Hujan masih turun deras di luar, menampar-nampar kaca jendela kamar tidur Vincia. Aroma petrikor bercampur wangi losion bengkuang yang baru saja ia oleskan ke tangan. Lampu meja menyala temaram, menyoroti deretan buku-buku, gelas, dan ponsel yang tergeletak.
Vincia duduk di lantai kamar, bersandar ke tepi ranjang. Ia masih mengenakan kardigan dan celana palazo yang sama sejak tadi siang datang ke galeri. Kakinya telanjang menyentuh lantai keramik yang dingin.
Tiba-tiba layar ponselnya menyala, menandakan pesan baru yang datang. Namun, Vincia memilih untuk mengabaikan.
Tangan Vincia terulur ke meja, hendak meneguk air. Ketika mendapati gelasnya kosong, ia lantas bangkit dan keluar dari kamar yang temaram.
Lalu suara itu datang. Pelan dan tenang. Seperti bisikan yang muncul dari sela-sela pikiran.
“Apa kau sudah puas berwajah murung?”
Vincia menoleh. Di sudut ruangan, sosok Gohvin bersandar di dinding. Tubuhnya setengah dalam bayangan, setengah diterangi cahaya lampu ruang makan. Rambut hitam acak-acakan, kedua tangan dimasukkan ke saku jaket. Sepasang metra tajam itu menatap Vincia, seolah-olah tahu isi kepalanya tanpa perlu dijelaskan.
Namun, Gohvin memang selalu memahaminya. Lebih dari yang Vincia tahu tentang dirinya sendiri.
“Aku …” Vincia menarik napas, menggigit ujung bibir, “tidak murung, kok.”
Gohvin tertawa dengan sarkastis. Suaranya berat, tetapi tetap datar bahkan cenderung terdengar malas. “Tidak murung, tapi sejak pulang kerja sambilan, kau hanya melamun muram di kamar?”
“Aku cuma sedang lelah,” timpal Vincia lirih lantas mengisi gelas dengan air dari dispenser.
“Lelah menunggu kepastian dari orang yang tidak bisa memprioritaskanmu?” desak Gohvin.
Vinci menelan ludah. Wangi hujan makin tajam saat angin menerobos lewat celah jendela.
“Valdo memang sedang sibuk. Komiknya terkenal di mana-mana,” bela Vincia lebih seperti ingin meyakinkan diri sendiri.
“Sebagai lelaki, seharusnya dia tahu bagaimana cara memberi kabar padamu. Bukannya malah menghilang dan datang lagi sesuka hati,” ujar Gohvin dengan tegas.
“Aku cuma … merasa tidak enak kalau—”
“Kalau meninggalkan orang yang tidak pernah benar-benar memilihmu?” potong Gohvin dengan kedua alis bertaut. Ia mendorong tubuhnya dari dinding, berjalan mendekat. Langkahnya di lantai nyaris tanpa suara.
Suasana ruang makan makin sunyi. Hanya suara detik jam dinding dan hujan yang masih terus mengetuk kaca dari luar.
“Padahal kau selalu menjadi pilihan terakhir bagi Valdo. Sampai kapan kau bisa sadar?”
Vincia mendongak demi menatap Gohvin yang berdiri menjulang di hadapannya. Ada getir di mata gadis itu, ditambah sedikit ketakutan.
“Kau tidak mengerti, Gohvin.” Mata Vincia berkaca-kaca, tetapi tidak ada tangis “Aku … tidak mau kehilangan dia. Aku tidak bisa kehilangan Valdo!”
Gohvin menyeringai tipis, kepalanya dimiringkan ke samping. “Lucu sekali, Vincia. Kau tidak mau kehilangan dia tapi rela kehilangan dirimu sendiri.”
“Kau. Tidak. Mengerti. Gohvin!” ulang Vincia dengan penekanan di setiap kata, “aku sendirian di sini. Ayahku sudah meninggal. Ibuku pergi tanpa kabar. Tidak ada teman yang benar-benar ada untukku. Kalau Valdo juga meninggalkanku, aku … aku bakal benar-benar sendirian.”
“Vincia, sendirian itu tidak mematikan, tapi bertahan di tempat yang salah, itu yang perlahan akan menghancurkanmu,” ujar Gohvin pelan dan tenang. Nada suaranya terdengar seperti seseorang yang sudah terlalu paham luka itu.
Luka di hati Vincia.
Udara di ruang makan serasa makin berat. Hidung Vincia menghidu wangi mawar samar dari buket mawar pemberian Valdo di meja bufet, Namun, itu sama sekali tidak membantu menenangkan pikirannya.
Gohvin mengunci kontak mata dengan Vincia. Tatapan lelaki itu teduh, tetapi menyimpan ironi. “Kalau alasanmu mempertahan hubungan ini cuma karena takut sendirian, berarti yang kau perjuangkan bukan dia … tapi ketakutanmu sendiri.”
Vincia memejam, air mata menetes ke pipi. Buru-buru ia usap dengan ujung telunjuk. Seolah-olah gadis itu tahu kalimat menohok yang akan diucapkan Gohvin selanjutnya.
“Dan ketakutan itu, Vincia … di dalam cinta, tidak pernah ada takut. Karena takut adalah lawan kata dari cinta.”
***
Tungkai Vincia terasa berat melangkah. Jantungnya berdegup keras seperti diterjang badai. Suara Gohvin berdenting dalam benak, meminta ia mundur dan berbalik pulang. Usahanya pagi ini akan sia-sia dan kembali membawa luka.
Akan tetapi, Vincia memaksa dirinya untuk percaya Valdo bisa berubah. Mereka sudah bersama selama tiga tahun sembilan bulan dan akan tetap bersama selamanya. Ia harus membuktikan bahwa ucapan Gohvin salah. Di balik segala kekacauan yang terjadi, ada harapan yang belum padam.
Hari ini, Vincia tidak akan menyerah begitu saja.
Maka di sinilah Vincia berada sekarang. Ia berdiri di depan pagar besi berkarat, menatap halaman kecil yang mulai ditumbuhi rumput liar. Suara radio tua dari dalam kos memutar lagu lawas. Terdengar samar dan sumbang.
Sambil menggenggam erat tali tas berisi kotak bekal, Vincia mendorong pagar dengan satu tangan. Bunyi derit terdengar menyakitkan di telinga. Ia melangkah ke teras dan memandang ke dalam melalui jendela besar tanpa tirai.
Dari sini, Vincia bisa melihat jelas kamar Valdo. Pintu dan jendela terbuka lebar. Tirai putih yang tipis terayun malas ditiup angin. Di sana, tidak ada lagi poster film kesukaan Valdo. Tidak ada rak kayu tempat lelaki itu biasa menyimpan sketch book dan komik.
Napas Vincia tersekat. Kamar itu kosong.
Tergesa, Vincia bergeser menuju pintu. Ia mengetuk perlahan. Tidak ada jawaban.
“Valdo?” panggil Vincia sambil kembali mengetuk.
Namun, angin jadi satu-satunya yang menjawab.
Vincia menurunkan kepalan tangan ke sisi tubuh. Sepasang netranya menatap nanar pada tas yang ia bawa. Masakan yang dibuat sepenuh hati pagi tadi. Sambil membayangkan makan bersama Valdo. Seperti yang sering mereka lakukan dahulu.
Lagi-lagi, ekspektasi melempari hati Vincia dengan batu-batu kecil.
Sekarang kotak bekal itu terasa sangat berat di genggaman Vincia. Bukan karena isi makanannya, melainkan harapan yang perlahan terus menguap tanpa jejak.
Tepat ketika Vincia memutuskan untuk berbalik pulang, ada yang membukakan pintu dari dalam. Seorang lelaki dengan kaus oblong dan sandal jepit. Mungkin penghuni kamar paling depan. Lelaki itu menatap Vincia sebentar, lalu tersenyum basa-basi.
“Cari siapa?” tanya lelaki yang berdiri di ambang pintu itu.
Vincia menarik napas. “Valdo. Apa dia ada?”
Lelaki itu menoleh sekilas ke belakang sebelum kembali membuka mulut, “Valdo sudah tidak di sini. Minggu lalu dia pindah.”
“Oh.” Kekecewaan menyelubungi hati Vincia. “Terima kasih, ya.”
Vincia berusaha tersenyum. Tangannya meremas tali tas yang ia bawa.
Lelaki itu mengangguk, kembali masuk. Pintu kayu berderit pelan sebelum menutup rapat.
Kos itu kembali sepi. Hanya suara daun-daun yang saling bergesekan di atas kepala, dan bunyi gesekan jemari Vincia di pinggiran tas kain lusuhnya.
