semua rasa sakit yang telah aku coba hindari. Aku mulai berbicara dengan diriku sendiri, seolah-olah aku sedang berbicara dengan seorang sahabat yang lama tidak aku temui. "Aku tahu kamu terluka," kataku perlahan. "Aku tahu kamu merasa kehilangan dan bingung. Tapi kamu tidak harus menghadapi semuanya sendirian." Kata-kata itu seperti pelukan lembut yang aku berikan pada diriku sendiri. Aku mulai meresapi kenyataan bahwa tidak ada yang salah dengan merasa terluka, bahwa luka itu adalah bagian dari perjalanan hidupku.

Luka lama itu tidak akan sembuh jika aku terus berlari darinya. Aku menyadari bahwa aku harus memberi diriku izin untuk merasakan sakit itu, untuk membiarkannya mengalir melalui tubuhku. Aku harus menerima bahwa luka itu ada, dan bahwa itu tidak membuatku lebih lemah. Bahkan, dengan merasakannya, aku bisa mulai menyembuhkannya.

Aku ingat hari-hari ketika aku merasa sendiri, ketika aku merasa tidak ada seorang pun yang bisa memahami apa yang aku rasakan. Aku ingat bagaimana aku berjuang untuk mengatasi rasa sakit itu tanpa bantuan siapa pun. Aku berpikir bahwa aku harus kuat, bahwa aku tidak boleh menunjukkan kelemahan. Tapi semakin aku berusaha untuk menahan perasaan itu, semakin aku merasa hancur. Luka itu akhirnya mulai berbicara. Aku mulai menyadari bahwa tidak ada yang salah dengan merasakannya. Aku bukanlah orang yang harus selalu terlihat kuat, dan aku tidak perlu menyembunyikan perasaanku. Aku adalah manusia yang bisa merasa sakit, yang bisa merasakan kehilangan, dan itu adalah hal yang normal. Tidak ada yang salah dengan memiliki luka, asalkan kita memberi ruang untuk menyembuhkannya.

Aku mulai berlatih untuk menerima luka itu. Tidak ada lagi kebohongan yang aku buat untuk diri sendiri. Tidak ada lagi penyangkalan tentang rasa sakit yang aku rasakan. Aku belajar untuk memeluk luka itu, bukan untuk merasakannya sebagai sesuatu yang buruk, tetapi sebagai bagian dari diriku yang perlu diperhatikan. Luka itu tidak akan hilang begitu saja, tetapi aku tahu bahwa dengan memberi perhatian padanya, aku bisa mulai menyembuhkannya.

Aku menyadari bahwa tidak ada yang salah dengan meminta pertolongan. Luka lama itu, meskipun tidak selalu terlihat, membutuhkan perhatian. Aku mulai berbicara dengan orang-orang yang aku percayai, berbagi cerita dan perasaan yang selama ini aku simpan sendiri. Aku mulai belajar bahwa tidak ada salahnya untuk menunjukkan kerentananku, untuk mengakui bahwa aku butuh bantuan. Setiap kali aku berbicara tentang luka itu, rasanya seperti melepaskan sebuah beban yang sangat berat. Aku mulai merasa lebih ringan, meskipun luka itu masih ada. Aku mulai merasakan bahwa luka itu bukanlah tanda kelemahan, tetapi sebuah tanda bahwa aku hidup, bahwa aku merasakan dunia dengan segenap hatiku. Aku mulai belajar untuk memberi diriku izin untuk merasa—untuk menangis, untuk merasakan kehilangan, dan untuk akhirnya merasakan kedamaian.

Luka lama itu tidak akan pernah benar-benar hilang. Namun, aku mulai belajar bahwa tidak ada yang salah dengan hidup dengan luka itu. Luka itu adalah bagian dari perjalanan hidupku yang membentuk siapa aku sekarang. Itu mengajarkan aku untuk lebih kuat, lebih bijaksana, dan lebih mampu merasakan empati terhadap orang lain. Aku belajar bahwa luka bukanlah sesuatu yang harus kita hindari, tetapi sesuatu yang harus kita peluk, karena di balik setiap luka, ada kesempatan untuk tumbuh dan menjadi lebih baik. Malam itu, ketika aku duduk di kamarku dan merasakan perasaan yang selama ini aku sembunyikan, aku tahu satu hal dengan pasti—aku mulai belajar untuk menyembuhkan. Luka itu mungkin tidak akan pernah benar-benar hilang, tetapi aku bisa memilih untuk menerima dan merawatnya, dengan cara yang lebih lembut dan penuh kasih. Dan mungkin, hanya mungkin, dengan begitu, aku akan menemukan kedamaian yang selama ini aku cari.

Karena luka lama yang minta dipeluk itu bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti. Itu adalah bagian dari diriku yang memanggil untuk dihargai, untuk diberi perhatian, dan untuk disembuhkan dengan penuh kasih sayang. Dan aku siap untuk memberi itu pada diriku sendiri.

Aku mulai memahami bahwa luka yang aku bawa bukanlah beban yang harus disembunyikan atau disingkirkan, melainkan bagian dari cerita hidupku yang membentuk siapa aku sekarang. Luka itu mengajarkan aku banyak hal—tentang keberanian, tentang bagaimana belajar untuk bertahan meski rasa sakit menghantui, tentang menerima kenyataan bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini. Setiap luka, seberapa pun dalamnya, punya makna. Mereka adalah pelajaran yang membentuk kekuatanku, yang mengajarkanku untuk lebih menghargai diriku sendiri. Aku belajar untuk berhenti berlari dari rasa sakit, dan justru berhenti untuk duduk, merasakannya, dan memberi waktu bagi diriku untuk sembuh. Mungkin aku tidak bisa menghapus luka itu sepenuhnya, tapi aku bisa memberi ruang bagi diriku untuk sembuh sedikit demi sedikit. Aku juga belajar bahwa menyembuhkan luka tidak selalu berarti melupakan—melainkan menerima, memberi pengertian pada diri sendiri bahwa aku tidak harus menjadi sempurna. Aku hanya perlu menjadi diriku yang paling tulus. Dengan perlahan, aku mulai merasa lebih utuh. Luka itu mungkin masih ada, tapi aku tidak lagi takut untuk menghadapinya. Aku tidak lagi berlari atau menghindarinya, karena aku tahu, pada akhirnya, menerima luka itu adalah cara terbaik untuk benar-benar sembuh.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Loveless
5849      2996     604     
Inspirational
Menjadi anak pertama bukanlah pilihan. Namun, menjadi tulang punggung keluarga merupakan sebuah keharusan. Itulah yang terjadi pada Reinanda Wisnu Dhananjaya. Dia harus bertanggung jawab atas ibu dan adiknya setelah sang ayah tiada. Wisnu tidak hanya dituntut untuk menjadi laki-laki dewasa, tetapi anak yang selalu mengalah, dan kakak yang wajib mengikuti semua keinginan adiknya. Pada awalnya, ...
Senja di Balik Jendela Berembun
18      18     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Langit Tak Selalu Biru
69      59     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
Wilted Flower
288      216     3     
Romance
Antara luka, salah paham, dan kehilangan yang sunyi, seorang gadis remaja bernama Adhira berjuang memahami arti persahabatan, cinta, dan menerima dirinya yang sebenarnya. Memiliki latar belakang keluarga miskin dengan ayah penjudi menjadikan Adhira berjuang keras untuk pendidikannya. Di sisi lain, pertemuannya dengan Bimantara membawa sesuatu hal yang tidak pernah dia kira terjadi di hidupnya...
Broken Wings
1281      769     0     
Inspirational
Hidup dengan serba kecukupan dan juga kemewahan itu sudah biasa bagiku. Jelas saja, kedua orang tuaku termasuk pengusaha furniture ternama dieranya. Mereka juga memberiku kehidupan yang orang lain mungkin tidak mampu membayangkannya. Namun, kebahagiaan itu tidak hanya diukur dengan adanya kekayaan. Mereka berhasil jika harus memberiku kebahagian berupa kemewahan, namun tidak untuk kebahagiaan s...
MANITO
1090      762     14     
Romance
Dalam hidup, terkadang kita mempunyai rahasia yang perlu disembunyikan. Akan tetapi, kita juga butuh tempat untuk menampung serta mencurahkan hal itu. Agar, tidak terlalu menjadi beban pikiran. Hidup Libby tidaklah seindah kisah dalam dongeng. Bahkan, banyak beban yang harus dirasakan. Itu menyebabkan dirinya tidak mudah berbagi kisah dengan orang lain. Namun, ia akan berusaha untuk bertahan....
Beyond Expectations
403      269     3     
Short Story
Unexpected things could just happen.
YANG PERNAH HILANG
1405      558     24     
Romance
Naru. Panggilan seorang pangeran yang hidup di jaman modern dengan kehidupannya bak kerajaan yang penuh dengan dilema orang-orang kayak. Bosan dengan hidupnya yang monoton, tentu saja dia ingin ada petualangan. Dia pun diam-diam bersekolah di sekolah untuk orang-orang biasa. Disana dia membentuk geng yang langsung terkenal. Disaat itulah cerita menjadi menarik baginya karena bertemu dengan cewek ...
Ruang Suara
189      130     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Seharusnya Aku Yang Menyerah
116      99     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...