Loading...
Logo TinLit
Read Story - Paint of Pain
MENU
About Us  

Sesuatu berwarna cokelat memenuhi ruang pandang Vincia ketika ia membuka pintu kamar. Rupanya itu adalah sebuah kue berhiaskan stroberi dan lilin-lilin kecil yang menyala. Govin yang membawa kue itu dengan kedua tangan tersenyum. Entah mengapa, pagi itu senyumannya terlihat lebih tenang dari biasa. 

“Selamat ulang tahun, Vincia,” bisik Gohvin

Vincia terkesiap kecil. Senyum lebarnya menghias wajah. “Aku tidak tahu kalau kau ingat ulang tahunku.”

Seringai angkuh muncul kembali di bibir Gohvin. “Ayo, ucapkan permohonan. Kau boleh meminta agar aku selalu mengingat ulang tahunmu.”

“Kalau begitu, jatah permintaanku akan sia-sia. Aku tahu kau akan selalu ingat.”

Gohvin tertawa pelan. “Silakan berharap.”

Kemudian suasana jadi hening. Tidak seperti malam-malam sebelumnya. Saat Gohvin datang dengan kalimat-kalimat sarkastik atau tawa setengah mengejek. Pagi ini lelaki itu lebih lembut. Lebih diam. Seolah-olah ada sesuatu yang ia simpan rapat-rapat. 

Akan tetapi, Vincia  terlalu bahagia untuk bisa memperhatikan perubahan kecil. Gadis itu menatap api di puncak parafin, lalu menutup mata. Ia tidak tahu harus berharap apa. Atau mungkin sebenarnya, ia tahu, tetapi terlalu takut untuk mengakuinya.

Tetaplah bersamaku, Gohvin. Aku tidak ingin sendirian.

Saat membuka mata, Govin masih di sana. Lelaki itu  memandanginya dengan tatapan yang tidak dimengerti Vincia. Entah itu rindu atau luka. Atau mungkin tanda perpisahan yang disamarkan.

“Apa ada sesuatu yang ingin kau katakan padaku?”

Govin tidak menjawab dan malah mengulurkan sebuah kotak kecil berpita hijau. “Terima kasih sudah bertahan sejauh ini, Vincia. Kau adalah seseorang yang hebat. Teruslah mencintai dan melindungi dirimu sendiri.”

Saat itu, Vincia belum memahami salam perpisahan itu.

***

Ada bunyi ketukan pada logam berkali-kali. Vincia yang sedang mengenakan sepatu di teras, mendongak ke arah pagar. Ia mendengkus ketika mendapati ibunya sedang berdiri di luar pagar sambil tersenyum. Tatapan matanya sayu. Jemari yang kurus menopang sebuah kotak. Gadis itu menduga, isinya kue.

Vincia menarik napas. Udara di sekitar terasa pekat seperti bercampur asap. Seketika, dadanya sesak.

Tidak mungkin Vincia membuka kembali kunci pintu dan bersembunyi di dalam rumah. Itu akan membuat ia terlambat datang menemui Frita. Maka, gadis itu membuka pagar untuk menghadapi lukanya.

“Vincia ….”

Vincia diam di tempat, matanya nanar. Suara itu masih sama. Pelan. Lembut. Rapuh. Suara yang dahulu ia tunggu dan rindukan setiap malam. Kini terdengar asing, serak, dan menyakitkan.

Alma melangkah pelan lebih dekat pada putrinya. Kemudian wanita itu menyodorkan kotak berisi kue buatannya dengan tangan gemetar.

Vincia menatap kotak kue itu, lalu ke wajah ibunya. Kenangan-kenangan kecil menyeruak. Janji yang dahulu dibuat. Suara lembut. Pelukan hangat. Berputar pada kepergian tanpa pamit. Luka itu terasa masih segar.

“Selamat ulang tahun. Maaf mama datang lagi tiba-tiba. Mama cuma mau memberikan ini.”

Kasar, Vincia menepis tangan ibunya. Kue berbentuk kura-kura itu jatuh, kotaknya terbuka. Lilin patah. Krimnya berantakan di atas tanah.

Alma menahan tangis. Jemarinya terangkat, ingin menyentuh pipi Vincia, tetapi gadis itu mundur satu langkah. “Mama, minta maaf, Vincia. Andai mama bisa memutar balik waktu—”

“Jangan datang ke hidupku lagi.” Mata Vincia berkaca-kaca, tetapi nadanya tetap tajam. “Jangan paksa aku berpura-pura baik-baik saja seolah-olah mama tidak pernah meninggalkanku begitu saja seperti sampah.”

