Vincia kira, ia akan menolak apa pun ajakan Gohvin. Namun, pada akhirnya gadis itu mendapati dirinya sendiri sedang berjalan santai di samping si penghuni sementara.
Ini jelas bukan kali pertama Vincia berada di luar rumah saat malam hari. Namun, kali ini semua tampak berbeda. Seolah-olah ia sedang berkunjung ke tempat baru.
Sehari-hari, Vincia melewati deretan gedung dan pepohonan dalam keadaan lelah. Entah sepulang dari kampus atau bekerja sambilan. Pikirannya hanya dipenuhi satu tujuan: secepat mungkin bisa sampai di rumah.
Akan tetapi, malam ini, udara yang sedikit dingin terasa menyegarkan, membelai kulit dengan lembut. Vincia tidak terburu-buru. Langkah kakinya ringan, seolah-olah waktu bergerak lebih pelan, memberinya kesempatan untuk menikmati setiap detail di sekitar. Begitu juga dengan Gohvin yang berjalan dalam diam di sisinya.
Lampu jalan yang memancarkan cahaya kuning keemasan, menyinari trotoar yang mereka pijak. Ketika melirik ke atas, Vincial melihat langit begitu gelap, hampir tanpa bintang. Bulan menggantung tinggi dengan cahaya lembut yang cantik.
“Mau es potong?” Gohvin memecah keheningan di antara mereka.
“Boleh.”
“Mau rasa apa?” tanya Gohvin sambil mengarahkan langkah mereka menuju toko kecil di ujung tikungan.
Vincia ingat, saat masih kecil, ia sering membeli es potong di sini. Tentu saja tidak sendirian. Gadis itu berjalan-jalan sambil digandeng ayah dan ibunya. Kisah yang tersimpan sejak sepuluh tahun lalu. Bahkan Vincia hampir lupa tentang keberadaan toko itu.
“Aku mau … rasa kacang hijau,” jawab Vincia.
Mendengar itu, Gohvin masuk ke toko dan keluar dengan dua buah es potong. Ia memberikan rasa kacang hijau untuk Vincia dan rasa ketan hitam untuk dirinya sendiri.
Mereka melangkah perlahan di sepanjang trotoar yang sudah dikenal Vincia. Ada ketenangan yang sulit dijelaskan. Bahkan suara kendaraan yang melintas di kejauhan terdengar seperti irama harmonis, bukan gangguan.
Pohon-pohon tepi jalan yang biasanya Vincia abaikan, kini tampak menarik. Daun-daunnya bergerak perlahan, seolah-olah menari bersama angin malam. Beberapa dedaunan kering jatuh ke trotoar, mengingatkannya pada musim yang terus berubah.
Langkah Vincia makin lambat, mengikuti Gohvin memasuki area taman. Semua hal yang semula ia anggap biasa kini terasa istimewa. Mungkin karena malam ini, hatinya terlalu kosong akibat janji yang diingkari.
“Apa kau ingat? Waktu itu kita ketemu di sini,” ujar Gohvin saat mereka duduk berdampingan di bangku panjang dengan sandaran.
Vincia memandang sekitar. Ia ingat Kamis lalu makan sendirian di sini setelah mendapati Valdo tidak ada di kos-kosan. Gadis itu mengembuskan napas berat.
Lagi-lagi gara-gara Valdo.
“Ya,” sahut Vincia lantas menggigit es potong, “tapi aku tidak ingat bagaimana bisa pulang.”
“Kau pingsan dan aku menggendongmu pulang,” balas Gohvin santai.
Ah, omong kosong itu lagi. Namun, energi Vincia tidak lagi cukup untuk saling berbantah.
Gohvin menoleh ke arah Vincia, tetapi tidak langsung mengatakan apa-apa. Ia mengamati ekspresi gadis itu sambil menikmati es potong ketan hitam.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Gohvin akhirnya.
Debas. Vincia memandangi lampu taman yang berkedip singkat. “Jelas, aku merasa kesal dan marah.”
“Kenapa tidak bilang pada pacarmu?”
Vincia menggeleng. Gagang kayu es potong mendadak seberat besi. “Aku tidak mau marah-marah. Aku takut bakal kehilangan orang-orang.”
“Justru karena kau tidak pernah marah, orang-orang pikir mereka bisa pergi sesuka hati. Kau tidak harus berteriak di depan mereka. Cukup berhentilah berpura-pura tidak apa-apa.”
Vincia terdiam. Es potongnya mulai meleleh ke tangan. “Lalu aku harus apa?”
“Tulis. Lukis. Lempar bantal. Jalan di bawah hujan. Apa pun.” Gohvin menunjuk ke udara dengan gagang es potong yang sudah habis. “Atau teriak saja di sini. Tanpa sensor. Tanpa alasan. Biarkan perasaan itu keluar dulu. Baru nanti kautentukan apa yang mau kaulakukan.”
Sambil menoleh ke sekeliling, Vincia menggigit sisa es potongnya di ujung.
“Tidak ada siapa-siapa. Hanya kita berdua,” ujar Gohvin seolah-olah memahami kekhawatiran Vincia.
Sambil menghirup oksigen banyak-banyak, Vincia bangkit. Rumput terasa menggelitik dan tanah lembut di bawah telapak kakinya.
“Menyebalkan! Seenaknya saja membatalkan janji! Padahal aku sudah semangat sendiri untuk malam ini!”
Napas Vincia terengah-engah usai berteriak. Sementara Gohvin bertepuk tangan bangga.
“Aduh, bagaimana kalau ada yang dengar? Aku malu,” bisik Vincia dengan kedua pipi semerah tomat. Ia baru menyadari risiko dari tindakan impulsifnya.
“Orang-orang sudah cukup sibuk memikirkan diri sendiri daripada memedulikan seorang gadis berteriak di taman. Pedulikan saja dirimu sendiri, Vincia.”
***
Ketika mereka akhirnya tiba kembali di rumah, perasaan Vincia jauh lebih lega. Senyum begitu ringan melengkung di bibirnya. Liptint mungkin sudah memudar dari sana, tetapi hatinya terasa penuh.
Sulit diakui, tetapi itu semua berkat Gohvin.
“Terima kasih, ya,” bisik Vincia sebisa mungkin tidak terlalu banyak menggerakkan bibir.
“Apa?” tanya Gohvin dengan seringai usil, “tolong ucapkan lagi. Tadi tidak kedengaran.”
Kesal, Vincia mendengkus. Ia tahu Gohvin sedang mengusik batas kesabaran. “Terima kasih,” ujarnya cepat dan ketus.
“Kenapa, sih, kau mudah sekali marah-marah kalau bersamaku?”
“Karena kau menyebalkan,” jawab Vincia dengan glabela berkerut.
“Bukan,” sanggah Gohvin, “melainkan karena cuma ketika bersamaku, kau bisa jujur soal perasaaan marahmu. Sementara di depan orang lain kau sibuk jadi versi manis yang tidak pernah mengeluh.”
“Mengocehlah sesuka hati, Gohvin,” sahut Vincia lantas berbalik menjauh, “aku mau mandi.”
Dalam hati, Vincia mengiakan ucapan Gohvin. Kehadiran lelaki itu seperti ruang aman untuk segala curahan perasaannya. Mungkin alasan utama karena Gohvin adalah sosok tidak kasatmata. Jadi, ia tidak perlu takut ada rahasia yang dibongkar pada orang lain.
***
Dengan rambut yang mulai mengering Vincia keluar dari kamar. Aroma lezat langsung mengundangnya menuju ruang makan.
“Masak apa?” tanya Vincia sambil menarik dan duduk di kursi. Ia mulai terbiasa melihat sosok jangkung itu mengenakan apron hijau bergambar kura-kura miliknya.
“Cuma masak nasi, kok. Lauknya bulgogi dan gioza yang tadi dibawakan Tante Hilma,” jelas Gohvin sambil melepas dan melipat apron, “ayo, makan.”
Vincia mengangguk lalu mengambil sendok dan berdoa sebelum menyuap nasi. Mereka makan dalam diam, saling berhadapan. Hanya terdengar denting sendok dan garpu menyentuh mangkuk porselen.
Usai makan, Vincia berinisiatif untuk mencuci piring sementara Gohvin merapikan meja. Ketika berbalik hendak mengangkat jemuran, pandangannya menangkap buket pemberian Valdo tempo hari. 12 tangkai mawar dikelilingi aster putih itu diletakkan pada vas di atas bufet dekat ruang lukis sang ayah.
Ekspresi Vincia kembali berkerut kesal. “Duh, kenapa, sih, dia harus memberi bunga? Tidak bisa disimpan. Tidak bisa dimakan,” gerutunya sambil memperhatikan beberapa tepian kelopak mawar yang mulai menghitam.
“Kata siapa?” ujar Gohvin yang muncul di sebelahnya dengan tiba-tiba. Lelaki itu meletakkan kembali kotak kardus pemberian Tante Hilma ke atas meja, yang semula mau ia lihat isinya bersama Vincia.
Glabela Vincia berkerut. “Maksudnya? Memangnya mawar bisa dimakan?”
Gohvin hanya menanggapi dengan seringai angkuh yang tampak menyebalkan bagi Vincia. Ia mengambil buket dari dalam vas dan membawanya ke dapur.
“Jangan mengusiliku, Gohvin,” sungut Vincia. Meski demikian, ia tetap mengikuti dan memperhatikan apa yang dilakukan lelaki itu.
Seolah-olah jarinya sudah terbiasa, Gohvin melepaskan kelopak mawar dari tangkai. Vincia ikut melakukan hal yang sama. Kemudian lelaki itu memisahkan antara kelopak yang masih segar dan membuang bagian yang sudah layu.
Vincia memperhatikan semua langkah yang dilakukan Gohvin. Sesekali ia ikut kalau diminta, seperti ketika mencuci kelopak-kelopak mawar. Setelah penirisan, lelaki itu meletakkan panci ke atas kompor dan mengisinya dengan sebagian mawar, kemudian menempatkan mangkuk kaca di tengah-tengah.
“Tutupnya terbalik, Gohvin,” tegur Vincia sambil mendengkuskan tawa, “ternyata kau bisa juga melakukan hal konyol.”
“Memang seperti itu caranya,” ujar Gohvin santai sambil menyalakan api kecil. Sama sekali tidak terdengar tersinggung atau meremehkan Vincia, “supaya embun yang muncul di dalam panci lebih mudah terkumpul ke dalam mangkuk.”
Rahang Vincia terbuka lebar, sementara pipinya terasa hangat. Setelah itu, ia memilih bungkam saja dan memperhatikan saat Gohvin meletakkan es batu di atas tutup yang terbalik, lalu memasak sisa kelopak mawar dengan gula, air, dan air perasan lemon.
Hingga akhirnya, cairan bening dalam botol kaca dan sesuatu yang merah dan kental dalam stoples kaca terhidang di atas meja makan. Vincia memandang takjub. Buket yang tadi membuatnya sebal, sekarang menjadi sesuatu yang baru dan tampak lebih berwarna.
“Air mawar bagus untuk mengompres jerawatmu,” tutur Gohvin sambil menunjuk botol lalu telunjuknya berpindah pada stoples, “dan selai untuk sarapanmu besok. Tadi Tante Hilma juga membawakan roti tawar.”
Vincia mengangguk bagai terhipnotis. Untuk kali pertama, ia merasa ada kekuatan baru yang tumbuh di dalam dirinya. Cukup banyak untuk menghadapi apa pun yang menanti esok hari. Namun, di sudut pikiran, ia tahu bahwa perjalanannya belum selesai.
🎨🎨🎨
Makashi♡ Luvnaer🌙 sudah membaca Paint of Pain. Like dan komentar dari kalian sangat berarti~ bisa juga klik emotikon di bawah ini untuk kesan tentang chapter 6. Sampai jumpa di chapter selanjutnya~ ⸜(。˃ ᵕ ˂ )⸝♡
Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? 😮
Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama