Loading...
Logo TinLit
Read Story - Manusia Air Mata
MENU
About Us  

Percayakah kau dengan keajaiban?

Mawar tak pernah mempercayainya. Ia menganggap keajaiban hanya ada di film-film dan drama kolosal belaka. Sangat mustahil untuk terjadi di kehidupan nyata. Namun, saat ia menerima panggilan dari Bu Endang … ia bisa merasakan apa itu keajaiban.

“Kamu ini mau sidang apa nggak sih?”

Dari seberang telepon Bu Endang menggerutu geram. Untuk beberapa saat Mawar termenung, lalu buru-buru menjawab, “Mau.”

“Saya sudah hubungi kamu berkali-kali tapi nggak diangkat. Kamu sudah boleh daftar sidang! Nggak ada yang perlu direvisi lagi!”

Ucapan itu bagaikan mimpi panjang yang akhirnya menjadi nyata. Mawar pernah berpikir bagaimana reaksinya saat sudah bisa sidang, mungkin ia akan menangis terharu atau tertawa seperti orang gila. Namun, hanya kebingungan yang kini dirasakan alih-alih haru atau bahagia.

“Ta–tapi batas pendaftaran sidang sudah berakhir kan, Bu?” tanyanya, memastikan Bu Endang sedang tak bercanda kepadanya.

“Pihak kampus memberi keringanan untuk mahasiswa yang sudah di semester 13 dan 14. Besok pendaftaran terakhirnya. Jangan sampai telat!” 

Keringanan?

Itu lebih terdengar seperti mukjizat.

“Baik … baik, Bu.” Mawar menjawab dengan mata yang masih melotot kaget. 

“Persiapkan juga presentasi sidang yang bagus!”

“Baik, Bu.”

Saat panggilan sudah terputus, ponsel di telinganya tak kunjung turun. Ia masih menunggu apa Bu Endang akan menghubunginya lagi. Bisa jadi Bu Endang membatalkan keputusannya, atau melakukan prank seperti konten-konten kekinian. Dosen pembimbing yang menjahili mahasiswa tua yang putus asa. Judul konten itu pasti akan meledak dan jadi bahan pembicaraan di berbagai media sosial.

Setelah lima menit menunggu, nyatanya Bu Endang tak menghubunginya lagi. Tangan Mawar pun meletakkan ponselnya dengan lesu ke lantai. 

“Apa yang terjadi? Aku beneran bisa sidang?” 

Baru beberapa saat yang lalu Mawar kehilangan tujuan hidup. Kini, Tuhan seakan membayar kontan kegelisahannya. Tujuan itu sudah di depan mata. Tujuan yang membuatnya harus bertahan lebih lama.

Mawar anggap hal ini sebagai langkah awal untuk kembali menata hidup. Ia harus membayar hutang-hutang ke ibunya secepat mungkin, jadi ia harus lulus dan mendapatkan ijazahnya terlebih dahulu.

Secercah api menyala dalam jiwanya yang dingin. Jantungnya berdebar-debar atas keajaiban yang pertama kali hadir di hidupnya. Jika bisa, ia ingin mengantongi keajaiban itu di saku dan tak akan membiarkannya pergi agar hidupnya bisa lebih mudah untuk dijalani.

“Sidang. Sidang. Aku akan sidang.”

Dengan mulut yang terus meracau, Mawar merapikan kekacauan di kamar. Ia melesakkan pakaian-pakaiannya yang tersisa sedikit dari lemari ke dalam tas besar yang biasa digunakan untuk mudik ke rumah neneknya sewaktu lebaran. Ia juga memasukkan  semua peralatan rias di meja, buku-buku penting, serta laptop dan ponselnya.

Jika ingin menjaga keajaiban itu dalam hidup, Mawar tahu kalau langkah awal yang harus dilakukan adalah pergi sejauh mungkin dari hal yang membuatnya terluka. Ia tak perlu berada di rumah yang berkedok sebagai neraka ini. Toh, nantinya ia bisa membayar hutang-hutang ke ibunya dengan mentransfer saja uangnya ke rekening.

Mawar hafal di luar kepala nomor rekening ibunya, karena seluruh gaji mengajar les privat pasti akan masuk ke rekening ibunya setelah sepuluh menit mampir ke akun bank-nya sendiri.

Tas gendong besar yang tersampir di bahu kanan membuat cara berjalan Mawar sedikit kelimpungan, tapi ia tetap melangkah dengan gesit layaknya maling profesional. Tidak ada suara yang timbul dari langkahnya. Ia bahkan tak bisa mendengar suara napasnya sendiri karena terlampau tegang. 

“Ma—Mawar.”

Mawar hampir terjungkal saat melihat ayahnya yang ternyata masih di ruang tamu. Ayahnya berjongkok, sedangkan tangannya sibuk memunguti pecahan kaca yang kecil-kecil sehingga luput dari kibasan sapu. 

Mawar bahkan tak bisa membayangkan betapa sulit ayahnya menyapu dengan kondisi tubuhnya yang hanya bisa digerakkan sebelah. Dengan ruangan yang sekacau ini dengan taburan beling di mana-mana pasti ada yang tertancap di telapak kakinya.

“Kamu … kamu mau pe—pergi?” tanya Maja, suaranya amat lirih.

Mawar mengangguk kaku. Tiba-tiba saja ada perasaan tak tega yang menyergap. Keyakinannya untuk enyah dari rumah ini jadi sedikit menyusut.

Sejak ayahnya kembali ke rumah dengan keadaan stroke, ibunya lebih sering memarahinya. Hanya ia yang bisa membela dan mengurus ayahnya, lalu jika ia pergi … bagaimana dengan nasib ayahnya?

“Tangan sama kaki Ayah luka,” ucap Mawar sambil melihat goresan-goresan luka yang cukup banyak. 

Mawar kembali masuk ke dalam rumah, lalu kembali dengan menenteng kotak obat yang disimpan di dekat meja televisi. Tanpa mengucapkan apa-apa, ia ikut menundukkan tubuh untuk memasang plester ke luka yang terbuka.

“Per—pergilah.”

Mawar yang baru selesai memasang plester di telapak tangan ayahnya tertegun mendengar ucapan itu.

“Ta—tapi jangan sa—sakitin diri ka—mu ya, Nak.” 

Mawar tahu kalau ia tak boleh bersuara agar tak menarik perhatian ibunya, tapi ucapan ayahnya membuat ia mulai terisak. Ia lanjut menempel plester ke kaki ayahnya dengan menggigit bibir bawah demi menahan suara isakan.

“Ja—jangan sakit. Jangan ter—luka,” pesan Maja.

Mawar mengangguk-angguk. “Iya, Yah.”

Maja mengelus puncak kepala Mawar yang tertutup kerudung hitamnya yang masih basah. Membuat air mata Mawar makin mengalir deras. Ia teringat betapa hangat elusan tangan ayahnya sewaktu usianya masih belia.

“Ma—maaf sudah ja—jadi Ayah yang bu—buruk,” ungkap Maja. “Ma—maaf, Nak.”

Mawar meraih tangan ayahnya yang masih di atas kepala, lalu mencium punggung tangannya dengan air mata yang makin berlinang. 

“Mawar juga minta maaf, Yah. Maafin Mawar.”

“Pergi—lah. Per—gi sekarang.” 

Maja melepaskan tangannya dari genggaman Mawar. Kemudian, ia meraih sesuatu dari sakunya; seikat uang pecahan sepuluh ribu, dua puluh ribu, dan lima puluh ribuan yang lecek karena ikatan karet yang ketat.

“Ja—jangan sampai ke—ketahuan ibumu. Ba—bawa sedikit u—uang ini,” ucap Maja sambil mendorong uang itu ke genggaman Mawar.

“Nggak perlu, Yah.” Mawar menolak, tapi Maja bersikeras.

“Ba—bawa, Nak. Ini u—uang dari kamu. U–ang yang se—sering kamu ka—kasih ke A—yah. Ma—masih utuh.”

Mawar tak pernah mengira jika sedikit uang yang selalu ia sisihkan untuk ayahnya disimpan begitu rapi dan tak tersentuh. Ia kira ayahnya menggunakan uang itu untuk membeli makan di warung sebelah jika ibunya enggan memberi makan.

“Ce—cepat bawa dan pe—pergi sebe—belum ibumu keluar.”

Mawar mencengkeram uang itu di dadanya. Ingusnya ditarik sekuat mungkin untuk menenangkan diri. Ditatapnya sang ayah dengan penuh kasih untuk kali terakhir.

“Ayah … terima kasih.”

Maja mengangguk. Tangan kanannya yang bisa bergerak melambai-lambai.

“Per—pergi. Ce—cepat.”

Kedua kaki Mawar masih kaku. Demi Tuhan. Ia terlalu takut meninggalkan ayahnya seorang diri. Namun, suara pintu yang terbuka dari dalam ruangan membuat Mawar menyeret kakinya keluar secepat mungkin.

Mawar tak menoleh ke belakang lagi meski hatinya sangat ingin. Ia terus berlari secepat mungkin untuk menghindar dari ibu dan kakaknya jika mengejar. Langkahnya baru memelan setelah sampai di Pasar Karang Menjangan. 

Wilayah pasar masih terasa hidup dengan beberapa penjual yang masih belum menyerah menjajakan dagangannya. Meski hujan baru saja menyerbu kota, warung-warung yang beratap terpal itu masih buka.

Mawar melewati warung-warung sambil sesekali bertanya tempat kos harian yang bisa ditinggali malam ini.

“Di situ ada warung pecel. Nah dia punya kos-kosan, tanya aja,” ucap perempuan tua penjual sate ayam yang sempat Mawar lewati.

Matur suwun, Bu.” Mawar berterima kasih dengan sopan.

 “Nggih.”

Mawar bisa bernapas lega karena pemilik warung pecel itu memang memiliki satu kamar kos yang kosong. Mawar langsung mengeluarkan uang lima puluh ribu untuk membayar biaya menginap sehari.

“Kamarnya di lantai dua, paling ujung yang di sebelah kamar mandi pas,” ucap Rukina, perempuan setengah baya pemilik warung pecel yang sedang bersiap akan tutup. 

Lantai satu digunakan sebagai tempat makan bagi para pelanggan pecel, sedangkan lantai dua adalah tempat tinggal keluarga Rukina beserta enam kamar lain yang disewakan untuk kos harian dan bulanan. 

Saat menaiki satu per satu anak tangga, Mawar harus lebih awas karena minimnya penerangan. Ia hampir berteriak saat tikus sebesar kucing melewati kakinya hingga ia hampir terjatuh. Di lorong lantai dua pun beberapa kali ia bertemu dengan segerombolan tikus yang gemuk-gemuk. 

Mawar langsung lari terbirit-birit menuju kamar yang berada tepat di sebelah kanan kamar mandi. Ia tak mau berpapasan dengan tikus lagi dan mengurung dirinya di kamar seukuran dua kali tiga meter yang pengap.

Untuk beberapa saat, ia termenung memandangi kasur lantai yang tak beseprei. Ia tak masalah dengan keadaan kamar kosnya, mendapat tempat untuk bisa istirahat saja sudah luar biasa melegakan daripada tidur di jalanan. Ia hanya masih tak menyangka dengan keputusan besar yang sudah diambil. 

Mulai detik ini, ia harus berdiri di atas kakinya sendiri dan memutus hubungan dengan keluarganya. Setelah memblokir kontak-kontak keluarganya dan Arjun, ia berganti pakaian dan langsung membuka laptop. Ia harus menyusun presentasi untuk persiapan sidang. 

Di tengah keseriusannya berkutat dengan PowerPoint, fokusnya terdistraksi oleh dering panggilan masuk. Jari-jemarinya yang asik menari di atas keyboard sontak menegang. Ujung matanya melirik ponsel yang terletak di sebelah laptop, takut-takut melihat siapa yang menghubunginya tengah malam begini. 

Apa ibunya sudah sadar dengan kepergiannya, lalu menghubunginya menggunakan nomor orang lain?

Adel memanggil. 

Helaan napas panjangnya mengalir dengan keras. Buru-buru ia mengambil ponsel dan menerima panggilan yang ternyata dari sahabatnya. 

“Halo? Ada apa? Tumben telepon jam segini. Biasanya jam delapan udah molor,” ucap Mawar sambil terkekeh. 

Ponselnya diapit di antara telinga kanan dan bahu, sedangkan kedua tangannya kembali sibuk mengetik untuk segera menyelesaikan berkas presentasinya. 

“Kebangun nih.”

“Pantes.”

Jika Mawar seorang burung hantu yang selalu terjaga setiap malam, Adel adalah burung pipit yang selalu bangun tiap subuh dan selalu tidur sepulang kerja. Setelah dipikir-pikir, ini adalah kali pertama Adel menghubunginya selarut ini.

“Aku habis mimpi buruk,” celetuk Adel. 

Ketikan Mawar seketika terhenti. “Mimpi buruk?”

“Tentang kamu.”

Mawar menelan ludahnya dengan gugup. Ia tak tahu jika keadaan yang menimpanya mampu tersalur ke ke alam mimpi Adel.

“Kamu nggak apa-apa, War?” tanya Adel dengan suara lebih rendah.

“Nggak apa-apa kok. Ini lagi siapin presentasi buat sidang.” 

Mawar meringankan suaranya seperti anak kecil yang bahagia. Berusaha memanipulasi Adel melalui suara agar kebohongannya tak terungkap.

“Sidang? Bu Endang udah acc? Kok nggak cerita?!” 

“Iya, sibuk banget soalnya. Maaf.” Mawar memejamkan mata karena kebohongan yang terus tercipta. “Besok juga baru ngurus berkas di akademik. Habis itu baru keluar jadwal sidangnya kapan.”

“Awas aja ya kalau nggak cerita lagi jadwal sidangnya kapan!” sela Adel.

“Iya. Iya.”

“Aku bakal ambil cuti demi nemenin sidang.”

Mawar tersenyum. Senyum pertama yang ia ulas untuk hari ini—bahkan untuk beberapa hari terakhir. 

“Uh … so sweet!”

“Iyalah! Sohib!” Adel di seberang telepon juga terkekeh. “Kalau gitu besok main ke rumahmu, ya. Kangen juga deh. Hitung-hitung lihat kamu latihan sidang buat—”

No! Nggak usah!”

Mawar memotong ucapan Adel dengan cepat. Ucapan itu terlalu menakutkan untuk didengar, tapi suaranya yang tiba-tiba panik menarik keheranan Adel.

“Kenapa?” tanyanya, tapi Mawar tetap diam. “Kenapa, Mawar?”

Mawar menepuk-nepuk dahi dengan kebingungan. Otaknya diputar sekeras mungkin untuk menemukan alasan yang masuk akal.

“Besok sibuk. Nggak bakal di rumah.”

“Ya udah, besoknya lagi.”

“Sibuk juga. Udah malam, mending balik tidur. Aku mau lanjut ngerja—”

“Kamu bohong, kan?”

Segala alasan yang disusun Mawar teredam saat Adel menangkap kebohongannya. Keringat di pelipis mulai berjatuhan karena tegang. Topengnya sudah retak dan berhasil dilepas dengan mudah oleh Adel.

“Mawar Dwi Atmaja, cepat cerita sejujurnya sebelum aku ke rumahmu sekarang juga dan dobrak kamarmu.”

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Vandersil : Pembalasan Yang Tertunda
388      285     1     
Short Story
Ketika cinta telah membutakan seseorang hingga hatinya telah tertutup oleh kegelapan dan kebencian. Hanya karena ia tidak bisa mengikhlaskan seseorang yang amat ia sayangi, tetapi orang itu tidak membalas seperti yang diharapkannya, dan menganggapnya sebatas sahabat. Kehadiran orang baru di pertemanan mereka membuat dirinya berubah. Hingga mautlah yang memutuskan, akan seperti apa akhirnya. Ap...
Sisi Lain Tentang Cinta
782      439     5     
Mystery
Jika, bagian terindah dari tidur adalah mimpi, maka bagian terindah dari hidup adalah mati.
The First 6, 810 Day
597      430     2     
Fantasy
Sejak kecelakaan tragis yang merenggut pendengarannya, dunia Tiara seakan runtuh dalam sekejap. Musik—yang dulu menjadi napas hidupnya—tiba-tiba menjelma menjadi kenangan yang menyakitkan. Mimpi besarnya untuk menjadi seorang pianis hancur, menyisakan kehampaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Dalam upaya untuk menyembuhkan luka yang belum sempat pulih, Tiara justru harus menghadapi ke...
Secret Love
348      234     3     
Romance
Cerita ini bukan sekedar, cerita sepasang remaja yang menjalin kasih dan berujung bahagia. Cerita ini menceritakan tentang orang tua, kekasih, sahabat, rahasia dan air mata. Pertemuan Leea dengan Feree, membuat Leea melupakan masalah dalam hidupnya. Feree, lelaki itu mampu mengembalikan senyum Leea yang hilang. Leea senang, hidup nya tak lagi sendiri, ada Feree yang mengisi hari-harinya. Sa...
Wanna Be
6151      1697     3     
Fan Fiction
Ia dapat mendengar suaranya. . . Jelas sekali, lebih jelas dari suara hatinya sendiri. Ia sangat ingin terus dapat melihatnya.. Ia ingin sekali untuk mengatakan selantang-lantangnya Namun ia tak punya tenaga sedikitpun untuk mengatakannya. Ia sadar, ia harus segera terbangun dan bergegas membebaskan dirinya sendiri...
#SedikitCemasBanyakRindunya
3278      1204     0     
Romance
Sebuah novel fiksi yang terinspirasi dari 4 lagu band "Payung Teduh"; Menuju Senja, Perempuan Yang Sedang dalam Pelukan, Resah dan Berdua Saja.
Let Me be a Star for You During the Day
968      501     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Yang Tertinggal dari Rika
1621      912     10     
Mystery
YANG TERTINGGAL DARI RIKA Dulu, Rika tahu caranya bersuara. Ia tahu bagaimana menyampaikan isi hatinya. Tapi semuanya perlahan pudar sejak kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya. Dalam waktu singkat, rumah yang dulu terasa hangat berubah jadi tempat yang membuatnya mengecil, diam, dan terlalu banyak mengalah. Kini, di usianya yang seharusnya menjadi masa pencarian jati diri, Rika ju...
Percikan Semangat
904      502     1     
Short Story
Kisah cinta tak perlu dramatis. Tapi mau bagaimana lagi ini drama yang terjadi dalam masa remajaku. Cinta yang mengajarkan aku tentang kebaikan. Terima kasih karena dia yang selalu memberikan percikan semangat untuk merubahku menjadi lebih baik :)
Tokoh Dalam Diary (Diary Jompi)
587      433     3     
Short Story
You have a Daily Note called Diary. This is my story of that thing