Alma terdiam. Air matanya menetes, tetapi Vincia tidak peduli. Luka di hatinya terlalu perih.

“Tolong, pergi. Jangan datang lagi.” Suara Vincia pecah di ujung kalimat.

Vincia berbalik lantas berjalan menjauh sambil menunduk. Ia menyentuh gelang hadiah dari Gohvin di pergelangan tangannya.  Pandangannya mulai kabur oleh air mata. Suara parau keluar dari bibirnya, bertanya pada udara. “Gohvin, kenapa rasanya masih sakit, ya? Padahal seharusnya aku bisa memaafkan. Lagi pula, kejadian itu sudah lama.”

Gohvin muncul sekilas untuk menjawab. “Karena luka seperti itu, tidak bisa diukur oleh waktu. Melainkan oleh keberanianmu untuk mengakui bahwa kau belum baik-baik saja,” ujarnya lantas lenyap seperti embun terkena sinar matahari.

Sementara Alma masih berdiri mematung, memandangi punggung Vincia yang makin jauh. Air matanya jatuh tanpa suara. Tangannya masih terulur kosong ke udara, seolah-olah berharap bisa menarik waktu kembali.

Namun, semuanya sudah terlalu terlambat.

Perlahan, wanita itu memungut kue yang hancur, lalu melangkah pergi. Gerimis mulai turun, menyamarkan jejak air mata yang tidak sempat diucapkan.

***

Frita menyambut Vincia dengan ekspresi khawatir sekaligus bingung. Di halte bus, gadis itu memandangi Vincia dari atas sampai bawah. Seolah-olah mencari luka tidak kasatmata.

“Apa kau baik-baik saja, Vincia?” tanya Frita dengan nada penuh kekhawatiran, “kau seperti baru saja menangis.”

Matahari bersinar hangat di antara hibuk para penumpang yang naik dan turun bus. Air mata Vincia tidak bisa berhenti begitu saja. Bahkan saat ini pun, gadis itu masih menangis. Namun, ia tidak ingin membicarakan hal itu dengan Frita. Ini hari ulang tahunnya.

Vincia tidak ingin hari ini lebih kacau lagi.

“Kita jadi panik?” tanya Vincia sambil melirik keranjang kotak yang dibawa Frita.

“Mungkin, maksudmu piknik, ya, Vincia?”

Glabela Vincia berkerut bingung. “Tadi aku bilang begitu, kan?”

Frita tertawa kecil. “Ayo, kita segera ke taman. Dekat, kok.”

Vincia mengangguk lantas mengiringi langkah Frita. Kemudian ia mengulurkan tangan ke samping. “Sini kubawakan.”

“Tidak usah. Ini ringan, kok.”

Setelah itu, tidak ada percakapan apa-apa lagi sampai mereka tiba di hamparan rumput yang luas. Sesekali Vincia hanya melirik pada Frita yang tampak cantik dengan kardigan rajut dadu dan rok bunga-bunga.

Taman yang dimaksud Frita, sepi dan asri meskipun terletak di pusat keramaian kota. Pohon-pohon rindang berbaris di tepian luar, membatasi area pandang dan kebisingan jalan raya yang hiruk pikuk. Vincia berinisiatif menghamparkan kain lebar di atas rumput pendek yang tumbuh subur seperti permadani hijau lembut.

Makanan yang dibawa Frita banyak dan beragam. Ada onigiri, roti isi selai, onde-onde, pastel, bolu kukus dan beberapa buah potong yang segar. Semua dikemas dalam kotak-kotak makanan.

Mulut Vincia menganga takjub. “Kau memasak semua ini?”

Frita tergelak. “Tentu saja tidak mungkin, Vincia. Aku memesan semua ini.”

“Aku jadi bingung mau makan yang mana,” ungkap Vincia, “semuanya kelihatan enak.”

“Makan yang mana saja, Vincia. Ini ulang tahunmu,” ujat Frita lantaa menusuk satu potong semangka dengan garpu, “karena tidak mungkin membawa kue tar, jadi aku bawakan kudapan untukmu.”

Napas Vincia berembus berat kala teringat pada kue yang terempas dari tangan ibunya. Ia tidak bermaksud menepis sekuat itu. Namun, amarahnya ternyata memberikan energi yang lebih besar dari seharusnya.

Vincia mengangguk rikuh. “Terima kasih, ya. Aku tidak pernah membayangkan duduk bersama seorang teman di hari ulang tahun. Selama ini, aku terbiasa sendirian.”

