Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
MENU
About Us  

Setiap hari, hidup seakan berjalan begitu cepat. Kita terjaga dalam rutinitas, terhanyut dalam kewajiban, dan lupa bahwa terkadang kita hanya perlu berhenti sejenak untuk mengingat bahwa kita hidup. Ada banyak momen yang tidak kita sadari, yang berjalan begitu cepat, seolah tak memberi kesempatan untuk kita merasakannya. Namun, di tengah kebisingan itu, aku belajar bahwa ada satu hal yang sangat penting untuk kita ingat—untuk bernapas.

Sungguh, aku pernah lupa bagaimana rasanya bernapas dengan tenang. Beberapa waktu lalu, hidupku terasa seperti sebuah pertempuran tanpa akhir. Ada begitu banyak hal yang harus dihadapi, begitu banyak yang harus dicapai, dan begitu banyak yang harus diselesaikan. Aku merasa seperti robot yang terus berfungsi, bergerak tanpa henti, tanpa memberi waktu untuk diri sendiri untuk merasakan hidup itu sendiri. Aku lupa bahwa hidup bukan hanya tentang bergerak maju, tetapi juga tentang menikmati setiap tarikan napas, tentang memberi waktu untuk berhenti dan menyadari bahwa aku masih ada, masih bisa merasa, masih bisa bernapas. Ada kalanya kita terlalu fokus pada tujuan akhir, pada apa yang ingin kita capai, sehingga kita lupa untuk menikmati perjalanan itu. Kita terlalu sibuk berpikir tentang masa depan, tentang apa yang akan terjadi, sehingga kita lupa untuk hidup di saat ini. Aku tahu, aku sudah pernah merasakannya. Begitu terobsesi dengan apa yang akan datang, aku terlewatkan banyak momen berharga yang sebenarnya bisa memberi kedamaian dalam hidupku.

Sampai akhirnya, suatu hari, aku merasa seakan aku kehilangan diri sendiri. Aku tidak tahu lagi siapa aku, apa yang sebenarnya aku inginkan, dan mengapa aku terus berlari tanpa henti. Hidup terasa seperti sebuah beban yang terus menekan. Aku merasa kelelahan, bukan hanya fisik, tetapi juga mental. Aku merasa terjebak dalam pusaran waktu yang tak pernah berhenti, dan aku tidak tahu bagaimana cara keluar.

Pada titik itulah, aku bertemu dengan seseorang yang mengajarkanku untuk bernapas lagi. Dia bukan seorang guru, bukan seorang ahli psikologi, hanya seseorang yang, seperti aku, menjalani hidup dengan cara yang sederhana. Namanya adalah Maya, seorang teman yang dulu hanya aku anggap sebagai kenalan biasa. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai melihat bahwa dia memiliki cara yang berbeda dalam menjalani hidup, cara yang aku butuhkan, bahkan tanpa aku sadari. Suatu hari, kami duduk di sebuah kafe yang kecil dan tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota yang sibuk. Maya menatapku dengan serius, dan aku tahu ada sesuatu yang ingin dia katakan. Dia tahu aku sedang merasa terjebak, dan aku bisa merasakannya dalam cara dia menatapku—dengan penuh perhatian dan pengertian.

"Kamu tahu, kadang kita terjebak dalam rutinitas, sampai-sampai kita lupa bagaimana rasanya bernapas dengan tenang," katanya, suara Maya lembut, namun penuh makna.

Aku terdiam. Kata-katanya seperti petir yang menyambar, menyadarkan aku akan sesuatu yang selama ini aku lupakan. Benar, aku merasa seperti hidupku telah kehilangan arah, seakan aku terus berlari tanpa henti, tanpa memberikan waktu untuk berhenti dan merasakan apa yang ada di sekitar. Aku sudah lupa bagaimana caranya berhenti sejenak, duduk, dan menikmati hidup.

Maya melanjutkan, "Kamu perlu berhenti sejenak. Beri dirimu kesempatan untuk bernapas lagi. Tidak ada yang akan berubah kalau kamu terus-menerus merasa kelelahan. Hidup itu bukan tentang mencapai sesuatu secepat mungkin, tapi tentang menikmati setiap langkah yang kamu ambil."

Aku terdiam, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasakan sebuah kedamaian yang aku belum pernah rasakan sebelumnya. Maya benar. Aku telah terlalu lama mengabaikan diriku sendiri, terlalu terfokus pada apa yang harus aku capai, sampai-sampai aku lupa bahwa hidup bukan hanya tentang tujuan, tetapi juga tentang proses yang kita jalani untuk sampai ke sana. Pada saat itu, aku tahu aku harus belajar bernapas lagi. Aku harus memberi diriku izin untuk berhenti sejenak, untuk merasakan hidup dengan segala keindahan dan tantangannya. Aku mulai mencoba untuk melepaskan diri dari tekanan yang aku ciptakan untuk diriku sendiri, dan mulai menikmati setiap momen kecil yang ada. Aku belajar untuk tidak selalu terburu-buru, untuk tidak selalu merasa bahwa ada yang harus segera dilakukan.

Hari-hari setelah percakapan itu, aku mulai memberi diriku waktu untuk bernapas, untuk merasakan udara segar, untuk menikmati hal-hal sederhana yang sebelumnya aku lewatkan. Aku mulai berjalan dengan lebih tenang, tanpa terburu-buru ke sana kemari. Aku berhenti untuk menikmati secangkir kopi panas di pagi hari, menatap langit yang biru, dan merasakan angin yang sejuk di wajahku. Aku mulai belajar untuk melihat kembali ke dalam diriku sendiri dan bertanya, "Apa yang benar-benar aku inginkan?" Aku sadar, terkadang kita begitu terfokus pada apa yang akan datang, pada semua hal yang kita pikir harus kita capai, sampai kita lupa untuk memberi diri kita izin untuk merasa puas dengan apa yang sudah kita capai. Tidak perlu selalu menunggu momen besar untuk merasa bahagia atau sukses. Kebahagiaan itu bisa ditemukan dalam hal-hal kecil—dalam senyuman teman, dalam momen keheningan yang kita habiskan bersama orang yang kita cintai, dalam sekedar berjalan-jalan di bawah langit yang cerah.

Setiap hari, aku mulai lebih memperhatikan diriku sendiri, lebih memperhatikan kebutuhan tubuhku, pikiranku, dan jiwaku. Aku belajar untuk mengatakan "tidak" ketika aku merasa terlalu banyak beban, untuk memberi waktu bagi diriku sendiri, untuk hanya duduk dan bernapas. Aku belajar bahwa tidak ada yang salah dengan beristirahat, dengan memberi diri kita kesempatan untuk meresapi kehidupan tanpa harus selalu merasa bahwa kita harus melakukan sesuatu yang besar. Seiring waktu, aku merasa lebih ringan. Aku tidak lagi merasa terhimpit oleh ekspektasi dan tekanan. Aku mulai merasakan kebahagiaan yang tulus, kebahagiaan yang datang bukan dari pencapaian besar, tetapi dari menerima diriku sendiri dengan segala kekuranganku. Aku belajar bahwa hidup itu bukan tentang mengejar kesempurnaan, tetapi tentang menjalani perjalanan ini dengan hati yang terbuka, penuh rasa syukur.

Aku sadar, setiap tarikan napas yang aku ambil adalah anugerah. Setiap momen, setiap detik, adalah kesempatan untuk merasakan hidup itu sendiri. Aku tidak perlu menunggu sampai segalanya sempurna untuk mulai merasa bahagia. Aku bisa mulai sekarang, dengan menerima diriku, dengan memberi izin pada diriku untuk berhenti sejenak dan merasakan kebahagiaan yang ada di sekitar. Aku tahu perjalanan ini belum selesai. Akan ada hari-hari ketika aku merasa lelah lagi, ketika kabut itu datang kembali. Namun, sekarang aku tahu bagaimana cara bernapas. Aku tahu bahwa hidup ini bukan tentang selalu bergerak maju, tetapi tentang memberi ruang untuk diriku sendiri untuk merasa, untuk beristirahat, dan untuk menikmati setiap langkah kecil yang aku ambil.

Karena kadang, kita tidak perlu menuju ke tempat yang jauh untuk menemukan kedamaian. Kadang, kita hanya perlu berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan menyadari bahwa kita sudah cukup. Belajar bernapas lagi, bagi aku, berarti memberi diri ruang untuk menjadi manusia yang tidak selalu harus sempurna. Aku berhenti mengukur kebahagiaanku berdasarkan pencapaian atau apa yang orang lain pikirkan tentangku. Aku mulai belajar untuk mendengarkan diriku sendiri, untuk merayakan hal-hal kecil yang sebelumnya tak pernah aku hargai. Menyadari bahwa aku sudah cukup, meski aku masih banyak kekurangan, memberi aku rasa kedamaian yang sulit dijelaskan. Aku mulai menikmati keheningan, bukan sebagai kebosanan, tetapi sebagai kesempatan untuk mendalami diriku lebih dalam. Aku belajar bahwa keheningan bukanlah ruang kosong yang perlu diisi, tetapi tempat di mana aku bisa mendengarkan suara hatiku sendiri, menemukan kembali apa yang benar-benar aku inginkan dalam hidup ini. Ada kekuatan dalam berdiam diri, dalam memberi ruang bagi diri kita untuk bernapas dan merasa. Aku menyadari bahwa meskipun hidup ini tidak selalu sesuai rencana, kita selalu punya pilihan untuk berhenti sejenak, melepaskan beban, dan hanya merasakan apa yang ada sekarang. Dan terkadang, itu adalah langkah pertama menuju kebahagiaan yang sejati.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Let me be cruel
4787      2637     545     
Inspirational
Menjadi people pleaser itu melelahkan terutama saat kau adalah anak sulung. Terbiasa memendam, terbiasa mengalah, dan terlalu sering bilang iya meski hati sebenarnya ingin menolak. Lara Serina Pratama tahu rasanya. Dikenal sebagai anak baik, tapi tak pernah ditanya apakah ia bahagia menjalaninya. Semua sibuk menerima senyumnya, tak ada yang sadar kalau ia mulai kehilangan dirinya sendiri.
JUST RIGHT
104      89     0     
Romance
"Eh, itu mamah bapak ada di rumah, ada gue di sini, Rano juga nggak kemana-mana. Coba lo... jelasin ke gue satu alasan aja, kenapa lo nggak pernah mau cerita ke seenggaknya salah satu dari kita? Nggak, nggak, bukan tentang mbak di KRL yang nyanggul rambutnya pakai sumpit, atau anak kecil yang lututnya diplester gambar Labubu... tapi cerita tentang lo." Raden bilang gue itu kayak kupu-kupu, p...
Monday vs Sunday
112      97     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...
Matahari untuk Kita
696      404     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...
Da Capo al Fine
275      233     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
Kapan Pulang, Dean?
535      398     0     
Short Story
Tanpa sadar, kamu menyakiti orang yang menunggumu. Pulanglah...
The Call(er)
1390      833     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
Can You Hear My Heart?
459      270     11     
Romance
Pertemuan Kara dengan gadis remaja bernama Cinta di rumah sakit, berhasil mengulik masa lalu Kara sewaktu SMA. Jordan mungkin yang datang pertama membawa selaksa rasa yang entah pantas disebut cinta atau tidak? Tapi Trein membuatnya mengenal lebih dalam makna cinta dan persahabatan. Lebih baik mencintai atau dicintai? Kehidupan Kara yang masih belia menjadi bergejolak saat mengenal ras...
Senja di Balik Jendela Berembun
18      18     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Acropolis Athens
5342      2018     5     
Romance
Adelar Devano Harchie Kepribadian berubah setelah Ia mengetahui alasan mendiang Ibunya meninggal. Menjadi Prefeksionis untuk mengendalikan traumanya. Disisi lain, Aram Mahasiswi pindahan dari Melbourne yang lamban laun terkoneksi dengan Adelar. Banyak alasan untuk tidak bersama Aram, namun Adelar terus mencoba hingga keduanya dihadapkan dengan kenyataan yang ada.