Loading...
Logo TinLit
Read Story - Paint of Pain
MENU
About Us  

Menjelang akhir tahun, di pertengahan Desember yang berangin, lukisan Vincia hampir selesai. Setelah menambahkan beberapa warna pada kanvas, ia bergegas pindah ke sisi lain gedung. 

Untuk memenuhi undangan dari Frita. 

Vincia memasuki ruang seminar yang bersuhu dingin. Seakan-akan AC-nya sengaja disetel lebih rendah untuk mendukung ketegangan mahasiswa tingkat akhir. Lampu-lampu putih menyala penuh, memantulkan kilap di permukaan meja kayu. Deretan kursi terisi setengah. Beberapa wajah terlihat familier baginya, sementara yang lain asing.

Sebagai mahasiswa terakhir yang mempresentasikan tugas akhir hari ini, Frita tampak berdiri tenang di podium. Baru saja mengucapkan salam dan pembukaan. Layar proyektor menampilkan biodata singkat tentang Frita Ruiz. 

Syukurlah Vincia tidak terlambat. 

Setelah mengamati sekitar, Vincia memilih duduk di bangku ketiga dari belakang. Gadis itu merapatkan kardigan kremnya, seolah-olah itu bisa menjadi perisai pelindung dari tatapan orang sekitar. Rambutnya dikucir rendah, menyisakan beberapa helaian yang menempel di pelipis. Ia membuka buku catatan kosong, pura-pura menulis sesuatu. Padahal itu hanya pengalihan perhatian dari jantungnya makin cepat berdebar.

Sekarang proyektor menampilkan foto dari karya Frita. Lukisan yang pernah ia lihat sebelumnya. Setangkai bunga matahari dadu di tengah-tengah ladang bunga matahari. Awan di langit berwarna dadu lembut seperti gumpalan permen kapas. 

Vincia tersenyum kecil.

Ada sesuatu di dada yang hangat, semacam rasa haru yang muncul tanpa aba-aba.

“Nama saya Frita, dan ini adalah karya saya,” ujar Frita dengan nada tegas, “judulnya Bunga Matahari Berwarna Dadu.”

Frita berdiri ke depan layar proyektor. Di balik blus putih bersihnya, ada rona gugup tapi tatapannya tenang.

Kemudian dengan lancar, Frita menjelaskan latar belakang, proses pemilihan warna, media, jenis cat yang digunakan, teknik melukis, lama pengerjaan, serta makna simbolis dari lukisannya. 

“Saya percaya kita semua punya warna masing-masing tidak perlu mengorbankan warna itu hanya demi cocok di ladang yang tidak ingin mengenal kita,” pungkas Frita disambut tepuk tangan dari para hadirin. 

Vincia ikut bertepuk tangan sambil tersenyum bangga. 

Dengan mudah, Frita menjawab semua pertanyaan dari dosen pembimbing dan penguji. Seminar berakhir tepat pukul dua siang. Panitia membagikan tiket untuk pameran lukisan tugas akhir. 

“Vincia,” panggil Frita. Gadis itu tampak kesulitan berjalan dengan sepatu hitam berhak lima senti. Ketika mereka lebih dekat, Vincia baru menyadari tahi lalat kecil di dagu Frita. 

“Frita, selamat, ya,” ujar Vincia sambil memberikan kantong plastik kecil berisi jepit rambut bunga matahari. 

“Wah, terima kasih, Vincia,” sambut Frita dengan binar bahagia, “apa kau membuat ini sendiri?”

Vincia menggeleng. “Aku membelinya.”

“Kalau begitu, ini untukmu,” ujar Frita sambil menyerahkan tiket pameran miliknya. 

“Eh, aku sudah punya,” timpal Vincia sambil menunjukkan lembaran tiket miliknya. 

“Tidak apa-apa. Bawa saja jatah tiketku. Kau bisa mengajak temanmu, keluargamu, atau pacarmu. Daripada tiketku sia-sia. Karena aku sendiri jomlo dan orang tuaku terlalu sibuk untuk hadir,” tandas Frita. 

Meski diucapkan dengan nada ceria, Vincia seolah-olah bisa mendengar retakan hati dalam suara Frita. Terutama pada kalimat terakhir.

“Baiklah. Terima kasih. Aku bawa, ya,” ujar Vincia penuh syukur.

“Sekali lagi, terima kasih, ya sudah datang,” kata Frita, “sampai ketemu Sabtu waktu pameran.”

Hanya ada satu nama yang muncul dalam pikiran Vincia. Namun, ia tidak tahu apakah orang itu membutuhkan tiket atau tidak untuk bisa masuk.

***

Vincia sudah terbiasa dengan tidak adanya kabar. Kotak masuknya sepi, tidak ada lagi panggilan menjelang tidur di malam hari, hanya sesekali pesan datang dan kemudian tidak lagi berbalas. 

Akan tetapi, tiba-tiba sore itu sebuah pesan masuk dari Valdo.

<Aku jemput nanti jam 7 malam, ya, Vincia.>

Vincia tahu  bahwa berharap hanya akan menuntunnya pada kekecewaan. Namun, kini gadis itu duduk dengan kaki bersilang di ujung sofa ruang tamu. Tangannya menggenggam ponsel erat-erat di pangkuan. Ia masih  mengenakan terusan yang sama. Gaun favorit, hadiah ulang tahun ketujuh belas dari orang tuanya.

Rambut Vincia digerai, sedikit kusut karena disentuh jari-jari gugup sejak satu jam lalu. Wajahnya tampak pucat, hanya pipinya yang bersemu karena resah.

“Hati-hati. Jantungmu seperti hampir melompat keluar.” 

Suara yang datang dari ambang pintu pembatas ruangan itu membuat Vincia terperanjat.

Gohvin bersandar santai di kosen tanpa daun pintu. Rambutnya berantakan seolah-olah diterpa angin. Jaket hitam tetap terpasang fi tubuh tegapnya. Tatapan pemuda itu datar, tetapi sudut bibirnya terangkat sedikit. Senyum kecil itu lebih terkesan mengejek, alih-alih ramah.

“Bukan urusanmu,” desis Vincia. Matanya tetap terpaku ke arah ponsel di pangkuan.

Gohvin mendekat, lalu duduk di sandaran sofa. Tubuhnya condong ke depan dengan siku bertumpu di lutut. “Kau tahu kan, debaran seperti ini tidak selalu berasal dari kepakan sayap kupu-kupu di perutmu. Kadang bisa jadi sinyal bahaya menjelang badai.” Ia mengetuk dada pelan dengan ujung jari telunjuk.

Vincia menghela napas. Dalam hati, ia tidak bisa menyangkal fakta bahwa sebagian dirinya memang cemas. Namun, sisi lain ingin percaya bahwa hari ini akan baik-baik saja. Bahwa Valdo akan datang menepati janji. Bahwa makan malam ini bisa menjadi jalan untuk memperbaiki kerusakan dalam hubungan mereka.

“Tutup mulutmu, Gohvin,” gumam Vincia, agak kesal bercampur lelah.

Gohvin terkekeh pelan, mengangkat bahu pasrah. “Baiklah, tapi jangan salahkan aku kalau nanti kau pulang bersama luka baru lagi.”

Dasar sok tahu. Vincia meremas rok di pangkuan. Sepasang netra hitamnya masih terpaku pada layar ponsel. Tidak ada pesan atau panggilan yang muncul di sana. Ia bahkan mulai ragu bahwa Valdo mengingat janjinya. 

“Kita sama-sama tahu, Vincia,” sahut Gohvin tenang, “selama ini kau berjuang sendirian dalam hubungan kalian. Kau terus diam dan menoleransi setiap tindakan Valdo yang membuatmu merasa tidak nyaman. Sebaiknya kau mengakui, itu bukan cinta. Kau hanya takut kesepian.”

“DIAM!” jerit Vincia sambil memejam. Ketika kembali membuka kelopak mata, ia mendapati Gohvin menatap datar padanya. “Kita tidak akan pernah tahu hasilnya kalau tidak dicoba.”

Gohvin mendengkuskan tawa sinis. “Semua orang dungu selalu bilang begitu sebelum menabrak tembok yang sama.”

Belum sempat Vincia menanggapi, terdengar bunyi mesin mobil berhenti di depan pagar. Refleks, gadis itu berdiri, detak jantungnya melonjak.

Gohvin ikut berdiri, menatapnya sebentar lalu berkata pelan, “aku di sini, kalau-kalau kau membutuhkanku.”

Vincia menelan ludah. Tangannya meraih tas kecil, lalu melangkah menuju pintu. Saat gagang pintu disentuh, ia sempat menoleh ke arah Gohvin. Namun sosok itu sudah menghilang.

Begitu terdengar bunyi pintu mobil dibuka, Vincia bergegas keluar dan memastikan pintu dan pagar sudah terkunci. Sambil tersenyum, ia menyambut Valdo. Lelaki itu tampak menawan dalam setelan jas berwarna merah marun. 

Dari balik punggung, Valdo menarik sebuket bunga mawar merah seperti sebelumnya. Senyum makin merekah di bibir Vincia. Cepat-cepat, ia mengabaikan ucapan Gohvin yang berdengung samar di belakang kepala. 

“Terima kasih, Valdo,” bisik Vincia sedikit serak. 

Valdo membukakan dan menutup pintu mobil untuk Vincia. Sikap itu terasa romantis dan indah.

Sayangnya, Vincia tidak tahu bahwa malam ini menjadi momen terindah untuk pertama dan terakhir kalinya dalam histori hubungan mereka.

***

Wajah Valdo terlihat seperti peta asing yang perlu ia baca ulang. Padahal dahulu Vincia merasa sangat mengenal lelaki itu. Glabela yang berkerut ketika memikirkan hal serius. Alisnya akan terangkat satu ketika merasa sebal. Lesung di pipi kirinya. 

Tunggu. Valdo tidak punya lesung pipi. Itu Gohvin. 

Vincia menggeleng kuat-kuat. Untuk apa memikirkan Gohvin di saat seperti ini? 

“Ada apa, Vincia?” tanya Valdo sambil menyuapkan potongan steik ke mulut. 

“Eh, tidak apa-apa,” sahut Vincia merasa bersalah, “aku cuma terpikirkan beberapa hal.”

“Apa itu? Tugas akhirmu?”

“Eh, iya. Memang ada beberapa kendala, sih.” Nada Vincia menggantung di akhir ucapannya. Ia tidak terlalu yakin apakah pantas membahas tentang tugas akhir di momen seperti ini. 

“Berarti, kau tidak bisa ikut pameran bulan ini, ya? Kalau tidak salah, jadwalnya lusa?”

Glabela Vincia berkerut. Sejak kapan Valdo peduli terhadap jadwal pameran di kampus? 

“Kenapa? Kau mau datang?”

Valdo tertawa kecil. “Semacam itulah. Aku tertarik ingin melihat gaya karya selain yang biasa kugambar, tapi itu acara khusus mahasiswa fakultas seni, kan?”

“Orang luar boleh datang, kok. Asal punya undangan atau membawa tiket.”

Sepasang netra Valdo berbinar penuh harap. “Benarkah?”

Vincia mengangguk. “Aku punya tiket kalau kau mau.”

“Wah, terima kasih, Vincia. Kau  memang yang terbaik,” puji Valdo, “maaf kalau  akhir-akhir ini aku terlalu sibuk. Sampai-sampai kita sulit bertemu, tapi aku selalu memikirkanmu. Semoga makan malam ini bisa menebus kesalahanku.”

Vincia tersenyum. Akan tetapi, di balik kata-kata manis itu, ada ketegangan yang timbul samar ke permukaan. Gadis itu tahu. Ia yakin bahwa Valdo sedang menyembunyikan sesuatu.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (9)
  • deana_asta

    Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐Ÿ˜ฎ

    Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama
  • deana_asta

    Ditunggu kelanjutannya Kak ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [14] Ingat Waktu Itu
  • deana_asta

    Baca chapter ini, sedih bgt ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [11] Nyaris Tanpa Suara
  • deana_asta

    Tiba2 ada 3 novel yang sangat familier ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [10] Ia Meneguk Napas
  • deana_asta

    Gohvin sweet bgt sihhh ๐Ÿ˜

    Comment on chapter [6] Orang-orang Sudah Sibuk
  • deana_asta

    Kok sedih sih Vincia, lagian Valdo gimana sih ๐Ÿ˜ญ

    Comment on chapter [5] Tidak Jadi Pergi
  • deana_asta

    Wahhhhhh gak nyangkaaa ternyata Gohvin lelaki itu ๐Ÿคฉ

    Comment on chapter [4] Niat untuk Bertemu
  • deana_asta

    Siapa Gohvin ini sebenarnya ๐Ÿค”

    Comment on chapter [3] Ini Juga Rumahku
  • deana_asta

    Vincia yang tenang yaaaa ๐Ÿ˜‚

    Comment on chapter [2] Aroma Gurih Kaldu
Similar Tags
Resonantia
324      281     0     
Horror
Empat anak yang โ€˜terbuangโ€™ dalam masyarakat di sekolah ini disatukan dalam satu kamar. Keempatnya memiliki masalah mereka masing-masing yang membuat mereka tersisih dan diabaikan. Di dalam kamar itu, keempatnya saling berbagi pengalaman satu sama lain, mencoba untuk memahami makna hidup, hingga mereka menemukan apa yang mereka cari. Taka, sang anak indigo yang hidupnya hanya dipenuhi dengan ...
Time and Tears
245      192     1     
Romance
Rintik, siswi SMA yang terkenal ceria dan berani itu putus dengan pacarnya. Hal berat namun sudah menjadi pilihan terbaik baginya. Ada banyak perpisahan dalam hidup Rintik. Bahkan temannya, Cea harus putus sekolah. Kisah masa remaja di SMA penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Tak disangka pula, pertemuan dengan seorang laki-laki humoris juga menambah bumbu kehidupan masa remajanya. Akankah Ri...
Manusia Air Mata
973      595     4     
Romance
Jika air mata berbentuk manusia, maka dia adalah Mawar Dwi Atmaja. Dan jika bahagia memang menjadi mimpinya, maka Arjun Febryan selalu berusaha mengupayakan untuknya. Pertemuan Mawar dan Arjun jauh dari kata romantis. Mawar sebagai mahasiswa semester tua yang sedang bimbingan skripsi dimarahi habis-habisan oleh Arjun selaku komisi disiplin karena salah mengira Mawar sebagai maba yang telat. ...
Aku Ibu Bipolar
46      39     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
Bunga Hortensia
1610      68     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Let me be cruel
4781      2637     545     
Inspirational
Menjadi people pleaser itu melelahkan terutama saat kau adalah anak sulung. Terbiasa memendam, terbiasa mengalah, dan terlalu sering bilang iya meski hati sebenarnya ingin menolak. Lara Serina Pratama tahu rasanya. Dikenal sebagai anak baik, tapi tak pernah ditanya apakah ia bahagia menjalaninya. Semua sibuk menerima senyumnya, tak ada yang sadar kalau ia mulai kehilangan dirinya sendiri.
SABTU
2449      1009     10     
True Story
Anak perempuan yang tumbuh dewasa tanpa ayah dan telah melalui perjalanan hidup penuh lika - liku, depresi , putus asa. Tercatat sebagai ahli waris cucu orang kaya tetapi tidak merasakan kekayaan tersebut. Harus kerja keras sendiri untuk mewujudkan apa yang di inginkan. Menemukan jodohnya dengan cara yang bisa dibilang unik yang menjadikan dia semangat dan optimis untuk terus melanjutkan hidupn...
Atraksi Manusia
463      342     7     
Inspirational
Apakah semua orang mendapatkan peran yang mereka inginkan? atau apakah mereka hanya menjalani peran dengan hati yang hampa?. Kehidupan adalah panggung pertunjukan, tempat narasi yang sudah di tetapkan, menjalani nya suka dan duka. Tak akan ada yang tahu bagaimana cerita ini berlanjut, namun hal yang utama adalah jangan sampai berakhir. Perjalanan Anne menemukan jati diri nya dengan menghidupk...
Dimension of desire
210      178     0     
Inspirational
Bianna tidak menyangka dirinya dapat menemukan Diamonds In White Zone, sebuah tempat mistis bin ajaib yang dapat mewujudkan imajinasi siapapun yang masuk ke dalamnya. Dengan keajaiban yang dia temukan di sana, Bianna memutuskan untuk mencari jati dirinya dan mengalami kisah paling menyenangkan dalam hidupnya
God, why me?
190      155     5     
True Story
Andine seorang gadis polos yang selalu hidup dalam kerajaan kasih sayang yang berlimpah ruah. Sosoknya yang selalu penuh tawa ceria akan kebahagiaan adalah idaman banyak anak. Dimana semua andai akan mereka sematkan untuk diri mereka. Kebahagiaan yang tak bias semua anak miliki ada di andine. Sosoknya yang tak pernah kenal kesulitan dan penderitaan terlambat untuk menyadari badai itu datang. And...