“Kenapa jadi melankolis begitu, sih?” protes Frita lantas tertawa kecil, “ini hari ulang tahunmu. Tersenyumlah, Vincia.”

Meski kikuk, Vincia menurut. Ia melengkungkan bibirnya naik.

“Coba lebih natural,” saran Frita sambil memicingkan mata, “bayangkan kau baru saja menerima penghargaan sebagai pelukis tergenius abad ini.”

Tawa kecil Vincia mulai lepas. Ia takjub dengan kemampuan Frita memperbaiki atmosfer di sekitarnya. Dari yang semula muram bisa perlahan-lahan menjadi ceria dan hangat.

“Itu lebih baik,” komentar Frita bangga, “sekarang coba tertawa lepas seolah-olah aku adalah pelawak paling lucu yang pernah kautemui.”

Seketika, gelak Vincia pecah ke udara.

“Bagaimana? Apa perasaanmu lebih baik sekarang?” tanya Frita lantas menggigit sepotong apel.

Pelan, Vincia mengangguk. “Terima kasih, ya, Frita.”

Meskipun perasaan bersalah masih tetap menyelubungi hati Vincia.

“Nah, kalau sudah lebih baik, sekarang tutup mata dan buat permohonan.”

Lagi-lagi, Vincia menurut. Seolah-olah ada kekuatan magis dalam suara Frita.

Vincia menarik napas panjang. Ia menyentuh gelang pemberian Gohvin sebelum memejam. Aku harap bisa memaafkan diri sendiri dan orang-orang yang pergi. Mungkin semua orang tidak akan selalu tinggal, tapi bukan berarti aku tidak layak dicintai. 

Perlahan, Vincia membuka mata dan melihat sebuah kotak disodorkan Frita ke arahnya. “Selamat ulang tahun, Vincia. Aku harap kau bisa sembuh dari segala hal yang tidak bisa kauceritakan pada orang lain.”

Vincia tertegun. Ia melirik pada wajah Frita, lalu kembali memandang hadiahnya. Doa itu terdengar sangat tulus sekaligus menohok hati. “Terima kasih,” ujarnya sambil menerima pemberian Frita, “boleh kubuka sekarang?”

Begitu Frita mengangguk, Vincia menarik pita dan membuka kotak. Di sana ada alat rias lengkap. Mulai dari palet eyeshadow, perona pipi, pewarna bibir, spons kosmetik, kuas beragam ukuran, bedak, sampai losion.

“Sudah kusesuaikan dengan palet warnamu,” tutur Frita.

“Ini sangat banyak, Frita. Terima kasih, ya, tapi aku belum tahu cara menggunakan ini semua.”

“Kita bisa belajar bersama,” sahut Frita, “mungkin bisa dimulai untuk persiapan kencanmu.”

Glabela Vincia berkerut. “Kencan?”

Frita mengedikkan dagu ke arah pergelangan tangan Vincia. “Itu. Gelang yang sejak tadi terus-terusan kausentuh. Bukankah itu dari pacarmu? Syukurlah kau sudah berhasil move on.”

“Oh, bukan. Ini—” Vincia menunduk, bingung harus menjelaskan. “Ini buatanku sendiri.”

“Benarkah?” Kelopak mata Frita melebar. “Kenapa kau tidak membuatkan juga untukku? Itu bisa menjadi gelang persahabatan yang keren.”

Vincia menggaruk kepala yang tidak gatal. Saat pulang, ia harus bertanya pada Gohvin bagaimana caranya membuat gelang makrame ini

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (9)
  • deana_asta

    Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐Ÿ˜ฎ

    Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama
  • deana_asta

    Ditunggu kelanjutannya Kak ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [14] Ingat Waktu Itu
  • deana_asta

    Baca chapter ini, sedih bgt ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [11] Nyaris Tanpa Suara
  • deana_asta

    Tiba2 ada 3 novel yang sangat familier ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [10] Ia Meneguk Napas
  • deana_asta

    Gohvin sweet bgt sihhh ๐Ÿ˜

    Comment on chapter [6] Orang-orang Sudah Sibuk
  • deana_asta

    Kok sedih sih Vincia, lagian Valdo gimana sih ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [5] Tidak Jadi Pergi
  • deana_asta

    Wahhhhhh gak nyangkaaa ternyata Gohvin lelaki itu ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [4] Niat untuk Bertemu
  • deana_asta

