Hilang!
Gohvin tidak ada di rumah ketika Vincia pulang. Gadis itu mencari ke seluruh penjuru rumah. Namun, tidak ada tanda-tanda kehadiran lelaki itu.
“Gohvin?” panggil Vincia pelan, nyaris hanya bisikan.
Tidak ada jawaban.
Vincia menggigit bibir, melangkah pelan ke sudut ruangan. Ia mencari kembali hingga ke kolong meja dan balik tirai. Biasanya, lelaki itu akan muncul entah dari mana. Dari balik bayangan, embusan angin, cermin, atau dari pantulan cahaya. Namun malam ini, terasa hampa.
Yang terdengar hanya detak jarum jam dinding, dan degup jantungnya sendiri.
“Gohvin di mana kau?” Suara Vincia bergetar. Nadanya sedikit lebih keras, disertai firasat buruk yang mulai menjalar.
Vincia berlari kembali ke luar. Jalanan sepi. Hanya dedaunan yang sesekali bergoyang. Awan kelabu tebal di langit senja, menurunkan dingin yang menggigit kulit.
“Jangan bercanda, Gohvin,” pinta Vincia dengan suara yang mulai pecah. Matanya mencari-cari sesuatu yang tidak bisa ia lihat di tepi sungai yang pernah mereka datangi. “Kalau ini salah satu keusilanmu, cepat berhenti. Aku tidak suka. Jangan mengerjaiku di hari ulang tahunku.”
Tidak ada jejak bayangan ataupun getaran di udara ketika Vincia tiba di taman tempat mereka bertemu kali pertama. Bangku panjang itu masih di sana. Namun, Gohvin tidak ada.
“Gohvin!”
Sunyi.
Vincia duduk di bangku, memeluk dirinya. Tubuhnya gemetar oleh ketakutan yang tidak ia mengerti. Sejak Gohvin hadir, hari-harinya selalu dihantui suara, bisikan, atau kehadiran yang tiba-tiba itu. Namun, kini, ketiadaan itu justru lebih menakutkan.
“Aku membutuhkanmu. Jangan pergi, Gohvin,” pinta Vincia, hampir putus asa.
Tidak ada balasan.
Vincia menunduk. Pipinya basah. Entah karena air mata atau hujan yang baru turun. Untuk kali pertama, hidupnya terasa benar-benar sepi. Lebih sepi dari sebelum Gohvin pernah hadir.
Tubuh Vincia limbung. Kakinya terasa berat. Pandangannya mulai kabur diterjang ombak harapan kosong. Saat tubuhnya hampir tumbang, di antara batas sadar dan gelap, ia merasakan hangat samar yang merangkul.
Sentuhan itu sangat lembut. Hampir terasa tidak nyata. Seketika tubuh Vincia seperti melayang ringan di udara.
Di kejauhan, Vincia sempat melihat cahaya redup yang bergerak samar seperti kabut. Sebelum semuanya berubah jadi hitam pekat.
Untuk sesaat, ia merasa utuh.
***
Terlalu banyak luka lama yang terbuka, hingga Vincia kehabisan kata-kata.
Sore itu, Vincia terbangun di lantai studio lukis ayahnya. Ia tidak ingat bagaimana bsa pulang dari taman tadi malam. Matanya bengkak, rambut berantakan, dan napasnya berat. Di tangannya, sebuah album foto lama yang selama ini tersimpan di rak bawah bufet. Di sana ada potret bahagia sebuah keluarga; ayahnya, ibunya, dan Vincia kecil.
Sudah lama Vincia belajar berdamai karena kehilangan semua itu. Akan tetapi, wanita yang selama ini menghilang tanpa kabar, tiba-tiba muncul lagi dengan sepotong senyum minta dimengerti.
Vincia memejam. Ia menahan air mata yang sudah habis sejak tadi.
Lalu tiba-tiba, angin lembut berembus dari arah jendela. Lampu kamar berkedip, meredup, lalu gulita. Detik berikutnya, waktu seolah-olah berhenti.
“Vincia.”
Suara itu.
Saat membuka mata, Vincia tidak lagi di kamarnya.
Vincia berdiri di sebuah padang luas, hamparan rerumputan tinggi yang bergoyang pelan. Langit di atasnya bukan biru atau jingga, melainkan perpaduan warna semburat ungu, merah muda, dan biru kehijauan yang bercampur seperti lukisan basah. Pepohonan di kejauhan tampak seperti goresan cat hitam.
Ketika mencoba berjalan, tiap langkah Vincia meninggalkan percikan warna di tanah. Kemudian Vincia tiba di tepi sebuah danau yang mengingatkan pada lukisan karyanya. Ia menunduk dan melihat bayangannya sendiri di permukaan danau bening di padang itu. Sepasang netra gadis itu melebar terkejut.
Ujung rambut Vincia seperti terbuat dari sapuan kuas, warnanya lebih lembut dari biasanya. Jika diperhatikan, tubuhnya seolah-olah bukan kulit dan daging, melainkan lapisan tipis cat yang belum benar-benar mengering. Setiap kali gadis itu bergerak, ujung jarinya meninggalkan jejak warna samar di udara.
“Selamat datang, Vincia,” sambut suara familier itu.
Vincia mendongak dan mendapati Gohvin mengulurkan tangan padanya. Tanpa banyak kata, ia meraih tangan lelaki itu. Sentuhan hangat, tidak seperti bayang-bayang dalam mimpi.
“Ini di mana?” Suara Vincia serak.
Gohvin berdiri di sampingnya tersenyum. “Anggap saja ini tempat di antara mimpimu dan kenyataanmu. Tempat di mana tidak ada luka yang bisa mengejar, jadi kau boleh berhenti sebentar.”
Vincia menarik napas dalam-dalam. Udara di sekitar wangi cat dan rumput basah. Kemudian mereka duduk di bawah pohon dengan ranting-ranting tipis seperti garis sketsa. Daun-daunnya bukan hijau biasa, tapi kombinasi biru pastel dan lavender, bergoyang pelan diterpa angin yang beraroma seperti kertas.
“Aku lelah, Gohvin,” keluh Vincia lantas memeluk lutut, “kenapa orang-orang dengan mudahnya datang, pergi, dan datang lagi? Seolah-olah aku akan selalu menerima mereka lagi.”
Gohvin menatap Vincia lama, lalu berkata pelan, “Orang memang datang dan pergi dalam hidup kita, tapi hanya kita yang bisa selalu tetap tinggal.”
Vincia menggigit bibirnya, berusaha menahan isak. Ia menatap langit yang tampak seperti cat basah. Warna-warna berbaur, tidak pernah benar-benar diam.
“Dengar, ya. Kau bukan tempat penampungan luka orang lain. Kau boleh kecewa, boleh marah, tapi jangan pernah menganggap dirimu tidak layak hanya karena orang lain tidak tahu caranya untuk tetap tinggal.”
“Aku mau di sini saja. Boleh, ya?” Vincia memejamkan, air mata akhirnya jatuh. Hanya Gohvin yang memahaminya.
Tersenyum, Gohvin menggeleng. “Kau harus pulang, Vincia.”
“Kalau begitu, ayo kita pulang,” ajak Vincia lantas bangkit kemudian melangkah. Namun, ia menyadari bahwa Gohvin bergeming di tempat. Glabela Vincia berkerut. “Gohvin? Ayo!”
Gohvin menggeleng.
“Kau … tidak ikut?” Firasat buruk tumpah seperti cat yang melumuri hati Vincia.
“Inilah duniaku, Vincia. Tempat aku seharusnya berada.” Gohvin berdiri sambil merentangkan tangan. “Mulai sekarang, kau harus menghadapi semuanya sendiri. Aku tahu kau pasti bisa. Ingat, kau pantas untuk bahagia. Pilihlah dirimu sendiri.”
Angin kembali berembus pada kegelapan. Vincia tahu, ini waktunya pergi.
“Gohvin!” Namun, Vincia tidak bisa meraih tangan itu.
“Sampai jumpa, Vincia.”
Bisikan itu terngiang di telinga Vincia. Untuk sedetik, dada gadis itu terasa sesak. Ia menarik napas panjang lalu membuka mata.
Jejak air mata terasa lengket di pipi Vincia. Ia memandang sekitar pada studio lukis ayahnya. Lukisan tempat Gohvin berada masih di sana. Tangisnya hampir pecah lagi, ketika dering ponsel meraung dari kamarnya.
***
Kereta sore baru saja masuk peron saat Vincia tiba. Napasnya memburu, rambutnya kusut karena berlari dari halte ke dalam stasiun. Matanya menyapu kerumunan, mencari sosok yang tempo hari ia hindari, tetapi diam-diam selalu dirindukan.
Ucapan Tante Hilma di telepon tadi terngiang di telinga Vincia.
‘Vincia, kenapa kau tidak jadi menemui mamamu? Dia baru saja berangkat ke stasiun setelah menitipkan sekotak surat yang tidak berani dia kirim padamu,’ tutur Hilma dengan nada khawatir, ‘tante harap kau tidak akan menyesal nanti. Selama ini, mamamu pergi untuk bekerja. Uang bulananmu juga ternyata penghasilan mamamu, bukan warisan papamu.’
Detik berikutnya, Vincia menemukan sosok yang ia cari. Di dekat bangku tembaga di ujung peron, seorang wanita paruh baya berdiri dengan koper kecil di sampingnya. Rambutnya sedikit berantakan oleh angin, wajahnya terlihat jauh lebih tua dari yang diingat Vincia.
Dada Vincia terasa sesak. Namun, langkah kakinya tetap maju. Meskipun perlahan.
“Mama …,” panggil Vincia lirih.
Wanita itu menoleh dengan tatapan kosong. Seketika matanya basah. Koper di tangannya jatuh begitu saja, dan ia berlari kecil, memeluk Vincia erat-erat.
“Maaf … maafkan mama, Vincia. Mama sangat egois dengan meninggalkanmu waktu itu,” tutur Alma di antara isak, “maafkan mama.”
Mulanya, pelukan itu terasa kaku. Namun, lama-lama Vincia membalas. Ada rasa asing sekaligus akrab yang bercampur. Air mata meleleh di pipinya tanpa permisi. “Vincia … kangen, Ma …”
Alma terisak, mengelus rambut putrinya.
“Mama tidak akan pergi lama, Sayang. Tunggu sebentar lagi, ya,” pintanya, “kali ini, ada sesuatu yang harus mama selesaikan dulu. Setelah itu, kita tidak akan terpisah lagi.”
Vincia menarik diri sedikit, menatap wajah ibunya yang penuh harap. “Aku tidak mengerti dengan diriku sendiri, Ma. Tapi, aku capek merasa marah. Aku cuma ingin kita baik-baik saja.”
Alma tersenyum, air matanya berlinang. “Terima kasih masih mau ketemu mama. Sekali lagi, selamat ulang tahun, Vincia.”
Bunyi peluit kereta memecah keheningan. Namun, di antara kehibukan stasiun dan derap langkah kaki orang-orang, dunia seakan-akan mengecil hanya untuk mereka berdua.
Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐ฎ
Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama