Loading...
Logo TinLit
Read Story - Paint of Pain
MENU
About Us  

Vincia kira, ia akan menolak apa pun ajakan Gohvin. Namun, pada akhirnya gadis itu mendapati dirinya sendiri sedang berjalan santai di samping si penghuni sementara. 

Ini jelas bukan kali pertama Vincia berada di luar rumah saat malam hari. Namun, kali ini semua tampak berbeda. Seolah-olah ia sedang berkunjung ke tempat baru. 

Sehari-hari, Vincia melewati deretan gedung dan pepohonan dalam keadaan lelah. Entah sepulang dari kampus atau bekerja sambilan. Pikirannya hanya dipenuhi satu tujuan: secepat mungkin bisa sampai di rumah. 

Akan tetapi, malam ini, udara yang sedikit dingin terasa menyegarkan, membelai kulit dengan lembut. Vincia tidak terburu-buru. Langkah kakinya ringan, seolah-olah waktu bergerak lebih pelan, memberinya kesempatan untuk menikmati setiap detail di sekitar. Begitu juga dengan Gohvin yang berjalan dalam diam di sisinya. 

‎Lampu jalan yang memancarkan cahaya kuning keemasan, menyinari trotoar yang mereka pijak. Ketika melirik ke atas, Vincial melihat langit begitu gelap, hampir tanpa bintang. Bulan menggantung tinggi dengan cahaya lembut yang cantik. 

“Mau es potong?” Gohvin memecah keheningan di antara mereka. 

“Boleh.”

“Mau rasa apa?” tanya Gohvin sambil mengarahkan langkah mereka menuju toko kecil di ujung tikungan. 

Vincia ingat, saat masih kecil, ia sering membeli es potong di sini.  Tentu saja tidak sendirian. Gadis itu berjalan-jalan sambil digandeng ayah dan ibunya. Kisah yang tersimpan sejak sepuluh tahun lalu. Bahkan Vincia hampir lupa tentang keberadaan toko itu. 

“Aku mau …  rasa kacang hijau,” jawab Vincia. 

Mendengar itu, Gohvin masuk ke toko dan keluar dengan dua buah es potong. Ia memberikan rasa kacang hijau untuk Vincia dan rasa ketan hitam untuk dirinya sendiri. 

Mereka melangkah perlahan di sepanjang trotoar yang sudah dikenal Vincia. Ada ketenangan yang sulit dijelaskan. Bahkan suara kendaraan yang melintas di kejauhan terdengar seperti irama harmonis, bukan gangguan.

Pohon-pohon tepi jalan yang biasanya Vincia abaikan, kini tampak menarik. Daun-daunnya bergerak perlahan, seolah-olah menari bersama angin malam. Beberapa dedaunan kering jatuh ke trotoar, mengingatkannya pada musim yang terus berubah. ‎

‎Langkah Vincia makin lambat, mengikuti Gohvin memasuki area taman. Semua hal yang semula ia anggap biasa kini terasa istimewa. Mungkin karena malam ini, hatinya terlalu kosong akibat janji yang diingkari. 

“Apa kau ingat? Waktu itu kita ketemu di sini,” ujar Gohvin saat mereka duduk berdampingan di bangku panjang dengan sandaran. 

Vincia memandang sekitar. Ia ingat Kamis lalu makan sendirian di sini setelah mendapati Valdo tidak ada di kos-kosan. Gadis itu mengembuskan napas berat. 

Lagi-lagi gara-gara Valdo. 

“Ya,” sahut Vincia lantas menggigit es potong, “tapi aku tidak ingat bagaimana bisa pulang.”

“Kau pingsan dan aku menggendongmu pulang,” balas Gohvin santai.

Ah, omong kosong itu lagi. Namun, energi Vincia tidak lagi cukup untuk saling berbantah. 

Gohvin menoleh ke arah Vincia, tetapi tidak langsung mengatakan apa-apa. Ia mengamati ekspresi gadis itu sambil menikmati es potong ketan hitam. 

“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Gohvin akhirnya. 

Debas. Vincia memandangi lampu taman yang berkedip singkat. “Jelas, aku merasa kesal dan marah.”

“Kenapa tidak bilang pada pacarmu?”

Vincia menggeleng. Gagang kayu es potong mendadak seberat besi. “Aku tidak mau marah-marah. Aku takut bakal kehilangan orang-orang.”

“Justru karena kau tidak pernah marah, orang-orang pikir mereka bisa pergi sesuka hati. Kau tidak harus berteriak di depan mereka. Cukup berhentilah berpura-pura tidak apa-apa.”

Vincia terdiam. Es potongnya mulai meleleh ke tangan. “Lalu aku harus apa?”

“Tulis. Lukis. Lempar bantal. Jalan di bawah hujan. Apa pun.” Gohvin menunjuk ke udara dengan gagang es potong yang sudah habis. “Atau teriak saja di sini. Tanpa sensor. Tanpa alasan. Biarkan perasaan itu keluar dulu. Baru nanti kautentukan apa yang mau kaulakukan.”

Sambil menoleh ke sekeliling, Vincia menggigit sisa es potongnya di ujung.

“Tidak ada siapa-siapa. Hanya kita berdua,” ujar Gohvin seolah-olah memahami kekhawatiran Vincia. 

Sambil menghirup oksigen banyak-banyak, Vincia bangkit. Rumput terasa menggelitik dan tanah lembut di bawah telapak kakinya.

“Menyebalkan! Seenaknya saja membatalkan janji! Padahal aku sudah semangat sendiri untuk malam ini!”

Napas Vincia terengah-engah usai berteriak. Sementara Gohvin bertepuk tangan bangga. 

“Aduh, bagaimana kalau ada yang dengar? Aku malu,” bisik Vincia dengan kedua pipi semerah tomat. Ia baru menyadari risiko dari tindakan impulsifnya. 

“Orang-orang sudah cukup sibuk memikirkan diri sendiri daripada memedulikan seorang gadis berteriak di taman. Pedulikan saja dirimu sendiri, Vincia.”

***

Ketika mereka akhirnya tiba kembali di rumah, perasaan Vincia jauh lebih lega. Senyum begitu ringan melengkung di bibirnya. Liptint mungkin sudah memudar dari sana, tetapi hatinya terasa penuh. 

Sulit diakui, tetapi itu semua berkat Gohvin. 

“Terima kasih, ya,” bisik Vincia sebisa mungkin tidak terlalu banyak menggerakkan bibir. 

“Apa?” tanya Gohvin dengan seringai usil, “tolong ucapkan lagi. Tadi tidak kedengaran.”

Kesal, Vincia mendengkus. Ia tahu Gohvin sedang mengusik batas kesabaran. “Terima kasih,” ujarnya cepat dan ketus. 

“Kenapa, sih, kau mudah sekali marah-marah kalau bersamaku?”

“Karena kau menyebalkan,” jawab Vincia dengan glabela berkerut. 

“Bukan,” sanggah Gohvin, “melainkan karena cuma ketika bersamaku, kau bisa jujur soal perasaaan marahmu. Sementara di depan orang lain kau sibuk jadi versi manis yang tidak pernah mengeluh.”

“Mengocehlah sesuka hati, Gohvin,” sahut Vincia lantas berbalik menjauh, “aku mau mandi.”

Dalam hati, Vincia mengiakan ucapan Gohvin. Kehadiran lelaki itu seperti ruang aman untuk segala curahan perasaannya. Mungkin alasan utama karena Gohvin adalah sosok tidak kasatmata. Jadi, ia tidak perlu takut ada rahasia yang dibongkar pada orang lain. 

***

 

Dengan rambut yang mulai mengering Vincia keluar dari kamar. Aroma lezat langsung mengundangnya menuju ruang makan. 

“Masak apa?” tanya Vincia sambil menarik dan duduk di kursi. Ia mulai terbiasa melihat sosok jangkung itu mengenakan apron hijau bergambar kura-kura miliknya. 

“Cuma masak nasi, kok. Lauknya bulgogi dan gioza yang tadi dibawakan Tante Hilma,” jelas Gohvin sambil melepas dan melipat apron, “ayo, makan.”

Vincia mengangguk lalu mengambil sendok dan berdoa sebelum menyuap nasi. Mereka makan dalam diam, saling berhadapan. Hanya terdengar denting sendok dan garpu menyentuh mangkuk porselen.

Usai makan, Vincia berinisiatif untuk mencuci piring sementara Gohvin merapikan meja. Ketika berbalik hendak mengangkat jemuran, pandangannya menangkap buket pemberian Valdo tempo hari. 12 tangkai mawar dikelilingi aster putih itu diletakkan pada vas di atas bufet dekat ruang lukis sang ayah. 

Ekspresi Vincia kembali berkerut kesal. “Duh, kenapa, sih, dia harus memberi bunga? Tidak bisa disimpan. Tidak bisa dimakan,” gerutunya sambil memperhatikan beberapa tepian kelopak mawar yang mulai menghitam. 

“Kata siapa?” ujar Gohvin yang muncul di sebelahnya dengan tiba-tiba. Lelaki itu meletakkan kembali kotak kardus pemberian Tante Hilma ke atas meja, yang semula mau ia lihat isinya bersama Vincia. 

Glabela Vincia berkerut. “Maksudnya? Memangnya mawar bisa dimakan?”

Gohvin hanya menanggapi dengan seringai angkuh yang tampak menyebalkan bagi Vincia. Ia mengambil buket dari dalam vas dan membawanya ke dapur. 

“Jangan mengusiliku, Gohvin,” sungut Vincia. Meski demikian, ia tetap  mengikuti dan memperhatikan apa yang dilakukan lelaki itu. 

Seolah-olah jarinya sudah terbiasa, Gohvin melepaskan kelopak mawar dari tangkai. Vincia ikut melakukan hal yang sama. Kemudian lelaki itu memisahkan antara kelopak yang masih segar dan membuang bagian yang sudah layu.

Vincia memperhatikan semua langkah yang dilakukan Gohvin. Sesekali ia ikut kalau diminta, seperti ketika mencuci kelopak-kelopak mawar. Setelah penirisan, lelaki itu meletakkan panci ke atas kompor dan mengisinya dengan sebagian mawar, kemudian menempatkan mangkuk kaca di tengah-tengah. 

“Tutupnya terbalik, Gohvin,” tegur Vincia sambil mendengkuskan tawa, “ternyata kau bisa juga melakukan hal konyol.”

“Memang seperti itu caranya,” ujar Gohvin santai sambil menyalakan api kecil. Sama sekali tidak terdengar tersinggung atau meremehkan Vincia, “supaya embun yang muncul di dalam panci lebih mudah terkumpul ke dalam mangkuk.”

Rahang Vincia terbuka lebar, sementara pipinya terasa hangat. Setelah itu, ia memilih bungkam saja dan memperhatikan saat Gohvin meletakkan es batu di atas tutup yang terbalik, lalu memasak sisa kelopak mawar dengan gula, air, dan air perasan lemon. 

Hingga akhirnya, cairan bening dalam botol kaca dan sesuatu yang merah dan kental dalam stoples kaca terhidang di atas meja makan. Vincia memandang takjub. Buket yang tadi membuatnya sebal, sekarang menjadi sesuatu yang baru dan tampak lebih berwarna. 

“Air mawar bagus untuk mengompres jerawatmu,” tutur Gohvin sambil menunjuk botol lalu telunjuknya berpindah pada stoples, “dan selai untuk sarapanmu besok. Tadi Tante Hilma juga membawakan roti tawar.”

Vincia mengangguk bagai terhipnotis. Untuk kali pertama, ia merasa ada kekuatan baru yang tumbuh di dalam dirinya. Cukup banyak untuk menghadapi apa pun yang menanti esok hari. Namun, di sudut pikiran, ia tahu bahwa perjalanannya belum selesai.

🎨🎨🎨

Makashi♡ Luvnaer🌙 sudah membaca Paint of Pain. Like dan komentar dari kalian sangat berarti~ bisa juga klik emotikon di bawah ini untuk kesan tentang chapter 6. Sampai jumpa di chapter selanjutnya~ ⸜(。˃ ᵕ ˂ )⸝♡

How do you feel about this chapter?

0 0 2 0 0 0
Submit A Comment
Comments (10)
  • juliartidewi

    Kalau minat baca penduduk Indonesia sudah tinggi, semua penulis pasti diapresiasi sehingga tidak ada lagi persaingan yang sangat ketat seperti sekarang. Setiap penulis akan memiliki karya2nya sendiri yang sudah diterbitkan karena setiap penulis akan memiliki penggemar2nya sendiri. Semoga karya Kakak sukses!

    Comment on chapter Epilog
  • deana_asta

    Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? 😮

    Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama
  • deana_asta

    Ditunggu kelanjutannya Kak 🤩

    Comment on chapter [14] Ingat Waktu Itu
  • deana_asta

    Baca chapter ini, sedih bgt 😭

    Comment on chapter [11] Nyaris Tanpa Suara
  • deana_asta

    Tiba2 ada 3 novel yang sangat familier 🤩

    Comment on chapter [10] Ia Meneguk Napas
  • deana_asta

    Gohvin sweet bgt sihhh 😍

    Comment on chapter [6] Orang-orang Sudah Sibuk
  • deana_asta

    Kok sedih sih Vincia, lagian Valdo gimana sih 😭

    Comment on chapter [5] Tidak Jadi Pergi
  • deana_asta

    Wahhhhhh gak nyangkaaa ternyata Gohvin lelaki itu 🤩

    Comment on chapter [4] Niat untuk Bertemu
  • deana_asta

    Siapa Gohvin ini sebenarnya 🤔

    Comment on chapter [3] Ini Juga Rumahku
  • deana_asta

    Vincia yang tenang yaaaa 😂

    Comment on chapter [2] Aroma Gurih Kaldu
Similar Tags
Mimpi & Co.
3049      1614     4     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?
Menanti Kepulangan
111      104     1     
Fantasy
Mori selalu bertanya-tanya, kapan tiba giliran ia pulang ke bulan. Ibu dan ayahnya sudah lebih dulu pulang. Sang Nenek bilang, suatu hari ia dan Nenek pasti akan kembali ke bulan. Mereka semua akan berkumpul dan berbahagia bersama di sana. Namun, suatu hari, Mori tanpa sengaja bertemu peri kunang-kunang di sebuah taman kota. Sang peri pun memberitahu Mori cara menuju bulan dengan mudah. Tentu ada...
Cinderella And The Bad Prince
3566      2029     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
The Best Gift
67      64     1     
Inspirational
Tidak ada cinta, tidak ada keluarga yang selalu ada, tidak ada pekerjaan yang pasti, dan juga teman dekat. Nada Naira, gadis 20 tahun yang merasa tidak pernah beruntung dalam hal apapun. Hidupnya hanya dipenuhi dengan tokoh-tokoh fiksi dalam  novel-novel dan drama  kesukaannya. Tak seperti manusia yang lain, hidup Ara sangat monoton seakan tak punya mimpi dan ambisi. Hingga pertemuan dengan ...
Me vs Skripsi
3797      1574     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
No Life, No Love
2944      1773     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
Diary of Rana
425      359     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
Bisikan yang Hilang
119      108     3     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
My Private Driver Is My Ex
1046      703     10     
Romance
Neyra Amelia Dirgantara adalah seorang gadis cantik dengan mata Belo dan rambut pendek sebahu, serta paras cantiknya bak boneka jepang. Neyra adalah siswi pintar di kelas 12 IPA 1 dengan julukan si wanita bermulut pedas. Wanita yang seperti singa betina itu dulunya adalah mantan Bagas yaitu ketua geng motor God riders, berandal-berandal yang paling sadis pada geng lawannya. Setelahnya neyra di...
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
833      654     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...