    Siapa Gohvin ini sebenarnya ๐Ÿค”

    Comment on chapter [3] Ini Juga Rumahku
  • deana_asta

    Vincia yang tenang yaaaa ๐Ÿ˜‚

    Comment on chapter [2] Aroma Gurih Kaldu
Similar Tags
Sebelah Hati
1096      668     0     
Romance
Sudah bertahun-tahun Kanaya memendam perasaan pada Praja. Sejak masih berseragam biru-putih, hingga kini, yah sudah terlalu lama berkubang dengan penantian yang tak tentu. Kini saat Praja tiba-tiba muncul, membutuhkan bantuan Kanaya, akankah Kanaya kembali membuka hatinya yang sudah babak belur oleh perasaan bertepuk sebelah tangannya pada Praja?
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1437      812     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
Metanoia
54      46     0     
Fantasy
Aidan Aryasatya, seorang mahasiswa psikologi yang penuh keraguan dan merasa terjebak dalam hidupnya, secara tak sengaja terlempar ke dalam dimensi paralel yang mempertemukannya dengan berbagai versi dari dirinya sendiriโ€”dari seorang seniman hingga seorang yang menyerah pada hidup. Bersama Elara, seorang gadis yang sudah lebih lama terjebak di dunia ini, Aidan menjelajahi kemungkinan-kemungkinan...
Lepas SKS
186      161     0     
Inspirational
Kadang, yang buat kita lelah bukan hidup tapi standar orang lain. Julie, beauty & fashion influencer yang selalu tampil flawless, tiba-tiba viral karena video mabuk yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah terjadi. Dalam hitungan jam, hidupnya ambruk: kontrak kerja putus, pacar menghilang, dan yang paling menyakitkan Skor Kredit Sosial (SKS) miliknya anjlok. Dari apartemen mewah ke flat ...
Warisan Tak Ternilai
644      250     0     
Humor
Seorang wanita masih perawan, berusia seperempat abad yang selalu merasa aneh dengan tangan dan kakinya karena kerap kali memecahkan piring dan gelas di rumah. Saat dia merenung, tiba-tiba teringat bahwa di dalam lingkungan kerja anggota tubuhnya bisa berbuat bijak. Apakah ini sebuah kutukan?
Maju Terus Pantang Kurus
1305      694     3     
Romance
Kalau bukan untuk menyelamatkan nilai mata pelajaran olahraganya yang jeblok, Griss tidak akan mau menjadi Teman Makan Juna, anak guru olahraganya yang kurus dan tidak bisa makan sendirian. Dasar bayi! Padahal Juna satu tahun lebih tua dari Griss. Sejak saat itu, kehidupan sekolah Griss berubah. Cewek pemalu, tidak punya banyak teman, dan minderan itu tiba-tiba jadi incaran penggemar-penggemar...
Happy Death Day
598      336     81     
Inspirational
"When your birthday becomes a curse you can't blow away" Meski menjadi musisi adalah impian terbesar Sebastian, bergabung dalam The Lost Seventeen, sebuah band yang pada puncak popularitasnya tiba-tiba diterpa kasus perundungan, tidak pernah ada dalam kamus hidupnya. Namun, takdir tetap membawa Sebastian ke mikrofon yang sama, panggung yang sama, dan ulang tahun yang sama ... dengan perayaan h...
GADIS MISTERIUS milik CEO DINGIN
46      45     0     
Action
Pertemuan dengan seorang pemuda yang bersifat anti terhadap para wanita. Justru membuat dia merasa bahwa, Ketika dirinya bertemu dengan seorang gadis dengan kehidupan yang di alami gadis tersebut, hampir sama dengan dirinya. Nasib keduanya sama-sama tidak memiliki seorang bidadari tanpa sayap. Kehilangan sosok terbaik yang menemani mereka selama ini. Sehingga kedua manusia...
Diary of Rana
225      188     1     
Fan Fiction
โ€œBroken home isnโ€™t broken kids.โ€ Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
Ikhlas Berbuah Cinta
1289      863     0     
Inspirational
Nadhira As-Syifah, dengan segala kekurangan membuatnya diberlakukan berbeda di keluarganya sendiri, ayah dan ibunya yang tidak pernah ada di pihaknya, sering 'dipaksa' mengalah demi adiknya Mawar Rainy dalam hal apa saja, hal itu membuat Mawar seolah punya jalan pintas untuk merebut semuanya dari Nadhira. Nadhira sudah senantiasa bersabar, positif thinking dan selalu yakin akan ada hikmah dibal...