Loading...
Logo TinLit
Read Story - Manusia Air Mata
MENU
About Us  

Adel adalah manusia unik. Sejak pertama kali bertemu dengannya, Mawar sudah yakin kalau dia memang berbeda. Saat hari pertama ospek, dia sengaja tak mengikuti aturan sama sekali—tidak mau pakai kemeja, rok hitam, dan tidak membawa bekal sesuai daftar yang diberikan. Katanya, dia memang ingin dihukum dan berdebat dengan para panitia ospek. 

Tipikal manusia yang aneh dan harus dihindari karena Mawar takut terseret propaganda tingkah lakunya dan berbuat masalah. Namun, siapa sangka kalau manusia yang paling ingin dihindari itu menjadi sahabat karibnya?

Adel yang selalu tertawa bahkan karena hal kecil bisa menjadi perpaduan sempurna untuk Mawar yang lebih banyak diam dan muram. Adel yang dipenuhi dengan kegilaan menjadi rasa baru dalam hidup Mawar yang hambar. Dia selalu penuh energi dan mampu membagikan energi itu ke Mawar.

Mawar tak tahu kalau tugas kelompok di semester satu bersama Adel mampu menjadi langkah awal sebuah persahabatan. Ia sudah menjalani tahun-tahun yang penuh warna dan kegilaan bersama Adel. Oleh karena itu, ia tak kaget saat melihat Adel sudah berada di depan kosnya pagi buta sambil menangis keras-keras.

“KENAPA BISA ADA DI SINI?!”

Lengkingan suara Adel yang membahana membuat Mawar ditegur oleh Bu Rukina, juga penghuni kos yang lain. Buru-buru ia meminta maaf dan memasukkan Adel ke dalam kamarnya.

Adel terus menangis bahkan sebelum Mawar membuka mulutnya untuk bercerita. Semalam ia hanya mengatakan kalau ia sudah meninggalkan rumah dan tak akan kembali lagi. Panggilan itu pun dipenuhi dengan tangisan sampai satu jam lamanya hingga Adel jatuh terlelap. 

Mawar sudah bersiap untuk menerima panggilan lagi dari Adel ketika dia terbangun, tapi ternyata Adel tak meneleponnya melainkan langsung datang ke tempat kosnya.

“Kenapa nggak ke rumahku aja? Kenapa malah kos sendiri?” protes Adel. 

Mawar menepuk-nepuk punggung Adel dengan pelan. Meski Adel dipenuhi dengan energi dan kegilaan, hatinya sangatlah rapuh. Dia bahkan bisa menangis karena melihat kucing yang kelaparan.

“Harus cari di sekitar kampus, Del. Hari ini kan mau ngurus berkas pendaftaran sidang ke akademik,” balas Mawar.

“Kalau gitu habis dari kampus langsung cabut ke rumah! Nggak ada penolakan lagi!”

“Tapi—”

“Nggak pakai tapi-tapi! Ini perintah!”

Adel kembali tergugu setelah berseru kencang. Mawar pun menariknya ke dalam dekapan. Ia tak bisa membayangkan bagaimana tangisan Adel jika mengetahui cerita lengkapnya. 

“Se–sekarang cerita! Aku udah siap!” celetuknya setelah membuang ingus. Mawar memberi tisu lain untuk menghapus air matanya. 

“Nggak mau sarapan dulu? Di bawah ada nasi pecel. Kita bisa pesan—”

“Cerita, Mawar.”

Usaha Mawar untuk mengulur waktu gagal total karena Adel sudah menunjukkan aura intimidasinya. Ia pun kembali duduk di atas kasur dan menundukkan wajahnya saat berhadapan dengan Adel. Berpikir dalam-dalam, harus dimulai dari mana ceritanya?

“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Adel dengan suara yang lebih rendah. Air muka Mawar yang berubah sendu membuatnya terenyuh. 

“Bingung mulai dari mana ….”

“Pelan-pelan.”

Mawar mengambil napas dalam-dalam, lalu mulai mengeluarkan deretan cerita yang bermula dari trauma besarnya. Rahasia yang tak ingin dibagi kepada siapapun. Tentang pelecehan yang dialami. 

Ajaibnya, Mawar bisa menahan air mata saat mengisahkan segala luka itu. Ia menceritakan seluruhnya tanpa tertutupi, bahkan tentang Arjun yang tiba-tiba menjadi hal penting dalam hidupnya tapi harus ditinggalkan agar Arjun tak ikut terluka. 

Cerita itu baru berakhir hampir satu jam lamanya. Jangan tanyakan keadaan Adel. Dia sudah menghabiskan satu pak tisu. Kelopak matanya sudah bengkak seperti digigit kawanan lebah. 

“Maaf. Maafin aku karena nggak ngerti kalau kamu ada di situasi seberat ini.” Adel memeluk erat-erat Mawar dengan tangisan yang tak kunjung reda. 

“Kan emang baru cerita, Del. Nggak apa-apa. Aku baik-baik aja.” 

Mawar akhirnya ikut menangis juga karena tertular isakan Adel. Ia tak tahu kalau membagikan kisah yang selama ini memberatkan dadanya bisa semelegakan ini. Ia jadi teringat saat ia juga berkeluh kesah kepada Arjun di kedai ronde beberapa waktu yang lalu. Ingatan tentang Arjun yang kembali datang membuat derai air matanya bertambah.

“Pokoknya habis ini kamu harus tinggal di rumah! Nggak boleh nolak! Aku nggak bakal biarin kamu lalui semuanya sendiri lagi,” cecar Adel.

Mawar masih menggeleng pelan. “Aku nggak mau ngerepotin, Del.”

“Aku nggak repot! Lagian apa gunanya sahabat kalau nggak saling tolong!” Adel mencubit pipi Mawar dengan geram. “Punya sahabat tuh harusnya dimanfaatin gitu kek biar berguna dikit aku!”

Mawar tergelak dengan pemilihan kata Adel. Manusia normal pasti akan kesal jika sengaja dimanfaatkan, tapi Adel justru mengajukan diri secara cuma-cuma. 

“Ngomong-ngomong ….” Adel menggantung ucapannya. Tatapan matanya pun berubah jadi menelisik ke arah Mawar. “Kamu belum mandi, ya?” 

Pertanyaan itu membuat Mawar yang semula tegang jadi tertawa. Adel bahkan mendorong-dorong tubuhnya dan menutup lubang hidung untuk menggoda Mawar.

“Mandi sana! Aku aja udah mandi jam empat pagi biar langsung motoran ke sini!”

“Iya! Iya!”

Mawar masuk ke kamar mandi dengan tawa yang masih terus terukir di bibirnya. Ajaib sekali saat ia sadar tertawa bukan hal sulit jika bersama Adel meski takdir sudah menjebloskannya ke suratan paling menyedihkan.

Mawar pernah dengar bahwa sahabat akan meringankan hampir delapan puluh persen masalah hidupmu hanya dengan bersama dengannya. Dan ia mulai percaya dengan hal itu. 

***

Pengurusan berkas untuk sidang sangat mudah. Mawar hanya perlu masuk ke ruang akademik selama tidak lebih dari sepuluh menit, lalu keluar dengan senyuman kecil karena sudah menggenggam jadwal sidang.

“Lusa,” ucap Mawar kepada Adel yang menunggu dengan cemas di depan ruang akademik. 

“Oke! Lusa aku bakal ambil cuti lagi!”

“Emanganya diizinin sama bosmu?”

“Bisalah! Kan jatah cuti tahun ini belum ke pakai!”

Mawar menggeleng tak percaya dengan pengabdian Adel kepadanya. Ia tahu kalau Adel harus mengorbankan banyak hal untuk meluangkan waktu bersamanya.

“Sekarang temenin keliling kampus! Udah lama nggak ke sini lagi.”

Adel menarik tangan Mawar dan menyeretnya keluar fakultas. Adel memang termasuk mahasiswa yang menempuh pendidikan cepat. Hanya tiga setengah tahun, dengan predikat magna cumlaude pula. Setelah itu dia langsung diterima di perusahaan yang cukup besar dan jabatannya sudah naik ke level senior. Adel tak sempat berjalan-jalan atau sekadar mampir lagi ke kampus. Berbeda dengan Mawar yang bahkan sudah jengah menginjakkan kakinya di tempat ini. 

“Mi yamin Pak Eko ini emang nggak berubah, ya! Malah makin enak!” Adel menyeruput mi-nya dengan penuh gairah. 

Mereka langsung menuju kantin setelah lelah memutari kampus yang luasnya sepuluh kali lipat lapangan sepak bola. Adel memesan mi yamin langganan sewaktu berkuliah, sedangkan Mawar lebih memilih mi pangsit seperti biasanya.

“Makasih, Pak! Mi-nya mantap!” Adel memberikan kedua jempolnya kepada Pak Eko setelah melakukan pembayaran.

Pak Eko tertawa. Mawar pun ikut terkekeh melihatnya, tapi senyumnya langsung luntur saat menangkap siluet orang yang sangat ingin dihindari. Sontak Mawar segera menarik Adel untuk bersembunyi di balik rombong kedai Pak Eko.

“Pak, pinjam tempat sebentar!” lirih Mawar sambil membekap mulut Adel karena takut Adel berteriak hingga menarik perhatian banyak orang. 

“Kenapa sih?” tanya Adel setelah berhasil menepis tangan Mawar dari depan mulutnya.

“Ada Arjun.”

“Arjun?”

“Jangan, Del!”

Mata Adel mebelalak. Ia menjulurkan kepalanya dari dalam kedai, tapi Mawar segera menariknya untuk kembali bersembunyi. Pak Eko melihat tingkah keduanya dengan menggeleng heran.

“Kasih tahu ciri-cirinya yang mana atau aku teriak!” ancam Adel.

Mawar mendengus, “Yang pakai jaket denim.”

Di kantin yang luas itu, hanya ada satu laki-laki yang mengenakan jaket denim sehingga Adel bisa langsung mengenali Arjun yang tengah melamun saat menunggu temannya membeli es kopi. Temannya seperti ingin memastikan apa dia tak mau memesan minuman juga, tapi Arjun hanya menggeleng. Kemudian dia pergi dengan tangan kosong. 

“Jadi itu yang namanya Arjun,” gumam Adel setelah mereka keluar dari tempat persembunyian. “Dia kayak kehilangan banget. Udah kayak habis digugat cerai,” lanjutnya.

“Lebay.”

Mawar berusaha mengatur air mukanya sedatar mungkin saat Adel membicarakan  Arjun. Meski hatinya tiba-tiba saja kembali perih saat melihat betapa kacaunya Arjun.

***

Ternyata rumah Adel tak jauh berbeda dengannya; sama-sama berisik dan ramai. Namun, kebisingan yang tercipta sangat menyenangkan. 

Di malam pertama Mawar menginap di sana, ia menyaksikan orang tua Adel yang berdebat karena pemilihan lagu yang akan diputar. Sulis ngotot memilih lagu bollywood, sedangkan Bani ingin lagu dangdut. Perdebatan itu akhirnya dimenangkan oleh Sulis setelah gunting dari jemari telunjuk dan jari tengahnya menyerang telapak tangan terbuka dari tangan Bani yang menjadi kertas.

“Mereka emang nggak jelas. Biarin aja,” tukas Adel sewaktu Mawar memandangi orang tuanya dengan penuh takjub.

Hal besar yang berikutnya terjadi lebih membuat Mawar makin keheranan. Melalui pengeras suara yang terhubung dengan bluetooth, terputar lagu Suraj Hua Maddham dari film legendaris Khabi Khushi Khabie Gham. Sulis dan Bani sudah berubah menjadi Anjali dan Rahul yang sedang menari-nari dengan syahdu di ruang tengah. Sebuah pemandangan yang tak pernah ia lihat sepanjang hidupnya. 

“Papa Mama-mu seru banget,” celetuk Mawar.

Adel mendengus, “Lebih ke aneh!”

Mawar tergelak. Memang aneh, tapi aneh yang menyenangkan. Seperti Adel yang juga aneh, tapi mampu membahagiakan. Mungkin, Adel tak tahu kalau melihat orang tua menikmati waktu bersama sambil menari adalah hal langka dan hampir mustahil bagi kehidupan anak lain.

Orang tua Adel bahkan mengadakan acara selamatan untuk mendukung Mawar yang akan menjalani sidang skripsi. Mereka mengundang beberapa tetangga, lalu melakukan doa bersama sebelum makan-makan.

Mawar baru dua hari di rumah Adel, tapi ia sudah dipeluk dengan beribu cinta dan kehangatan yang tak pernah ada di dalam rumahnya sendiri.

Di hari paling ditunggu, Mawar hampir pingsan karena takut tak bisa membawakan presentasi dengan baik. Pikiran buruknya kembali melayang-layang, bagaimana jika ia tak lulus? Bagaimana jika harus mengulang sidang? Namun pikiran itu luruh saat matanya kembali menangkap sosok Arjun yang baru masuk ke lobi fakultas. 

Buru-buru Mawar lari ke kamar mandi perempuan untuk menghindar. Membuat Adel yang baru keluar dari salah satu bilik kamar mandi kebingungan melihatnya yang tampak pucat.

“Kenapa? Mules, ya? Wajar kok soalnya tegang.” Adel menepuk-nepuk punggung Mawar.

Mawar memang tegang, tapi yang membuatnya lari dan sepucat ini karena takut bertemu Arjun. Setidaknya, ia bersyukur Adel tak mengetahui alasan yang sebenarnya.

“Setelah sidang, aku mau ngajak kamu ke suatu tempat,” celetuk Adel kemudian.

“Kemana?”

“Ada deh! Nanti lihat aja sendiri! Sekarang fokus aja ke sidang! Semangat!”

Sidang yang selalu Mawar nantikan rupanya tak seseram yang dibayangkan. Ketika dua dosen penguji mencoba mencecarnya, Bu Endang dengan cepat membelanya. Bu Endang yang selama ini memarahi Mawar kini berdiri dengan tegap membantunya. 

“Datanya sudah bagus kok, bahkan dia bisa terjemahin hampir seluruh kata. Hanya tulisan yang korup dan rusak yang tak diikutsertakan,” tukas Bu Endang. 

Pak Januar dan Pak Fauzi selaku dosen penguji akhirnya ikut memuji-muji tugas akhir Mawar. Mereka kompak memberi nilai A untuk skripsi Mawar. Nilai yang bahkan tak berani Mawar bayangkan. 

“Terima kasih, Pak, Bu!”

Mawar membungkuk bahagia. Bu Endang berjalan ke arahnya untuk memberi pelukan. Seketika tangisan Mawar pecah dalam rengkuhannya.

“Maaf ya apabila selama melakukan bimbingan saya sangat menyebalkan dan menyakiti perasaan kamu,” ucap Bu Endang. 

Bu Endang terus memeluknya hingga air matanya sedikit mereda. Pak Januar dan Pak Fauzi tertawa melihat Mawar yang sudah seperti putri kecil Bu Endang. Suasana ruang sidang yang semula menegangkan tiba-tiba berubah menjadi sangat hangat. 

“Kenapa nangis?” 

Adel yang semula duduk di kursi tunggu depan ruang sidang langsung berdiri dengan kaget saat Mawar keluar dengan mata yang bengkak. 

“Aku dapat nilai A!” seru Mawar dengan tersenyum lebar. 

“Ya Allah! Selamat!” Adel melompat memeluk Mawar. 

Mereka saling mendekap sambil berputar-putar di lantai satu dengan cekikikan bahagia yang diiringi dengan air mata. Tetapi saat sadar dengan tatapan orang lain yang mulai tertuju, Mawar segera melepas pelukan itu dan menarik Adel keluar dari gedung fakultas. Ia masih takut Arjun akan menemukannya.

“Nggak mau foto di depan fakultas? Itu kan foto wajib kalau selesai sidang!” seru Adel. 

“Nggak! Nggak perlu! Ayo balik aja!”

Foto di depan tulisan Fakultas Ilmu Budaya memang sudah menjadi tradisi bagi mahasiswa yang baru selesai sidang, tapi Mawar tak akan mengikuti tradisi jika memperbesar peluangnya bertemu Arjun.

“Kalau gitu langsung ke ikut aku aja, ya!” ucap Adel.

Mawar mengangguk-angguk pasrah. Ia tak masalah dibawa kemana saja asal segera pergi dari area kampus.

***

“Ngapain kita ke sini?”

Mawar menarik lagi pikirannya yang rela dibawa Adel kemana saja saat mereka sudah sampai di tempat yang dituju: sebuah klinik psikologi.

Adel langsung mengait tangannya setelah melepas helm. Tapi Mawar menahan langkahnya dan enggan berjalan lagi.

“Nggak mau, Del! Kita pulang aja!” ucap Mawar.

Adel tetap bersikukuh. “Kamu butuh, Mawar! Aku tahu kamu masih suka nangis diam-diam di kamar mandi!”

Mawar tak menyangka kalau Adel tahu ia sering menghabiskan waktu semalaman di kamar mandi hanya untuk menangis. 

“Tapi  keadaanku udah lebih baik. Aku udah bisa ketawa,” balas Mawar, masih mencoba melepaskan tautan Adel dari tangannya.

“Tapi luka dan traumamu masih ada. Kamu nggak bisa biarin gitu aja! Aku nggak mau kehilangan kamu! Jadi, please! Please! Ayo kita berobat.” 

Mawar tertegun karena pekikan Adel. Ia lebih kaget lagi saat Adel tiba-tiba sudah menangis. Ia kira tangisannya tak menganggu Adel yang sedang beristirahat, ternyata ia salah besar.

“Sampai sekarang aku ngerasa gagal dan bodoh karena nggak tahu rasa sakit kamu selama ini. Jadi please … please …. terima permintaan maafku dengan ini, Mawar.” 

Mawar memeluk Adel yang tergugu di depan klinik. Tangisannya menarik perhatian beberapa orang, tapi mereka segera mengalihkan pandangan dan sibuk dengan kegiatan sendiri-sendiri. Mungkin di tempat ini memang sudah biasa melihat orang yang tiba-tiba menangis.

“Kamu udah banyak nolong aku, Del. Kamu udah nyelametin aku,” bisik Mawar. “Aku nggak tahu gimana balas semua kebaikan kamu kalau kamu harus membiayai pengobatan mentalku juga.”

“Aku nggak ngutangin apapun, jadi nggak perlu dibalas,” sahut Adel. “Kalau kamu sepengin itu membalas, balas dengan kembali menjadi Mawar yang benar-benar hidup.”

Bibir Mawar melengkung ke atas. Terus menangis karena haru. 

Adel memang gambaran nyata perpanjangan tangan Tuhan. Bersama dengan Adel mampu membuat Mawar lupa dengan luka yang hampir membunuhnya.

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Love Rain
20533      2764     4     
Romance
Selama menjadi karyawati di toko CD sekitar Myeong-dong, hanya ada satu hal yang tak Han Yuna suka: bila sedang hujan. Berkat hujan, pekerjaannya yang bisa dilakukan hanya sekejap saja, dapat menjadi berkali-kali lipat. Seperti menyusun kembali CD yang telah diletak ke sembarang tempat oleh para pengunjung dadakan, atau mengepel lantai setiap kali jejak basah itu muncul dalam waktu berdekatan. ...
Dear Diary
641      429     1     
Short Story
Barangkali jika siang itu aku tidak membongkar isi lemariku yang penuh buku dan tumpukan berkas berdebu, aku tidak akan pernah menemukan buku itu. Dan perjalanan kembali ke masa lalu ini tidak akan pernah terjadi. Dear diary, Aku, Tara Aulia Maharani umur 25 tahun, bersedia melakukan perjalanan lintas waktu ini.
Dunia Sasha
6414      2178     1     
Romance
Fase baru kehidupan dimulai ketika Raisa Kamila sepenuhnya lepas dari seragam putih abu-abu di usianya yang ke-17 tahun. Fase baru mempertemukannya pada sosok Aran Dinata, Cinta Pertama yang manis dan Keisha Amanda Westring, gadis hedonisme pengidap gangguan kepribadian antisosial yang kerap kali berniat menghancurkan hidupnya. Takdir tak pernah salah menempatkan pemerannya. Ketiganya memiliki ...
JUST RIGHT
104      89     0     
Romance
"Eh, itu mamah bapak ada di rumah, ada gue di sini, Rano juga nggak kemana-mana. Coba lo... jelasin ke gue satu alasan aja, kenapa lo nggak pernah mau cerita ke seenggaknya salah satu dari kita? Nggak, nggak, bukan tentang mbak di KRL yang nyanggul rambutnya pakai sumpit, atau anak kecil yang lututnya diplester gambar Labubu... tapi cerita tentang lo." Raden bilang gue itu kayak kupu-kupu, p...
Dunia Saga
5774      1497     0     
True Story
There is nothing like the innocence of first love. This work dedicated for people who likes pure, sweet, innocent, true love story.
SWEET BLOOD
0      0     0     
Fantasy
Ketika mendengar kata 'manis', apa yang kau pikirkan? "Menghirup aromanya." Lalu, ketika mendengar kata 'darah yang manis', apa yang kau pikirkan? "Menikmati rasanya." Dan ketika melihat seseorang yang memiliki 'bau darah yang manis', apa yang kau pikirkan? "Mendekatinya dan menghisap darahnya."
Karena Aku Bukan Langit dan Matahari
658      464     1     
Short Story
Aku bukan langit, matahari, dan unsur alam lainnya yang selalu kuat menjalani tugas Tuhan. Tapi aku akan sekuat Ayahku.
Sendiri diantara kita
927      570     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
The Call(er)
1385      829     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
ADRI
548      408     1     
Short Story
Untuk yang terlambat jatuh cinta.