Loading...
Logo TinLit
Read Story - Paint of Pain
MENU
About Us  

Udara di atelir lukis terasa lembap. Atau mungkin karena Vincia sudah terlalu lama berada di sini. Bau cat minyak, kayu, dan debu menempel di dinding-dindingnya. Jam di sudut ruangan menunjukkan pukul lima sore. Cahaya matahari sudah makin condong ke barat. Semburat jingga menembus kisi-kisi jendela, membuat pola-pola panjang di lantai.

Vincia masih duduk di depan kanvas, tangan kirinya memegang palet, sementara kuas di tangan kanan mulai bergerak pelan, menyapu warna terakhir di sudut lukisan.

Hari itu Jumat. Vincia tidak ada jadwal bekerja sambilan di Jubookya. Sehingga ia memanfaatkan seluruh waktunya untuk melukis ulang setelah konsepnya disetujui dosen.

Sekitarnya senyap. Hanya bunyi detik jam dinding dan desiran kipas angin di dinding yang berputar malas. Beberapa mahasiswa lain yang sempat datang melukis sudah pulang sejak satu jam lalu. Gohvin, entah mengapa, hari ini memilih tidak datang menemaninya.

Vincia berdiri sambil menghela napas panjang. Tangannya lelah, tetapi ada sedikit kelegaan di dada. Ia memandangi lukisan itu sekali lagi. Sebentar lagi ia bisa resmi lulus dari fakultas seni.

Setelah mencuci tangan, melipat apron, dan memotret progres lukisan hari ini, Vincia membereskan cat, palet, kuas, lalu mengambil kain putih. Perlahan, ia membentangkan kain itu di atas kanvas. Ujungnya ditarik dengan hati-hati agar menutupi seluruh kanvas. Bagian pinggirnya dirapikan, memastikan tidak ada sisi terbuka.

Selama beberapa menit, Vincia berdiri diam di tengah ruang lukis yang lengang. Pandangannya menerawang ke jendela, ke langit senja yang mulai memudar menuju gelap. Ada rasa sepi yang menggantung. Entah mengapa, seperti ada bisikan samar di dalam hati yang membuatnya enggan beranjak.

Bunyi ketukan hak sepatu di lantai koridor luar menyentak Vincia dari lamunan. Bergegas, ia mengangkat lukisan yang sudah tertutup kain, membawanya ke loker di sudut ruang lukis. Sesuatu terjatuh di dekat kakinya, tetapi ia hanya melirik sekilas pada pisau cutter yang tergeletak di lantai. 

Kemudian Vincia membuka pintu, menyelipkan lukisan dengan posisi tegak. Setelahnya, ia tutup pintu loker dan memutar kunci hingga terdengar bunyi klik.

Vincia menggenggam sejenak kunci kecil itu sebelum memasukkannya ke dalam saku kecil di dompet cokelatnya.

Sebelum benar-benar pergi, Vincia menarik gagang pintu loker demi memastikan sudah benar-benar terkunci. Kemudian gadis itu memadamkan lampu ruang lukis. Dedaunan di luar berdesir pelan saat ia menutup pintu ruang lukis dari luar.

***

Keramaian di aula kampus siang itu dipenuhi sorak-sorai dan kilatan kamera. Vincia berdiri di pinggir, menggenggam tas kertas kecil berisi hadiah untuk Frita. Kado sederhana itu berupa stoples kaca yang ia lukis gambar bunga matahari dan diisi dengan kuaci.

Suasana bahagia itu terasa aneh di dada Vincia, seperti suara riuh tetapi terdengar jauh. Terutama karena melihat keluarga yang hadir. Sesuatu yang tidak ia miliki.

Vincia merapikan kemeja biru dongker dan menepuk ringan celana palazo. Rambut diikat rapi dan bibirnya dipoles satu-satunya liptint yang ia miliki.

Di kejauhan, Frita keluar dari deretan kursi wisudawan, menggenggam map berisi ijazah, senyumnya lebar. Vincia melambaikan tangan, memanggil pelan. 

“Frita!” serunya sambil melambai di antara kerumunan toga dan senyum-senyum lega.

Frita yang tengah berbincang dengan teman-temannya menoleh, lalu tersenyum lebar. Ia mengangkat tangannya balas melambai pada Vincia.

Vincia menghela napas lega. Baru saja ia ingin menghampiri, matanya terpaku pada sosok familier dari kerumunan di sisi lain aula.

Valdo.

Vincia nyaris tidak percaya. Tubuhnya kaku, tangan refleks meremas pegangan tas di genggamannya. Valdo tampak rapi mengenakan kemeja terakota dan celana kain.  Di tangannya sebuah kotak hadiah berbalut pita dadu. Bibir lelaki itu melengkungkan senyuman yang masih diingat Vincia.

Untuk sekejap, harapan bodoh sempat menyelusup di hati Vincia. Jantungnya berdegup dengan cara yang aneh. Selama beberapa detik, ia kira Valdo datang ke arahnya.

Akan tetapi, langkah Valdo lurus ke arah Frita. Ternyata senyum itu bukan untuknya.

Senyum Valdo bukan lagi untuk Vincia.

Napas Vincia tersekat. Tubuhnya refleks mundur satu langkah. Tanpa sadar, tangannya mengepal tanpa sadar di sisi tubuh.

“Wah, pemandangan yang mengejutkan.” Suara Gohvin muncul di belakang Vincia. Tanpa permisi, seperti biasa.

Vincia menggigit bibir, mencegah senyum getir. Perih yang samar menyebar di relung hati. Ia tahu tidak seharusnya merasa begini. Namun, tetap saja masih terasa sesak.

“Aku mau pulang,” ujar Vincia lirih. Orang lain mungkin tidak akan mendengar suaranya di tengah keramaian. Namun, ia tahu Gohvin mendengarnya.

“Ayo,” ujar Gohvin lantas meraih dan menggenggam tangan Vincia.
Vincia menarik napas, menahan matanya yang memanas. Ia membiarkan Gohvin menuntunnya hingga keluar dari aula.

Mereka berjalan menjauh, membiarkan keramaian dan kenangan yang menyakitkan tertinggal di belakang.

***

 

Layar ponsel Vincia berkedip di tangannya. Satu pesan baru masuk. Dari Frita.

<Vincia, di mana? Aku mencarimu. Kita belum sempat foto bersama.>

Vincia membaca pesan tanpa benar-benar berniat membalas. Jari-jarinya mengetuk pelan sisi ponsel, lalu memasukkan gawai ke tas rajut bergambar kura-kura. Tangannya meremas tali tas selempang yang menggantung di bahu itu. Perasaan bersalah terbit di hati. Hanya karena memutuskan untuk tidak membalas pesan dari orang lain.

Jantung Vincia berdebar kencang. Benaknya masih terbayang Valdo, mantan pacar yang dahulu ia usahakan kebahagiaannya. Ternyata kini bisa tersenyum kepada Frita. Perasaannya campur aduk. Gadis itu merasa tertinggal, terluka, dan hampa. Vincia terus berjalan tanpa arah, sampai akhirnya sampai di pinggir sungai yang tenang.

Vincia ingat pernah berlari dari rumah sampai ke sungai ini. Ketakutan dan tanpa alas kaki. Karena Gohvin mengejar dan sengaja menakut-nakutinya.

“Aku tidak pernah menakut-nakutimu,” sahut Gohvin yang entah sejak kapan duduk bersantai di rerumputan, “kau saja yang berpikiran buruk. Bahkan sudah kubilang kalau aku bukan hantu.”

“Siapa juga yang bisa percaya? Apalagi kau muncul begitu saja. Tanpa permisi,” cibir Vincia lantas memandangi permukaan air yang berkilau karena pantulan cahaya matahari.

“Seperti kejadian tadi?” sindir Gohvin lantas mendengkuskan tawa, “jangan bilang kau kaget melihat mereka bersama. Padahal petunjuknya sangat jelas.”

Glabela Vincia berkerut. “Kau sudah tahu?”

Gohvin berdecak lantas menyeringai. “Coba kau ingat-ingat.”

Vincia menghela napas panjang. Angin membawa aroma tanah basah. Kalau diingat-ingat lagi, gambar sosok Vinz di komik Valdo memang mirip dengan Frita. Setiap kali melihat Valdo di sekitar kampus, ia juga akan bertemu Frita di sana.

Benar juga. Vincia mendengkus. Kenapa baru sadar sekarang? Sambil termenung, gadis itu melempar kerikil kecil ke danau. Riak kecil timbul kemudian cepat menghilang.

“Bagaimana perasaanmu?” tanya Gohvin seraya memandangi wajah Vincia, “apa kau menyesal seperti yang dituduhkan Valdo?”

Vincia menggeleng. “Anehnya, tidak. Sekarang aku justru lega dan berharap hubungan mereka bisa lancar.”

“Apa itu berarti kau sudah move on dari Valdo?” tanya Gohvin dengan tatapan lembut.

Vincia terdiam lama sebelum kemudian mengangkat bahu. “Entahlah—”

Gemeresik dari arah semak-semak memutus ucapan Vincia. Ia menoleh dan mendapati seekor kura-kura seukuran kepalan tangan berjalan perlahan hingga tepi sungai. Tanpa ragu, kura-kura itu langsung melompat ke dalam air.

“Ah, senangnya melihat hidup kura-kura yang tenang,” gumam Vincia, “tidak pernah terburu-buru.”

“Untuk apa juga terburu-buru? Rumahnya selalu dia bawa ke mana-mana,” sahut Gohvin.

Vincia tertawa kecil. “Benar juga. Andai aku juga bisa membawa rumahku ke mana-mana.”

“Lebih baik tidak,* saran Gohvin, “kalau kau punya tempurung di punggung, bisa-bisa kau memilih untuk bersembunyi dan tidak pernah keluar lagi.”

Vincia tersenyum tipis. “Saat itulah kau yang bertugas mengajarkan aku untuk  berani keluar dari tempurungku sendiri. Tanpa harus kehilangan diri atau menyakiti diri lebih dulu.”

“Jangan salah paham. Aku bukan mentormu, Vincia,” timpal Gohvin sambil menepuk bahu Vincia, “aku adalah bayanganmu yang paling jujur. Aku yang akan terus mengingatkan kalau kau tidak bisa terus-terusan lari dari diri sendiri.”

Vincia menunduk, “Kadang aku takut kalau aku berhenti lari, semua orang akan benar-benar melihatku. Dan aku tidak tahu apakah aku siap diterima apa adanya.”

“Bukan masalah. Yang penting apakah kau mau menerima dirimu sendiri apa adanya.”

Selama beberapa saat, Vincia tercenung. “Tapi aku belum tahu seperti apa diriku sendiri.”

“Kita bisa mencari tahu bersama, tapi jangan berharap aku jadi pemandu wisata yang manis.”

“Karena kau selalu sadis dan sarkatis,” imbuh Vincia lantas tertawa kecil.

Tanpa komando, mereka duduk di tepi sungai. Sunyi sejenak. Tanpa pernah tahu apa yang menunggu mereka di masa depan. 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (9)
  • deana_asta

    Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐Ÿ˜ฎ

    Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama
  • deana_asta

    Ditunggu kelanjutannya Kak ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [14] Ingat Waktu Itu
  • deana_asta

    Baca chapter ini, sedih bgt ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [11] Nyaris Tanpa Suara
  • deana_asta

    Tiba2 ada 3 novel yang sangat familier ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [10] Ia Meneguk Napas
  • deana_asta

    Gohvin sweet bgt sihhh ๐Ÿ˜

    Comment on chapter [6] Orang-orang Sudah Sibuk
  • deana_asta

    Kok sedih sih Vincia, lagian Valdo gimana sih ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [5] Tidak Jadi Pergi
  • deana_asta

    Wahhhhhh gak nyangkaaa ternyata Gohvin lelaki itu ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [4] Niat untuk Bertemu
  • deana_asta

    Siapa Gohvin ini sebenarnya ๐Ÿค”

    Comment on chapter [3] Ini Juga Rumahku
  • deana_asta

    Vincia yang tenang yaaaa ๐Ÿ˜‚

    Comment on chapter [2] Aroma Gurih Kaldu
Similar Tags
Yu & Way
134      109     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakanโ€”tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Merayakan Apa Adanya
402      289     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Penantian Panjang Gadis Gila
272      215     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
1853      758     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...
Diary of Rana
184      156     1     
Fan Fiction
โ€œBroken home isnโ€™t broken kids.โ€ Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
Surat yang Tak Kunjung Usai
656      443     2     
Mystery
Maura kehilangan separuh jiwanya saat Maureen saudara kembarnya ditemukan tewas di kamar tidur mereka. Semua orang menyebutnya bunuh diri. Semua orang ingin segera melupakan. Namun, Maura tidak bisa. Saat menemukan sebuah jurnal milik Maureen yang tersembunyi di rak perpustakaan sekolah, hidup Maura berubah. Setiap catatan yang tergores di dalamnya, setiap kalimat yang terpotong, seperti mengu...
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
530      219     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
197      138     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
Sweet Seventeen
984      709     4     
Romance
Karianna Grizelle, mantan artis cilik yang jadi selebgram dengan followers jutaan di usia 17 tahun. Karianna harus menyeimbangkan antara sekolah dan karier. Di satu sisi, Anna ingin melewati masa remaja seperti remaja normal lainnya, tapi sang ibu sekaligus manajernya terus menyuruhnya bekerja agar bisa menjadi aktris ternama. Untung ada Ansel, sahabat sejak kecil yang selalu menemani dan membuat...
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
116      93     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.