Vincia berdiri beberapa detik lebih lama. Ia kembali menatap kamar kosong itu melalui jendela besar. Seakan-akan gadis itu berharap ada sesuatu yang tertinggal di sana. Sebuah tanda, secuil alasan, atau apa pun yang bisa menjelaskan.
Namun, tidak ada yang tersisa.
Di dalam kepala Vincia, suara Gohvin menggema.
‘Kalau alasanmu mempertahan hubungan ini cuma karena takut sendirian, berarti yang kau perjuangkan bukan dia … tapi ketakutanmu sendiri.’
Angin bergerak pelan, membawa aroma hujan yang belum turun. Vincia memejamkan mata, merasakan udara membelai pipi dengan lembut. Sementara dingin menjalari ujung jemarinya.
Dari kejutan pagi itu, Vincia belajar bahwa kehilangan paling menyakitkan bukan ketika seseorang pergi. Melainkan saat kita tersadar, sejak lama seseorang itu tidak pernah benar-benar tinggal.
***
Langit pagi itu tampak terlalu terang untuk hati Vincia yang remuk. Ia pulang dengan langkah yang seolah-olah tidak sepenuhnya menjejak di tanah. Tubuhnya bagaikan hadir, tetapi jiwanya tertinggal di depan pintu kos-kosan kosong tadi. Kotak bekal di tangannya terasa lebih berat dari yang seharusnya. Karena segala harapannya dititipkan di dalam sana.
Jam menunjukkan pukul sembilan lewat tiga puluh tujuh menit ketika Vincia tiba di rumah. Matahari baru setengah hati menembus awan. Udara masih lembap sisa hujan malam tadi. Aroma tanah basah bercampur wangi bunga dari halaman tetangga.
Vincia membuka pintu pelan. Bunyi derit terdengar lebih nyaring dari biasanya. Wangi bunga kering bercampur lemon dan cengkih menyambut. Ia melangkah masuk dan menutup pintu. Tanpa mengucapkan salam.
Begitu mencapai ruang makan, tampak Gohvin duduk santai di kursi meja makan. Jemarinya sibuk memilah bunga dari buket. Sebagian kelopak mawar itu sudah berkumpul di atas nampan rotan kecil.
Vincia menatap buket itu. Pemberian Valdo yang kini tidak ada maknanya. Dada gadis itu terasa berat. Emosi yang sejak tadi ia tahan meletup begitu saja.
Tanpa banyak bicara, Vincia mendugas maju. Ia merebut buket itu dari tangan Gohvin, lalu melemparkannya ke lantai. Kelopak-kelopak rapuh beterbangan, berserak di lantai seperti sisa-sisa perasaan yang tidak terucap.
Gohvin mengangkat alis, tampak tidak terkejut. “Padahal mau kujadikan potpurri.”
Meski diucapkan dengan tenang, suara Gohvin seolah-olah menekan tombol amarah dalam hati Vincia. Gadis itu mengangkat kotak bekal erat. Jemarinya gemetar, ingin melemparkan benda itu ke dinding, ke meja, atau ke mana saja. Asal ia bisa melupakan Valdo.
Akan tetapi, sebelum sempat bergerak, tangan Gohvin sigap menangkap pergelangan tangan Vincia.
“Berhenti.” Suara Gohvin tenang, tegas, tanpa nada marah. “Membanting sesuatu tidak membuatmu lebih kuat, Vincia.”
Mata Vincia memanas. Perlahan, ia menarik tangan. Kotak bekal itu jatuh ke lantai, mengeluarkan bunyi pelan. Gadis itu menunduk, menarik napas panjang.
Gohvin membungkuk untuk menjauhkan tas berisi kotak bekal dari Vincia. Kemudian ia mengutip kelopak-kelopak bunga yang berserakan.
“Kau tahu,” kata Gohvin bersamaan dengan bunyi jam dinding yang terdengar samar. “Kadang, yang paling sulit itu bukan melepaskan orang lain … tetapi melepaskan angan-angan yang kau ciptakan tentang dia.”
Vincia terdiam. Pandangannya jatuh ke lantai. Disusul air mata yang menetes.
Pagi itu, Vincia belajar satu hal. Kehilangan paling sunyi adalah kehilangan seseorang yang selama ini hanya hidup dalam versi di benaknya.
Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐ฎ
Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama