Kedai kopi itu ternyata tidak jauh dari kampus. Letaknya di pinggir jalan, diterangi cahaya matahari yang makin meninggi ke puncak hari. Aroma kopi dan kayu manis memenuhi ruangan, bercampur dengan suara pelan lagu akustik yang diputar dari pengeras suara di sudut ruangan.
Vincia duduk di sudut dekat jendela. Rambutnya dibiarkan tergerai, sedikit kusut akibat angin dalam perjalanan tadi. Tangannya memutar-mutar sedotan di gelas es susu gula aren yang tinggal separuh. Sesekali matanya melirik ke arah Valdo yang asyik memainkan ponsel.
Seolah-olah sadar sedang diperhatikan, Valdo menyodorkan ponsel ke hadapan Vincia. Senyum lebar tampak betah di wajahnya.
“Apa kau sudah baca chapter terbaru yang diunggah tadi malam?” tanya Valdo, “lihat kolom komentarnya sampai ribuan.”
“Oh? Belum, sih,” sahut Vincia datar.
Glabela Valdo berkerut. Senyum perlahan sirna menyisakan ekspresi kesal. Ia meletakkan ponsel. “Kenapa cemberut? Kau masih marah? Padahal aku sudah berbaik hati mengajakmu makan di sini.”
Vincia memilih bungkam.
Sementara di sudut ruangan, Gohvin menyandarkan tubuh di dinding. Kedua tangan lelaki itu dimasukkan ke saku jaket gelapnya. Sepasang netra hitamnya mengawasi Vincia, dengan sorot seperti cermin buram yang memantulkan perasaan terdalam yang disembunyikan rapat-rapat.
“Karena omonganku tadi, ya? Aku cuma bercanda,” kilah Valdo, “jangan bersikap kekanak-kanakan begitu, dong, Vincia.”
“Itu menyebalkan, Valdo,” keluh Vincia nyaris seperti gumaman. Ia sendiri tidak tahu dari mana keberaniannya muncul.
Rahang Valdo mengetat karena tersinggung. “Apa?”
“Aku menghargai buket bunga dan ajakan makan bersama darimu, tapi itu tidak menyelesaikan masalah kita, Valdo,” tutur Vincia, “aku tetap merasa kecewa karena kau pergi tanpa kabar, membatalkan janji begitu saja, dan mengatakan gurauan tidak bermutu.”
“Astaga, Vincia,” geram Valdo seolah-olah frustrasi, “aku, kan, sudah menjelaskan alasannya. Kenapa tiba-tiba semua itu jadi masalah?”
Vincia memalingkan wajah ke jendela. Sementara jarinya memutar-mutar sedotan dengan gelisah dalam minuman.
“Apa karena itu?” duga Valdo setelah menyimpulkan sesuatu, “ini pasti berkaitan dengan hormonmu, kan? Apa sudah waktunya kau datang bulan? Tidak biasanya Vincia mengomel seperti sekarang.”
Vincia menarik napas panjang. Ia melirik sekilas pada Gohvin yang terus memperhatikannya. Lelaki itu mengangguk setuju pada kalimat yang akan diucapkan Vincia.
“Apa pun itu, perasaanku tetap valid, Valdo,” balas Vincia tetap dengan nada lembut, “aku harap lain kali kau lebih berhati-hati. Jangan terbiasa menyakiti lalu minta dimaklumi.”
“Oke, oke. Sori.” Valdo mengangkat kedua tangan sebagai tanda menyerah. “Omong-omong, bagaimana dengan tugas akhirmu? Seharusnya jadwal pameran selanjutnya, Desember ini, kan?”
Vincia mengangguk. “Tapi lukisanku belum selesai.”
“Tidak apa-apa, Vincia. Jangan buru-buru. Lagi pula sebulan ke depan sepertinya aku bakal sibuk, jadi tidak bisa datang pameran.”
Senyum sarkastis terbit di bibir Vincia. Kalau diingat-ingat lagi, Valdo tidak pernah benar-benar meluangkan waktu untuknya.
“Bagaimana kalau kita ketemu di malam tahun baru? Untuk mengganti kencan yang kemarin batal,” ujar Valdo sambil merapikan jaket denimnya.
Debas ragu lolos bersama napas Vincia yang terasa sesak. Detik berikutnya, gadis itu mengangguk ringan. Valdo langsung tersenyum senang.
“Kau memang yang paling mengerti aku, Vincia.”
Dahulu, Vincia pernah terlena dengan ucapan manis itu. Namun, sekarang hanya terdengar seperti kata-kata kosong tanpa makna.
***
Vincia terkadang curiga pada siang yang terlalu tenang. Karena di sela ketenangan, ingatan masa lalu suka muncul tanpa diundang.
Sayangnya, sering kali, bukan ingatan baik yang muncul ke permukaan.
Seperti biasa, Vincia duduk di kursi, berhadapan dengan lukisan ayahnya. Tempat di mana seharusnya Gohvin berada. Ia menggerakkan kuas halus untuk membersihkan debu dari bingkai kayu berwarna cokelat.
“Wah, rajin sekali kau membersihkan kampung halamanku,” ujar Gohvin yang muncul di ambang pintu.
“Ini lukisan ayahku. Lukisan Fandi Fikaso. Bukan kampung halamanmu,” sahut Vincia sambil merapikan posisi lukisan di dinding.
Terdiam, Gohvin memiringkan kepala. Sepasang netranya redup seolah-olah melihat lebih dalam dari sekadar cat dan kanvas.
“Bagimu, mungkin cuma lukisan. Bagiku, itu tempat di mana aku lahir. Terbentuk dari banyak emosi yang belum selesai.”
Glabela Vincia berkerut. Ia bangkit, lantas menggeser kursi. “Kenapa tiba-tiba kau melankolis begini?” tanyanya heran sambil membereskan kuas dan lap.
“Kurasa, semua orang akan begitu kalau membicarakan tempat mereka pulang.”
Telinga Vincia menegak pada pernyataan itu. “Jadi, kau akan pulang ke sini?” tanyanya menunjuk pada lukisan ayahnya.
Gohvin mengangguk.
Sepasang netra Vincia berbinar. “Kapan?”
Bibir Gohvin membentuk seringai kecil. “Kalau tugasku sudah selesai.”
“Memangnya apa tugasmu?”
Seringai Gohvin berubah menjadi senyum tipis penuh makna. Tatapannya terkunci pada sepasang netra Vincia. “Kau.”
Tatapan intens itu bagaikan mantra sihir yang membekukan Vincia selama beberapa detik. Namun, kemudian ia menyadari bahwa tidak seharusnya terpesona pada lelaki fiktif seperti Gohvin.
“Ha? Memangnya aku soal matematika?” timpal Vincia akhirnya. Ia melangkah lebar ketika melewati Gohvin yang masih bersandar di kosen pintu.
Gohvin memilih untuk tidak menanggapi. “Omong-omong, kau tidak mau membuka pemberian Tante Hilma?”
“Nanti saja,” tolak Vincia sambil mencuci tangan di wastafel.
“Memangnya kau tidak penasaran? Bagaimana kalau isinya makanan juga? Bisa-bisa basi kalau ditunda.”
“Pasti bukan,” ucap Vincia yakin, “aku bisa menebak kalau isinya adalah benda berbentuk kura-kura.”
“Benarkah?” tanya Gohvin sangsi, “aku buka, ya.”
“Buka saja,” tantang Vincia sambil duduk bersila di kursi ruang makan.
Seperti yang dikatakan Vincia, isi kotak itu adalah mug, kaus kaki, dan kotak perhiasan. Semuanya hijau dan bergambar kura-kura.
Gohvin tertawa kecil. “Apa kau sesuka itu pada kura-kura?”
Vincia mengangguk sambil membelai liontin kura-kura yang tergantung di leher. Kalung pemberian sang ayah.
“Aku tidak ingat sejak kapan aku suka,” ungkap Vincia, “aku cuma ingat kalau aku ingin seperti kura-kura.”
Gohvin menyimak dengan tenang. Meskipun sudah tahu apa yang akan diucapkan Vincia.
“Kura-kura punya tempat perlindungan instan.” Vincia menunjuk punggung. “Yang selalu ia bawa ke mana-mana.”
“Punggungnya yang keras?”
Vincia mengangguk. “Setiap kali merasakan ancaman atau bahaya, kura-kura bisa langsung menarik diri dan masuk. Dia terlindungi sampai keadaan kembali aman.”
Kenangan tentang kebersamaan Vincia dan kedua orang tuanya muncul tanpa diminta. Kala itu, ia masih berusia lima tahun. Ibunya membacakan cerita tentang kura-kura dan kelinci yang ikut lomba lari.
Vincia protes karena seharusnya kelinci yang menang karena larinya cepat. Namun, ibunya memberikan penjelasan sambil membelai kepala sang putri semata wayang.
‘Ini bukan tentang siapa yang paling cepat, tapi siapa yang terus berjalan meskipun pelan-pelan, Vincia.’
Saat itu, Vincia belum cukup memahami makna ucapan sang ibu. Ia ingin kembali protes, tetapi kantuk mengalahkan keinginannya untuk berdebat. Kini, ketika ia sudah lebih paham, wanita itu tidak berada di sini untuk mendengarkannya.
“Menangislah, Vincia,” ujar Gohvin sambil menepuk-nepuk puncak kepala gadis itu, “kau tidak harus selalu berpura-pura kuat.”
Pertahanan Vincia runtuh. Terisak, gadis itu memeluk lutut, dagu bertumpu di atasnya. Tangisan mengalir deras tanpa bendungan.
“Aku di sini, Vincia,” tutur Gohvin lembut, “aku bisa menjadi punggung keras untukmu. Bukan hanya sebagai perlindungan yang aman, tetapi juga rumah yang nyaman untukmu pulang.”
***
Perasaan Vincia bergolak dalam diam. Ia masih tidak menyangka bisa kelepasan menangis di depan Gohvin siang tadi. Perasaan malu bercampur dengan kelegaan karena akhirnya meluapkan emosi yang selama ini dipendam.
Karena itulah Vincia memilih untuk lebih banyak berada di kamar. Seolah-olah mengerti, Gohvin juga tampak tidak berani mengusiknya. Mereka tetap makan malam bersama, meski dalam keheningan.
Di kamar yang remang, Vincia duduk termenung dengan mata masih sedikit sembap. Boneka kura-kura kesayangan ada di pangkuan. Ia memegang mug baru bergambar kura-kura. Tadi Gohvin yang menyeduhkan dan mengantarkan teh itu untuknya.
Hati kecil Vincia bertanya-tanya; apakah Gohvin benar-benar memahami seberapa dalam luka yang ia simpan? Atau lelaki itu hanya menjadi bayangan yang hadir saat ia sedang lemah?
Demi meredakan gelombang emosi yang belum surut, tangan Vincia meraih ponsel dari atas nakas. Ia membuka aplikasi Komiring. Warna kuning dan ungu yang khas menyambut indra pengihatannya.
Tanpa perlu menggulir layar terlalu lama, Vincia menemukan karya Valdo dengan mudah. Paint the Rain dipajang di halaman pertama sebagai komik terfavorit. Senyum menarik naik ujung-ujung bibir Vincia, menyentuh pipinya yang masih terasa kaku.
Meski sudah hafal dan tahu bagaimana alur dalam cerita ini, Vincia tetap membaca dari halaman pertama. Panel pembuka menampilkan hujan deras yang turun di kota saat malam hari. Kemudian, jalanan beraspal tampak mengilap karena sinar lampu. Ada empat sosok membentuk siluet samar di atap gedung.
<Saat kota diguyur hujan, sebuah rencana besar sedang berjalan.>
Vincia masih ingat ketika membantu Valdo mencari referensi foto suasana kota di malam hari. Gadis itu juga yang memberi ide kalimat untuk panel pertama. Rasa bangga memenuhi hatinya ketika Valdo menyetujui dan menerima kalimat karangan Vincia.
Panel-panel selanjutnya menampilkan interaksi antara tokoh utama dalam cerita. Vincia mengenal mereka berempat lebih daripada mengenal manusia di dunia nyata.
Terutama Raint—sang penggagas rencana besar yang digambarkan setampan aktor drama, ahli bela diri, dan punya kepemimpinan yang baik. Begitulah cara Valdo memandang dirinya sendiri. Ada juga seorang tokoh misterius bernama Vinz yang digambarkan sangat genius. Wajahnya belum pernah diperlihatkan. Ia selalu tampil dalam tudung hoodie hijau gelap.
Pipi Vincia menghangat ketika teringat ucapan Valdo mengenai tokoh ini.
‘Aku menggambar Vinz karena terinspirasi darimu, Vincia.’
Ungkapan cinta mereka yang sederhana.
Sebelum meletakkan ponsel, Vincia menyempatkan untuk mengirim pesan untuk Valdo. Kebiasaan yang akhir-akhir ini ia tinggalkan.
<Selamat tidur, Raint. Aku merindukanmu. Penuh cinta; Vinz.>
Detik berikutnya, Vincia sudah terlelap dengan senyum di wajah.
Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? ๐ฎ
Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama