Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
MENU
About Us  

Ada hal yang pelan-pelan aku sadari seiring waktu berjalan: bahwa dunia ini tidak pernah benar-benar mengerti kita. Ia hanya melihat permukaan, lalu buru-buru menyimpulkan. Ia jarang benar-benar ingin tahu, apalagi memahami. Aku pernah berada di titik di mana aku berharap dunia bisa mengerti apa yang aku rasakan. Bahwa ketika aku diam, bukan berarti aku baik-baik saja. Bahwa ketika aku tersenyum, bukan berarti hatiku tidak sedang menangis. Tapi dunia tidak pernah punya cukup waktu untuk memperhatikan detil-detil kecil itu. Aku sadar, dunia lebih sering menilai daripada mendengarkan.

“Ayo dong, semangat!”

“Kamu tuh harusnya bersyukur, banyak yang lebih susah dari kamu.”

“Kamu terlalu sensitif, masalahnya nggak sebesar itu kok.”

Kalimat-kalimat seperti itu mungkin terdengar biasa, bahkan berniat baik. Tapi bagiku, itu seperti pisau yang membelah luka yang belum sempat sembuh. Bukan karena mereka jahat, tapi karena mereka tidak tahu. Dan kadang, karena mereka tidak benar-benar peduli. Aku belajar bahwa tidak semua luka bisa dijelaskan. Tidak semua rasa bisa diceritakan dengan kata-kata. Dan tidak semua orang mampu bertahan di sisi kita ketika kita sedang tidak bisa menjadi versi terbaik dari diri kita. Dulu, aku sering mencoba menjelaskan. Tentang kenapa aku diam. Kenapa aku terlihat menjauh. Kenapa aku menangis sendirian di malam hari. Tapi lama-lama aku lelah. Karena penjelasan yang kusampaikan, hanya dianggap sebagai keluhan. Atau lebih parah, dianggap drama.

Dunia ini, sayangnya, lebih menghargai hasil daripada perasaan.

Mereka ingin melihatmu berfungsi, produktif, tertawa, sibuk. Tapi mereka tidak ingin tahu betapa beratnya kamu menyeret kakimu setiap pagi. Betapa kerasnya kamu berperang dengan pikiranmu sendiri hanya untuk bangkit dari tempat tidur. Dan yang lebih menyakitkan lagi, dunia sering kali hanya mendengarkan untuk membalas, bukan untuk memahami.

Saat kamu bilang, “Aku lelah,” mereka menjawab, “Semua orang juga lelah.”

Saat kamu bilang, “Aku sedih,” mereka berkata, “Udah lah, jangan terlalu dipikirin.”

Saat kamu bilang, “Aku nggak kuat,” mereka malah menyuruhmu “untuk kuat. Lagi dan lagi”

 

Padahal, kamu tidak butuh solusi. Kamu hanya ingin didengarkan. Dipeluk. Diterima. Tapi dunia tidak selalu punya ruang untuk itu. Lalu, aku mulai bertanya: apakah kita harus terus bergantung pada pemahaman dunia?

Mungkin tidak.

Mungkin, selama ini kita terlalu berharap pada dunia yang memang tak pernah diajarkan cara memahami luka orang lain. Dunia yang sibuk mengejar kesempurnaan dan pencapaian, tapi lupa bahwa manusia bukan mesin. Bahwa hidup ini bukan lomba siapa yang paling tahan banting. Sejak saat itu, aku mulai melepaskan harapan bahwa orang lain akan selalu mengerti. Bukan karena aku menyerah, tapi karena aku sadar, pengertian yang paling penting adalah dari diriku sendiri.

Aku mulai menenangkan diriku sendiri saat aku cemas.

Aku mulai memeluk diriku sendiri saat aku sedih.

Aku mulai menulis surat-surat kecil untuk diriku, berisi kalimat-kalimat yang selama ini ingin kudengar dari orang lain.

“Aku bangga kamu sudah bertahan sejauh ini.”

“Kamu nggak perlu pura-pura baik-baik saja.”

“Istirahat, nggak apa-apa.”

“Menangis bukan tanda gagal, itu tanda kamu sedang merasa.”

Kalimat-kalimat itu mungkin terdengar sederhana. Tapi bagiku, itu adalah obat. Karena ternyata, yang paling kita butuhkan bukan dunia yang mengerti, tapi hati yang mau menerima. Menerima bahwa kadang dunia tidak adil. Menerima bahwa tidak semua orang akan peduli. Menerima bahwa penolakan itu nyata. Tapi juga menerima bahwa di tengah semua itu, kita masih punya kendali atas satu hal: bagaimana kita mencintai diri sendiri. Mungkin, dunia tidak akan pernah benar-benar mengerti kenapa kita butuh waktu sendirian. Atau kenapa kita tiba-tiba merasa hampa. Tapi bukan berarti kita harus memaksa dunia untuk paham. Kita bisa menciptakan dunia kecil di dalam diri kita. Dunia di mana tangis dihormati. Dunia di mana kelelahan diizinkan. Dunia di mana kita boleh tidak sempurna, dan tetap dicintai. Aku tahu rasanya ingin dimengerti. Ingin ada satu saja orang yang bilang, “Aku ngerti kok rasanya.” Dan kalau kamu belum menemukannya, percayalah—itu tidak membuatmu aneh. Kamu hanya sedang belajar bertahan, dan itu tidak mudah. Tapi saat kamu lelah karena dunia terus menuntutmu jadi kuat, cobalah menoleh ke dalam. Tanyakan pada dirimu, “Apa aku sudah cukup sayang pada diriku sendiri?” Karena kadang, satu-satunya tempat aman yang bisa kamu miliki adalah hatimu sendiri.

Dan tidak apa-apa kalau kamu belum sempurna dalam mencintai dirimu. Kita semua belajar. Tidak ada yang langsung mahir. Tidak ada yang tahu caranya sejak awal.

Yang penting, kamu tidak berhenti mencoba.

Jangan biarkan dunia yang tidak mengerti, membuatmu berpikir kamu salah.

Jangan biarkan suara luar yang bising, menenggelamkan suara hatimu sendiri.

Karena kebenaran terbesar tentang dirimu, hanya kamu yang tahu. Kalau dunia mengabaikan tangismu, biarkan aku menjadi orang yang berkata:

“Aku percaya kamu sudah berjuang.”

“Aku tahu kamu mencoba.”

“Dan kamu tidak harus selalu menjelaskan semuanya.”

Kamu tidak butuh alasan untuk merasa. Kamu tidak perlu pembenaran untuk istirahat. Kamu tidak harus menjadi kuat agar layak dicintai. Kamu cukup, meski dunia belum mengerti. Dan aku harap, suatu hari nanti kamu juga akan mengerti: bahwa dirimu sendiri, adalah rumah paling aman yang pernah ada.

Terkadang, hal yang paling menyakitkan bukan ketika dunia tidak mengerti, tetapi ketika orang-orang terdekat pun ikut gagal memahami. Keluarga, sahabat, orang yang kamu kira akan jadi tempat paling aman—kadang justru menjadi cermin dari harapan yang pecah. Kita tumbuh dengan harapan bahwa mereka akan jadi rumah, pelindung, tempat bersandar. Tapi kenyataannya, mereka pun punya batasnya. Mereka juga manusia, yang kadang bicara tanpa berpikir, menasihati tanpa mendengarkan, dan menyimpulkan tanpa benar-benar tahu cerita kita. Aku pernah duduk di ruang tamu rumah, dikelilingi oleh keluarga yang bicara soal masa depanku. Tentang pekerjaan, prestasi, impian mereka terhadap hidupku. Aku mendengarkan sambil tersenyum, seperti biasanya. Tapi jauh di dalam, ada bagian dari diriku yang ingin berkata, “Bolehkah aku hanya hidup sebagai diriku sendiri, bukan versi yang kalian inginkan?”

Tapi suara itu tak pernah keluar. Karena aku tahu, mereka tidak akan mengerti.

Mereka akan berkata, “Kamu tuh bisa lebih dari ini,” padahal aku sedang berjuang mati-matian untuk sekadar bangkit dari tempat tidur setiap pagi. Mereka akan berkata, “Kamu cuma kurang usaha,” padahal aku sudah mengerahkan seluruh tenaga yang kumiliki, bahkan yang tak terlihat oleh mata. Dan di saat seperti itu, aku kembali belajar: kadang, dunia tidak salah karena tidak mengerti. Kadang, kita memang tak bisa memaksa orang lain memahami luka yang tidak mereka lihat. Sebab luka batin tidak punya bentuk. Ia tidak berdarah, tidak membengkak, tidak memar. Ia hanya terasa. Dan yang bisa merasakannya, hanyalah kita.

Namun yang paling mengejutkan, justru ketika aku mulai berhenti menjelaskan dan mulai menerima diriku, satu per satu orang yang tepat mulai datang. Bukan mereka yang menuntut, tapi mereka yang bertanya, “Apa yang kamu butuhkan?” Bukan mereka yang menyuruhku cepat pulih, tapi mereka yang bersedia duduk bersamaku, meski hanya dalam diam. Aku belajar bahwa dunia memang tidak selalu mengerti, tapi di dalamnya ada sudut-sudut kecil yang hangat. Orang-orang yang hatinya cukup luas untuk menampung ceritamu tanpa menghakimi. Orang-orang yang tidak banyak bicara, tapi kehadirannya terasa seperti pelukan.

Mereka tidak datang saat aku sibuk menyenangkan dunia. Mereka datang saat aku mulai melepas topengku dan berkata, “Ini aku, dengan semua luka dan ketidaksempurnaanku.” Ternyata, kejujuran membuka jalan untuk menemukan orang-orang yang tulus.

Dan itu cukup mengubah pandanganku.

Mungkin dunia besar ini memang terlalu keras. Tapi di dalamnya, kita bisa membangun dunia kecil—bersama orang-orang yang tidak memaksa kita menjadi siapa pun selain diri kita sendiri. Dunia kecil di mana kita boleh menangis, boleh gagal, boleh hancur sebentar, dan tetap dicintai. Aku juga mulai menyadari satu hal lagi: bahwa mungkin tugas kita bukan membuat dunia mengerti, tapi membuat dunia menjadi sedikit lebih ramah bagi orang yang merasa sendirian. Kita bisa mulai dari hal kecil: dengan mendengarkan tanpa menyela, bertanya tanpa menghakimi, hadir tanpa mengatur.

Karena kita tahu rasanya tidak dimengerti. Maka kita juga tahu betapa berharganya saat ada satu saja orang yang mau memahami. Jika aku bisa memberi satu pesan untuk kamu yang merasa lelah karena terus berjuang sendiri, pesan itu adalah: kamu tidak salah hanya karena dunia tidak mengerti. Kamu tidak gagal hanya karena tak sesuai harapan mereka. Kamu tidak lemah hanya karena kamu merasa.

Kamu hanya sedang menjadi manusia.

Dan menjadi manusia, tidak ada manualnya. Kita tidak dilahirkan dengan panduan hidup. Kita tumbuh sambil belajar. Sambil jatuh dan bangun. Sambil menangis dan tertawa. Sambil kecewa dan berharap lagi. Tidak ada standar kebahagiaan yang berlaku untuk semua orang. Tidak ada ukuran sukses yang benar-benar adil. Jadi, jika hidupmu tidak seperti hidup orang lain—itu bukan aib. Itu adalah cerita. Cerita yang layak dijalani, meski tak selalu mudah dipahami. Kita sering terlalu keras pada diri sendiri hanya karena dunia berkata kita harus begini dan begitu. Tapi siapa yang menulis aturan itu? Dan mengapa kita harus hidup mengikuti ekspektasi orang yang bahkan tidak mengenal kita dengan utuh?

Bukankah lebih baik hidup dengan kejujuran, daripada terus menyenangkan semua orang tapi kehilangan diri sendiri?

Aku tahu, tidak mudah untuk tetap menjadi diri sendiri dalam dunia yang terus mendorong kita berubah. Tapi ketahuilah, tetap setia pada hatimu adalah bentuk keberanian yang paling mulia. Karena di tengah kebisingan yang memaksa kita menjadi orang lain, menjaga siapa dirimu sebenarnya adalah bentuk cinta pada kehidupan yang paling jujur. Dan kamu sedang melakukan itu. Sekalipun kamu belum merasa kuat. Sekalipun kamu masih sering ragu. Sekalipun kamu masih menangis diam-diam.

Kamu sudah lebih dari cukup.

Aku harap, suatu hari nanti dunia bisa lebih ramah. Tapi jika belum, aku harap kamu bisa menciptakan ruang ramah di dalam dirimu sendiri. Tempat di mana kamu bisa pulang tanpa takut, menangis tanpa malu, dan bermimpi tanpa batas. Dan semoga dari ruang itu, kamu bisa menyapa orang lain yang sedang kehilangan arah. Karena tidak ada yang lebih indah dari jiwa yang hancur tapi memilih menjadi cahaya bagi orang lain.Mungkin dunia tidak akan pernah benar-benar mengerti. Tapi kamu bisa menjadi bagian dari dunia yang mau mencoba.

Dan itu, adalah awal dari harapan baru.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Yu & Way
134      109     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Kompilasi Frustasi
4226      1245     3     
Inspirational
Sebuah kompilasi frustasi.
YANG PERNAH HILANG
1405      558     24     
Romance
Naru. Panggilan seorang pangeran yang hidup di jaman modern dengan kehidupannya bak kerajaan yang penuh dengan dilema orang-orang kayak. Bosan dengan hidupnya yang monoton, tentu saja dia ingin ada petualangan. Dia pun diam-diam bersekolah di sekolah untuk orang-orang biasa. Disana dia membentuk geng yang langsung terkenal. Disaat itulah cerita menjadi menarik baginya karena bertemu dengan cewek ...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
354      260     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...
I Found Myself
42      38     0     
Romance
Kate Diana Elizabeth memiliki seorang kekasih bernama George Hanry Phoenix. Kate harus terus mengerti apapun kondisi Hanry, harus memahami setiap kekurangan milik Hanry, dengan segala sikap Egois Hanry. Bahkan, Kate merasa Hanry tidak benar-benar mencintai Kate. Apa Kate akan terus mempertahankan Hanry?
Ketika Cinta Bertahta
901      542     1     
Short Story
Ketika cinta telah tumbuh dalam jiwa, mau kita bawa kemana ?
Kaca yang Berdebu
94      75     1     
Inspirational
Reiji terlalu sibuk menyenangkan semua orang, sampai lupa caranya menjadi diri sendiri. Dirinya perlahan memudar, seperti bayangan samar di kaca berdebu; tak pernah benar-benar terlihat, tertutup lapisan harapan orang lain dan ketakutannya sendiri. Hingga suatu hari, seseorang datang, tak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Meera, dengan segala ketidaksempurnaannya, berjalan tegak. Ia ta...
Sweet Seventeen
985      709     4     
Romance
Karianna Grizelle, mantan artis cilik yang jadi selebgram dengan followers jutaan di usia 17 tahun. Karianna harus menyeimbangkan antara sekolah dan karier. Di satu sisi, Anna ingin melewati masa remaja seperti remaja normal lainnya, tapi sang ibu sekaligus manajernya terus menyuruhnya bekerja agar bisa menjadi aktris ternama. Untung ada Ansel, sahabat sejak kecil yang selalu menemani dan membuat...
Ada Apa Esok Hari
202      156     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
Langit Tak Selalu Biru
69      59     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...