Pagi ini, Vincia terbangun dengan perasaan tenang yang sulit dijelaskan. Seolah-olah tahu bakal menerima kabar baik. Padahal jerawat di pipinya belum hilang, tetapi senyum gadis itu sangat lebar. Bahkan ia masih sempat berlama-lama memeluk boneka kura-kura kesayangan. Tidak terburu-buru seperti hari-hari sebelumnya.
Senyum Vincia bertahan sampai di ruang makan. Dengan nada ceria, ia mengucapkan “selamat pagi” pada Gohvin. Lelaki itu sedang mengoleskan selai mawar pada roti.
Setelah meneguk segelas air, Vincia duduk dan menyantap roti yang disiapkan Gohvin.
“Kau terlihat senang,” komentar Gohvin. Senyum ikut menari-nari di bibir lelaki itu, “ada hal baik yang terjadi? Mungkin ada orang baru yang berlangganan koran?”
“Tidak juga. Aku hanya senang saja. Tolong jangan merusaknya,” sahut Vincia berusaha terdengar galak. Namun, ia malah takjub merasakan selai mawar buatan Gohvin, “omong-omong, ini enak.”
“Seharusnya, itu bisa menjaga suasana hatimu tetap senang seharian,” harap Gohvin.
Muncul kerutan di glabela Vincia. “Memang kenapa?”
“Biasanya, kalau muncul jerawat di wajah seorang perempuan, berarti tamu bulanannya mau datang.”
“Ah, benar juga,” ucap Vincia lantas bangkit ke kamar. Ia kembali ke ruang makan setelah menyimpan pembalut dalam dompet kecil bergambar kura-kura ke tas selempangnya. “Terima kasih sudah diingatkan, Gohvin.”
“Terima kasih juga sudah bersikap manis padaku,” seloroh Gohvin membuat Vincia mencebik dengan gaya jenaka. Namun, senyum tidak melayang pergi dari wajahnya.
“Ya sudah, aku berangkat dulu,” ujar Vincia setelah menyesap teh hangatnya. Ia berdiri dari kursi makan sambil merapikan kardigan dadu di atas kaus hijaunya. Entah bisikan dari mana, tetapi gadis itu bertekad tidak ingin tampil asal-asalan lagi.
“Omong-omong, kau belum membuka pemberian Tante Hilma,” ujar Gohvin yang menepuk pelan kotak kardus di meja samping bufet.
“Eh? Kukira isinya cuma lauk,” kata Vincia, “nanti saja kita buka saat aku pulang dari kampus, ya.”
“Setelah mengantarkan koran, kau langsung ke kampus?” tanya Gohvin kemudian menyesap tehnya.
Vincia mengangguk. “Ingat, tenang saja tunggu di rumah. Jangan lagi muncul tiba-tiba dan mengejutkanku.”
Gohvin hanya mengacungkan ibu jarinya.
“Aku berangkat,” ujar Vincia lantas setengah berlari keluar rumah. Angin pagi menyambut dengan lembut. Semangat menjalar cepat dalam setiap sel tubuhnya.
Langit masih berwarna biru gelap dengan semburat dadu yang cantik. Matahari baru mengintip sedikit di ufuk timur. Sedangkan Vincia sudah tiba di agen surat kabar dan bersiap mengantarkan koran dalam keranjang sepeda yang tersedia.
Seperti biasa, Vincia melirik sedikit pada berita utama hari ini. Tanpa ternyana, kelopak matanya melebar ketika melihat foto Valdo di sudut kiri bawah.
Senyum Vincia makin melengkung naik ketika membaca isi rubrik Pojok Sosok. Di sana tertulis profil singkat tentang komikus tampan dan karyanya berjudul Paint the Rain. Bahkan penulis artikel menyebut Valdo sebagai sosok yang keluar dari dalam komik. Meski sempat sebal karena janji yang batal, ternyata ia bisa tetap ikut merasa senang dengan pencapaian pacarnya.
Obrolan bisa terputus, tetapi hati Vincia yang tulus tetap punya ruang untuk perasaanya pada Valdo.
***
Banyak keajaiban terjadi hari ini.
Vincia merasa senang sekaligus terheran-heran. Sekuriti kampus tiba-tiba menyapa ramah dengan ucapan selamat pagi. Teman-teman seangkatan yang berpapasan dengannya juga tersenyum, melambaikan tangan, dan menyebut namanya.
Mendadak, langkah-langkah Vincia terasa lebih ringan sampai ke atelir lukis. Senyum makin lebar di bibirnya. Sementara ia berusaha mengabaikan bisikan yang seperti setetes firasat buruk.
Vincia menyapa singkat dua orang teman seangkatannya yang tampak sedang melanjutkan lukisan di kubikel masing-masing. Seorang memilih di bagian sudut, sementara yang lain berada di paling ujung.
Ketika Vincia menyapa, mereka semua membalas dengan ramah. Kemudian gadis itu mengenakan apron, menyiapkan kuas, palet, dan cat, lalu mengeluarkan lukisan dari dalam loker.
Meski ada 3 orang dalam ruangan, tetapi suasana tetap hening. Semua fokus pada lukisan di hadapan masing-masing.
Kuas di tangan Vincia terasa begitu ringan ketika menambahkan gambar bunga aster berwarna dadu dan jingga di sisi danau. Padahal selama ini, ia lebih suka melukis ilalang dan bunga randa tapak putih. Gadis itu juga menambahkan goresan berwarna lila pada tepian lukisan awan.
“Sama sekali bukan gayamu.”
Vincia terperanjat. Beruntung ia bisa menahan teriakan. Matanya melirik tajam pada Gohvin yang berdiri menjulang di belakangnya.
“Kau baik-baik saja, Vincia?” tanya salah seorang temannya. Sementara yang lain hanya menatap dengan khawatir.
“T-tidak apa-apa,” sahut Vincia cepat meski geragapan, “aku cuma k-kaget karena ada cat tumpah ke jariku.”
Vincia mengembuskan napas lega ketika teman-temannya tampak menerima alasan asal itu.
“Sejak kapan kau jadi belajar berbohong?” sindir Gohvin sambil bersandar ke jendela.
Selesai menghitung sampai sepuluh, Vincia memutuskan untuk membereskan lukisannya. Ia merasa tidak nyaman melanjutkan ini, sementara Gohvin mengawasi di belakang.
Setelah membereskan peralatan dan memastikan cat sudah kering, Vincia menyimpan lukisan ke dalam loker. Ia berpamitan pada dua orang temannya lalu bergegas keluar atelir. Tanpa menoleh, gadis itu bisa merasakan Gohvin berjalan mengikutinya.
Tungkai Vincia berayun lebih cepat, berusaha memberi sinyal agar Gohvin menjauh. Gadis itu tidak menyadari bahwa seseorang datang dari sisi lainnya. Hampir saja mereka bertabrakan kalau Gohvin tidak menahan kedua bahunya dari belakang.
Bagian belakang kepala Vincia menempel pada dada Gohvin Ia melirik naik pada sosok dari lukisan ayahnya. Dari sini, terlihat jelas garis rahang dan dagu yang tegas milik lelaki itu.
“Vincia!”
Panggilan itu menarik Vincia keluar dari kekaguman pada Gohvin. Begitu menegakkan tubuh, ia langsung mendapati Frita berdiri di hadapannya sambil membawa sebuket mawar.
“Sudah kuduga, kau pasti ada di kampus,” kata Frita sambil merangkul lengan Vincia dengan tangan yang tidak memegang buket. Nada bicara gadis itu terdengar ceria. Bahkan ada rona alami di kedua pipinya.
Sepertinya, ada banyak kebahagiaan hari ini. Sekalipun ini adalah Senin yang dikenal sebagai hari paling dibenci banyak orang.
“Ada apa?” tanta Vincia berusaha terdengar antusias juga.
“Terima kasih, ya. Berkat saranmu, lukisanku di-acc dosen pembimbing,” ungkap Frita tulus, “aku jadi bisa ikut pameran bulan depan dan jadwal wisuda Januari.”
Vincia merasa dadanya menghangat. Perasaan bangga juga menjalar di hatinya. Padahal ia hanya memberi saran dan Frita yang memperbaiki sendiri karyanya.
“Jawab saja, ‘sama-sama. Aku senang bisa membantu, kau juga pasti sudah berjuang keras, Frita. Selamat, ya’,” saran Gohvin.
Akan tetapi, kalimat yang terucap dari bibir Vincia malah, “ah, itu bukan apa-apa. Kau juga pasti bisa meski tanpa bantuanku.”
“Kau selalu rendah hati, ya, Vincia. Kalau butuh bantuan apa pun, bilang saja. Aku akan bantu sebisaku,” pinta Frita, “omong-omong, apa kau pakai liptint hari ini?”
“Ah, iya,” ujar Vincia spontan mengatupkan bibir, “tidak cocok, ya?”
“Cocok banget, kok. Kau pandai memilih warna yang sesuai dengan tone kulitmu,” sahut Vincia ikut senang, “pilihan outfit-mu hari ini juga bagus.”
“Eh, terima kasih,” sahut Vincia canggung.
“Ya, sudah, aku ke ruang dosen dulu, ya,” pamit Frita lantas melepaskan genggamannya dari lengan Vincia.
Setelah Frita pergi, Vincia kembali berjalan dengan niat ingin segera tiba di rumah. Ia perlu membersihkan bingkai lukisan ayahnya, meskipun sosok di sana hilang.
“Kalau ingin langsung pulang sebaiknya kau jangan belok ke kanan,” saran Gohvin.
“Berhenti mengaturku,” desia Vincia, sebisa mungkin tidak membuka mulut terlalu lebar, “itu jalur tercepat.”
Larangan Gohvin terjawab beberapa detik kemudian. Vincia tidak menyangka akan melihat Valdo duduk di bangku kayu panjang dekat taman kecil di sisi kanan gedung fakultas seni.
Tempat itu agak tersembunyi, dikelilingi pohon flamboyan yang daun-daunnya mulai menguning. Biasanya jadi tempat mahasiswa duduk sambil makan siang atau sekadar menunggu kelas selanjutnya. Sekaligus menerupakan jalur tercepat menuju gerbang belakang universitas dekat halte bus.
“Vincia,” panggil Valdo, sambil bangkit menyambut Vincia, “aku menunggumu sejak tadi.”
Vincia melirik pada Gohvin. Namun, lelaki itu hanya balas mengerling dengan ekspresi sudah-kubilang-kan. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menghadapi Valdo.
“Eh, ya, terima kasih,” ujar Vincia sambil tersenyum rikuh. Interaksi di tempat ini hanya pernah terjadi sesekali di awal hubungan mereka. Setelah itu, lebih banyak Vincia yang mendatangi Valdo di kos-kosan.
“Kau mau pulang, ya?” tebak Valdo yang berbalas anggukan singkat dari Vincia. “Mau makan siang bersama?”
“Boleh,” sahut Vincia lirih.
“Omong-omong, kenapa sejak semalam kau tidak menelepon atau mengirimiku pesan?” tanya Valdo sambil memandu mereka untuk mulai berjalan.
Ekspresi Valdo sama sekali tidak menunjukkan perasaan bersalah. Fakta itu seakan-akan menampar kesadaran Vincia.
“Entahlah.” Vincia mengedikkan bahu. “Kukira kau sibuk.”
“Jangan dingin begitu, Vincia,” tegur Valdo dengan gaya jenaka, “kau pasti lihat koran pagi tadi, kan? Aku makin terkenal. Memangnya kau tidak takut ada perempuan lain yang merebutku?”
Vincia melipat tangan di depan dada. Dagunya terangkat sedikit. Bukan dengan keangkuhan melainkan perlindungan terhadap diri sendiri. “Kalau kau memang bisa semudah itu direbut, kenapa aku harus takut?”
Apakah yang digambar Gohvin adalah Frita??? 😮
Comment on chapter [15] Nomor Tanpa Nama