Hampir satu minggu, Vincia menghindari ruangan itu. Akhirnya, hari ini ia berani masuk. Bagaimanapun, hidup harus terus berlanjut walaupun kesedihan dan kehilangan menghantamnya tanpa ampun.
Ketika membuka pintu, Vincia bersiap dengan lap dan kuas untuk membersihkan lukisan ayahnya. Ia sudah mempersiapkan diri untuk melihat kehampaan. Namun, rupanya siluet Gohvin benar-benar kembali di sana.
Vincia tidak tahu apakah harus sedih atau lega melihat itu. Sampai ketika ia sedang membersihkan debu dari bingkai, sebuah ide terbersit di benak. Sedikit terburu, gadis itu bangkit mengambil cat, palet, dan kuas.
Sambil menatap ruang kosong di sebelah Gohvin, Vincia mengumpulkan rambut ke belakang kepala lalu mengikatnya. Selama ini sosok Gohvin selalu sendirian. Seolah-olah tidak ada seorang pun yang pantas berdiri di sana. Namun hari ini, Vincia mulai menarik garis-garis halus, membentuk siluet samar seorang perempuan.
Di benaknya, Vincia membayangkan seseorang yang tenang. Kehadirannya cukup menjadi penanda bahwa sisi tergelap sekalipun berhak ditemani.
Seseorang itu akan menemani Gohvin di dunianya. Di dimensi yang tidak bisa lagi Vincia jangkau.
Vincia menahan napas sejenak. Air mata menggenang di matanya yang terasa panas. Dada terasa sesak, lalu perlahan terasa lebih ringan saat kuas terus bergerak. Membentuk garis wajah, tangan yang menggenggam sebuket bunga, dan rok panjang tertiup angin.
Di tengah proses itu, Vincia berhenti, meletakkan kuas, dan menatap lukisannya.
“Gohvin,” bisiknya pelan. Senyum tipis merekah di bibirnya. “Jaga diri di sana, ya.”
Tangan Vincia gemetar sedikit saat menyapukan kuas terakhir. Namun, tidak ada lagi perasaan berat yang kemarin selalu menindih dadanya saat mengingat Gohvin. Sekarang, yang tertinggal hanyalah rasa hangat dan sedikit kerinduan yang tenang.
Di luar jendela, angin berembus pelan, seolah-olah menyampaikan salam balasan dari sosok yang pernah begitu lekat di hidupnya.
***
Ada satu kenangan yang Vincia lupakan. Saat itu ia masih remaja. Rumahnya terasa hangat dengan kehadiran ayah dan ibunya.
Di studio lukis yang berada di rumah, Vincia duduk bersila di atas kursi. Ia memandangi seorang pria yang sedang menorehkan cat di kanvas. Pria itu bernama Fandi Fikaso, ayah Vincia.
‘Sampai kapan kau cuma mau menonton ayah dari situ?’ tanya Fandi tanpa menoleh, tetapi ia seolah-olah bisa melihat putrinya tersenyum. Benar saja. Setelah itu, terdengar bunyi kursi yang diseret ke sampingnya.
‘Benar aku boleh ikut melukis bersama ayah?’ tanya Vincia seraya mengambil kuas.
‘Tentu saja,’ sahut Fandi lantas tertawa kecil, ‘menurutmu, apa yang perlu diperbaiki?’
Vincia memandangi lukisan itu. Padang rumput dengan langit senja, di bagian samping terlihat tepi danau. Pemandangan alam yang indah. Hanya saja, terasa sepi.
‘Bagaimana kalau ditambahkan seseorang di sini?’ saran Vincia, ‘sayang, kalau pemandangan seindah ini tidak ada yang menikmati.’
‘Boleh,’ jawab Fandi, ‘coba Vincia gambar.’
Vincia mengerucutkan bibir sambil menggeleng. ‘Nanti lukisan ayah rusak.’
‘Tidak akan.’ Fandi tergelak, berusaha meringankan kekhawatiran anaknya.
‘Ayah saja yang buat sketsanya, nanti Vincia lanjutkan,’ pinta Vincia dengan sepasang mata berbinar.
Fandi mengangguk. Kemudian ia mengusapkan cat dengan kuas hingga membentuk sosok setengah jadi di tengah kanvas. Tubuhnya jangkung dan rambut hitam acak-acakan.
Vincia menghela napas. Detik berikutnya, gadis itu perlahan-lahan mulai menggoreskan warna. Biru tua. Hitam. Sedikit abu-abu. Sosok samar mulai terbentuk di kanvas.
Ayahnya tertawa kecil, mendekat sambil mengusap kepala putrinya. ‘Jangan ragu. Lukisan itu bukan soal benar atau salah. Kadang, yang kaupikir berantakan justru yang paling jujur.’
Vincia mengangguk pelan, tangannya lebih mantap menyapukan kuas. Entah bagaimana, di benaknya muncul bayangan sosok lelaki muda yang asing tetapi terasa akrab. Sosok itu tinggi berambut hitam. Fitur wajahnya tidak terlalu jelas, tetapi tatapannya teduh. Vincia mulai menggambar, mengikuti nalurinya. Tangannya bergerak pelan tetapi pasti. Ayahnya menambahkan sedikit detail; seperti garis bahu dan ujung rambut, tetapi membiarkan Vincia mengoreksi bagian yang kurang sesuai.
Saat lukisan selesai, Vincia merasakan ada yang aneh. Seperti ada sesuatu yang terhubung. Siluet itu seolah-olah merekam perasaan yang selama ini tidak bisa ia bagi pada siapa pun. Tanpa disadari, saat itu benih sosok bernama Gohvin sudah tertanam di sudut jiwanya. Sosok yang kelak akan datang, bukan sekadar teman, tetapi bayangan dirinya sendiri. Pelindung yang lahir dari rasa sepi dan luka yang belum sempat dikenali.
‘Lo, Vincia ikut melukis, ya?’ tanya Alma yang masuk sambil membawa tiga cangkir teh hangat dan bolu gulung stoberi yang masih hangat.
‘Iya,’ sahut Fandi, ‘katanya lukisan ayah terlalu sepi.’
Vincia tertawa kecil. Kedua pipinya merona malu. ‘Wah, kelihatannya enak,” ujarnya sambil mengulurkan tangan hendak menyentuh kue di atas piring kecil.
Akan tetapi, Alma langsung menegur dengan lembut. ‘Cuci tangan dulu dong, Vincia. Nanti kuenya terkena cat.’
‘Oh, iya, maaf, Ma,’ kata Vincia lantas memelesat ke wastafel.
Fandi dan Alma tertawa melihat tingkah putri mereka.
‘Terima kasih, ya, selalu mendukungku dan Vincia,’ ujar Fandi tulus.
‘Terima kasih juga atas semua pengorbananmu untuk keluarga kita,’ balas Alma tersenyum.
Detik berikutnya, Vincia sudah datang kembali demi kue buatan ibunya. Ia tertawa bahagia hingga pipinya berlepotan selai stroberi.
Momen hangat itu tidak pernah terulang. Itu adalah karya terakhir yang dilukis oleh Fandi Fikaso. Pria itu meninggalkan hobi demi mencari pekerjaan dengan penghasilan yang jauh lebih besar. Nahas, ia justru tumbang karena kelelahan bekerja. Sementara anak dan istrinya tenggelam dalam duka.
***
Di awal Agustus yang hangat, galeri seni kampus ramai pengunjung. Deretan lukisan berjejer rapi di dinding-dinding putih. Aroma cat minyak dan kayu dari pigura bercampur dengan suara pelan musik instrumental yang mengalun dari sudut ruangan. Lampu-lampu gantung menyorot tiap lukisan, membuat warna-warna di kanvas seolah hidup dan berbisik satu sama lain.
Vincia berdiri di depan salah satu lukisannya, mengenakan gaun hitam sederhana, rambut diikat rapi. Matanya menelusuri hasil kerjanya selama ini. Lukisan-lukisan dari awal kuliah, tugas-tugas kecil, hingga karya tugas akhir yang kini berdiri paling depan. Sebuah lukisan danau dengan rumput-rumput tinggi di sekitarnya yang terpantul pada permukaan air. Jika dilihat dari sudut tertentu, seluruh elemen dan pilihan warna membentuk siluet kura-kura.
Tiba-tiba Frita datang menghampiri. Gadis itu mengenakan blus jingga dan rok krem. Senyumnya lebar. Tangannya menyerahkan buket bunga pada Vincia.
“Wah, besar sekali,” ujar Vincia takjub, “sepertinya aku bisa membuat segalon air mawar dengan ini semua.”
“Kau bisa berbagi denganku,” sahut Frita lantas memandang kubikel pameran mini karya milik Vincia. Ia berhenti lama di depan lukisan yang digurat Gohvin, juga memandangi lukisan karya kolaborasi Vincia dan ayahnya.
Beberapa menit kemudian, Alma datang. Ekspresinya canggung, tetapi kali ini tidak ada jarak. “Selamat, Sayang. Lukisanmu cantik-cantik. Mama bangga padamu.”
Vincia mengangguk. “Terima kasih sudah datang.”
“Maaf, mama terlambat. Tadi memanggang kue dulu,” ujar Alma sambil menyodorkan kotak-kotak kecil berisi bolu kastela kepada Vincia.
“Ya ampun, Ma. Kita bisa makan ini nanti di rumah,” kata Vincia tetapi tetap menerima pemberian ibunya, “terima kasih, ya.”
“Kau bisa membagikannya pada teman-temanmu sebagai bentuk syukur,” saran Alma lantas mencondongkan tubuh lebih dekat pada Vincia, “sekalian promosi toko kue kita yang akan buka.”
“Wah, benar juga,” sahut Vincia tertawa, “strategi pemasaran mama genius, ya.”
Kemudian Vincia saling memperkenalkan Alma dan Frita. Mereka bertiga berfoto bersama. Untuk kali pertama, tanpa rasa sesak di dada. Vincia mengizinkan kebahagiaan kecil itu masuk ke dalam hidupnya.
Di sore hari, lampu galeri meredup sedikit, tanda pameran akan segera selesai, Vincia berjalan pelan ke lukisan asal Gohvin. Sosok bayangan itu tetap di sana, tetapi entah kenapa, kali ini tidak lagi tampak menyedihkan. Mungkin karena Gohvin tidak lagi sendirian.
“Aku baik-baik saja sekarang,” bisik Vincia, meskipun tahu bayangan itu tidak akan muncul lagi.
Vincia berbalik menjauh, bergabung dengan pengunjung lain yang menatap kagum karya-karyanya. Di hatinya, rasa kehilangan itu masih ada. Namun, kali ini, bentuknya sudah berbeda. Bukan luka, melainkan kenangan hangat. Gadis itu memahami bahwa beberapa orang datang untuk tinggal, sementara beberapa datang untuk menunjukkan cara pulang ke diri sendiri.
🎨 Paint of Pain - Selesai🎨
Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? 😮
Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama