Arjun merasa dirinya adalah manusia paling tak berguna di dunia ini.
Setelah mengantar Mawar sampai di depan rumahnya, ia tak bisa mengikuti Mawar meski ia tahu bahwa bunganya akan hancur di tangan keluarganya. Tentu kedua kakinya ingin lari dan mendobrak pintu rumah Mawar yang menyembunyikan pekikan yang terus bersahut-sahutan, tapi ia pun sedang tersandera di rumahnya sendiri.
Kedua orangnya sama-sama saling berteriak, tapi mereka melakukannya di lantai dua setelah menyeretnya untuk masuk ke dalam kamar.
“Selama ini Mama percaya kalau kamu nggak ada sangkut-pautnya sama kaburnya Mawar! Ternyata emang bener kamu yang udah bawa dia pergi!” Shima mengamuk.
Sebagai seorang ibu, ia sudah memiliki firasat buruk karena beberapa hari terakhir gelagat Arjun sangat aneh. Dia juga sering pulang malam, kemarin saja sampai basah kuyup. Katanya malas pakai jas hujan, tapi jarak kampus ke rumah tak sejauh itu hingga bisa membuatnya pulang dengan menggigil dan bibir membiru.
Malam ini hujan deras kembali datang, bahkan lebih berskala besar dari kemarin. Shima sudah menunggu kepulangan Arjun sejak pukul tujuh malam, tapi Arjun baru datang dua jam kemudian. Dia pulang dengan membonceng Mawar yang sebelumnya menghilang.
“Papa dan Mama selama ini ngasih kepercayaan penuh ke kamu! Tapi kamu sia-siakan kepercayaan kami!” Satya ikut berteriak.
“Kepercayaan? Papa dan Mama nggak pernah ngasih kepercayaan itu ke aku! Buktinya kalian masih repot-repot ikut pindah ke Surabaya!” suara Arjun ikut mengeras.
Arjun sudah di titik putus asa. Ia ingin keluar dari sandera orang tuanya dan berlari ke rumah Mawar, tapi ia tak bisa bergerak saat mamanya melepaskan tamparan keras kepadanya.
“Jangan kurang ajar, Arjun!” bentak Shima.
Arjun tak mengelak. Ia bahkan tetap diam saat mamanya terus memukuli dadanya dengan berderai air mata.
“Kita nggak minta banyak ke kamu! Kita cuma pengin kamu jauh dari masalah! Kita mau kamu bisa hidup normal dan bahagia!”
“Aku bahagia kalau sama Mawar, Ma! Dia bisa bikin aku bahagia! Lihat dia aja udah bikin bahagia!”
“Arjun!”
Kali ini Satya yang melayangkan tamparannya. Kekuatan yang dimiliki Satya seribu kali lebih besar daripada Shima sehingga berhasil membuat Arjun sampai terhuyung dan jatuh ke lantai. Airin yang mengintip dari luar kamar sejak tadi langsung berlari memeluk kakaknya.
“Udah, Pa! Ma! Kenapa kalian kasar banget ke Kak Arjun?!” pekik Airin dengan terisak-isak.
Airin mendekap tubuh Arjun dengan erat, seakan tak mengizinkan orang tuanya menyentuh sehelai rambut sang kakak lagi.
“Jangan ikut campur, Airin! Masuk ke kamarmu! Kami harus kasih pelajaran ke anak yang nakal!” bentak Satya.
Airin menggeleng. “Kakak cuma bantu Kak Mawar! Dia nggak nakal! Justru dia udah berbuat mulia!”
“Jadi … kamu selama ini tahu apa yang dilakuin kakakmu?” Shima menyahut dengan cepat. Matanya menyipit untuk menelisik air muka Airin yang kini berubah pias.
“Kamu tahu, Airin?!” pekikan Shima kini tertuju kepada si bungsu yang tubuhnya mulai bergetar takut. “Kamu tahu tapi nggak laporin ke Mama?!”
Arjun berbalik memeluk Airin. Mereka bagai anak kucing yang saling melindungi.
“Kenapa harus lapor? Kak Arjun nggak ngelakuin hal yang salah! Dia hanya baik hati!” Airin masih menjawab meski dengan suara yang mulai bergetar, tapi ia mencoba mengumpulkan segala keberanian yang tersisa.
“Airin!”
Airin memejamkan matanya saat tangan Shima terangkat menuju ke arahnya. Namun Airin tak merasakan sakit apapun karena Arjun yang sudah menjadi tameng dan melindungi kepalanya dengan rengkuhan.
“Cukup, Ma! Cukup!”
Arjun membelalak marah. Selama ini, ia terima-terima saja perlakuan papa dan mamanya tapi ia tak bisa terus berdiam diri jika mereka juga berusaha menggertak Airin.
“Kenapa kalian nggak pernah belajar dari masa lalu? Kalian bilang menyesal sudah menekan dan membuat Kak Ardian bunuh diri! Kalian bilang akan berubah dan membebaskan aku dan Airin! Tapi … apa?”
Airin menangis dalam rengkuhan Arjun. Memori di hari perginya Ardian kembali terulang di ingatan. Hari itu menjadi hari yang penuh duka, tapi orang tuanya sibuk bertengkar dan berakhir memarahi Arjun habis-habisan. Karena Arjun yang sudah mengajak memancing hingga membuat Ardian meloncat ke sungai yang merenggut nyawanya.
Selama beberapa tahun berlalu, ia kira rumahnya sudah kembali baik-baik saja. Tapi ternyata orang tuanya memang tak banyak berubah, mereka hanya menahan diri agar tak meledak.
“Mama dan Papa bahkan marah segininya cuma karena aku bantu orang lain!” ujar Arjun dengan putus asa.
“Orang lain yang kamu bantu itu bermasalah! Kamu paham nggak sih?! Kita cuma nggak mau kamu ikut bermasalah!” Satya kembali membentak.
“Aku bukan anak kecil yang nggak tahu mana salah dan benar, Ma! Dan aku tahu kalau bantuin Mawar nggak akan buat aku jadi bermasalah!”
“Arjun!”
Satya dan Shima mengerang frustrasi, begitu pula dengan Arjun yang masih tak sejalan dengan pola pikir orang tuanya.
“Mawar butuh pertolongan! Dia juga bisa bunuh diri seperti Kak Ardian kalau nggak ditolong!” ungkap Arjun, berharap mereka akan luluh jika mengaitkan permasalahan ini dengan mendiang kakaknya.
“Ya udah itu urusan dia! Kamu nggak perlu ikut campur!”
Jawaban Shima membuat Arjun menganga tak percaya. Jawaban itu bahkan jauh dari bayangan.
“Jadi karena dia anak orang lain …. Mama nggak peduli dia mati atau enggak?” tanya Arjun dengan suara melirih.
“Diam, Arjun! Diam!” Satya mengamuk dengan membanting vas bunga di dekatnya. “Kamu terus-terusan ngebantah orang tua, jadi siap-siap aja buat pindah kuliah. Kita akan pergi dari kota ini secepatnya!”
Keputusan Satya membuat Arjun menggeleng panik. Ketakutan tak bisa berjumpa dengan Mawar makin membesar.
Tidak.
Keadaan Mawar sedang tak baik-baik saja. Ia tak boleh meninggalkannya. Ia pun sudah berjanji untuk selalu di sisinya.
“Nggak mau, Pa! Semester depan aku udah sidang proposal skripsi! Nggak mungkin pindah kampus dan mulai semuanya dari awal!” tolak Arjun.
Ia pikir dengan mengungkit masalah akademik mampu meluluhkan putusan sang papa, tapi ia salah besar.
“Papa akan cari kampus yang bisa menyesuaikan kurikulum, jadi kamu bisa tetap melanjutkan semester selanjutnya.”
Satya membalikkan badan setelah menyatakan penjelasannya. Shima ikut mengekor dengan napas yang masih menggebu-gebu karena banyaknya emosi yang keluar.
“Jangan harap kamu bisa keluar lagi malam ini. Papa akan terus berada di ruang tamu. Kalau kamu masih melawan, Papa yang akan bunuh diri di depan kamu,” ucap Satya sesaat sebelum menuruni peranakan tangga.
Ancaman yang terucap dari mulut Satya membuat Arjun dan Airin bergidik. Selama ini mereka mengenal papanya sebagai orang yang tak pernah main-main dengan ucapannya. Yang artinya, ancaman itu bukan sekadar gertakan semata.
“Lo nggak apa-apa, Kak?” Airin bertanya setelah orang tuanya tak terlihat lagi.
Arjun tersenyum kecil, lalu menggeleng. “Gue nggak tahu, Rin. Gue nggak tahu.”
Arjun adalah kakaknya yang paling ceria. Dia bagaikan matahari di rumah ini, sedangkan Ardian adalah bulan yang sinarnya lebih misterius dan kelam. Arjun sempat kehilangan cahayanya sewaktu kepergian Ardian, tapi perlahan sinarnya mulai kembali dan menghangatkannya.
Kini, mataharinya kembali tertutup awan mendung. Setelah bertahun-tahun lamanya, ia kembali melihat Arjun yang kembali redup. Kepalanya terus menunduk, enggan bersitatap dengan siapapun.
“Istirahat aja, Kak. Istirahat, ya? Sama ganti baju … lo basah semua,” ucap Airin sambil menangkup kedua pipi Arjun yang memerah karena bekas tamparan.
“Gue bawain kompres ya, Kak. Lo tunggu di sini—”
Airin baru berdiri, tapi Arjun menahan langkahnya dengan menggenggam tangannya erat-erat.
“Nggak perlu,” jawab Arjun. “Gue mau istirahat aja. Lo juga istirahat. Maaf ya bikin lo kaget dan ikut dimarahin Papa Mama.”
Airin terpaksa meninggalkan Arjun sendiri di kamarnya. Membiarkan Arjun memeluk kesenduannya selama beberapa waktu.
“Harus pindah.” Arjun menggumam dengan menatap kosong lantai kamarnya.
Sekarang apa yang harus ia lakukan? Bagaimana lagi caranya meyakinkan kedua orang tuanya? Jika memang harus pergi, lalu bagaimana caranya berkata kepada Mawar?
Arjun mengusap kasar wajahnya dengan dengusan keras. Ia menoleh ke arah jendela selama beberapa saat, lalu beranjak dari duduknya untuk berjalan menuju balkon. Tatapannya tertuju ke balkon kamar Mawar yang sunyi.
Selama kurun waktu lima belas menit lamanya, ia mematung di balkon bersama rintik hujan yang mulai mereda. Ia tidak tahu harus berdiri di sana berapa lama, mungkin bisa sampai pagi jika Mawar tak mencoba keluar ke balkon untuk melihatnya. Ia hanya ingin menatap Mawar untuk terakhir kalinya, sebelum orang tuanya benar-benar membawanya keluar dari kota ini.
Air mata yang tertahan di pelupuk hampir pecah saat Mawar akhirnya keluar dengan keadaan yang sangat berantakan. Mawar pun juga belum berganti pakaian sepertinya. Dia masih basah total dengan wajah yang juga penuh memar.
Ketika Mawar bertanya tentang keadaannya, ia sangat malu karena bagaimana bisa Mawar menanyakan tentangnya saat dirinya sendiri sedang tak baik-baik saja? Ia tak bisa menyelamatkan Mawar, dan esok hari pun mungkin tak akan bisa menemuinya lagi.
Arjun ingin marah pada tulisan takdir saat Mawar pun terus memohon agar ia berhenti. Kenapa semua orang melarangnya mempertahankan janji untuk terus bersama Mawar? Bahkan Mawar pun ikut memohon padanya?
“Udah aku bilang berhenti, Jun. Pikirin keadaan kamu sendiri!”
Arjun tersenyum kecut. Andai Mawar tahu, kalau berdirinya di balkon ini adalah untuk mengucap kalau dirinya memang akan berhenti. Andai Mawar tahu kalau pertemuan malam ini mungkin juga menjadi salam perpisahan bagi mereka. Andai Mawar tahu, kalau ia hanya lelaki tak berdaya yang kalah dari sandera orang tuanya. Namun, tenggorokannya yang tercekat tak mampu mengatakan apapun.
Satu-satunya kalimat yang paling utuh dari lubuk hatinya adalah ungkapan kasih sayang yang tak bisa disembunyikan lagi.
“Aku menyayangimu.”
Kalimat itu terucap bersama rentetan memori saat pertemuan pertama mereka, berbagai kesalahpahaman yang mengantar mereka pada perjalanan-perjalanan luar biasa—senyuman cantik Mawar di bawah lampion Jalan Tunjungan, wajah seriusnya saat merevisi skripsi di perpustakaan kota, sampai tangisannya di Surabaya North Quay. Beribu wajah Mawar yang membuatnya jatuh cinta.
“Jangan, Jun. Sudah kubilang, jangan.”
Mawar bahkan tak memberi penolakan, dia memberi larangan. Sebuah jawaban yang lebih pedih dari dicampakkan.
***
Ada kebiasaan tak tertulis di keluarga Arjun. Seberapa buruk pertengkaran di antara mereka, harus tetap makan di meja yang sama tiga kali dalam sehari. Terkecuali jika harus bekerja atau masih di sekolah dan kampus.
Bagi Arjun, peraturan itu sangat aneh. Tenggorokannya bahkan tak bisa menelan makanan karena keadaan yang terlalu tegang. Pernah mereka harus makan bersama setelah orang tuanya saling bertengkar hebat, alhasil Arjun dan Airin hanya bisa makan dua sendok karena ikut terbawa arus tegang.
“Kak, waktunya sarapan.”
Oleh karena itu, Arjun tetap berpura-pura tidur ketika Airin mengetuk pintu kamarnya. Untuk hari ini saja, ia ingin melanggar peraturan itu. Hidupnya sudah penuh sesak dengan larangan, kini ia hanya ingin tak makan bersama saja. Apa tak boleh?
“Kak.”
Arjun tetap bergeming saat merasakan Airin sudah duduk di tepi ranjangnya. Airin menepuk-nepuk pundak, tapi ia tetap tak memberi reaksi.
“Gue tahu lo pura-pura tidur.”
Kelopak mata Arjun akhirnya terbuka. Helaan napas panjang Arjun menunjukkan seberapa besar rasa lelah yang dirasakan.
“Ayo ke bawah sebelum Mama marah lagi,” tukas Airin.
Arjun menggeleng lemah. “Gue nggak mau.”
“Kak, nanti Papa Mama—”
“Dasar anak kurang ajar!”
Ucapan Airin terpotong oleh pekikan nyaring dari arah luar. Pintu yang mengarah ke balkon memang dibiarkan terbuka sejak semalam.
Arjun yang semula terbaring seperti mayat hidup langsung meloncat dari ranjang. Ia berlari menuju balkon dan menundukkan kepala demi melihat keributan yang terjadi. Airin ikut berdiri di sebelahnya dengan wajah tak kalah panik.
“Berani-beraninya dia kabur lagi!” seruan Tri membuat Arjun dan Airin saling pandang.
“Lo bantuin Kak Mawar lagi, Kak?” tanya Airin dengan pelan.
Arjun menggeleng dengan cepat. “Enggak. Gue nggak tahu sama sekali,” balasnya dengan lirih.
Di bawah sana, Tri masih meraung marah. Yang keluar dari mulutnya hanya makian kepada Mawar.
“Jangan marahin Mawar! Wajar kalau dia kabur! Kamu emang udah jahat ke anak sendiri!” ucap salah seorang tetangga yang ikut menguping semalam.
Emosi Tri makin tak terkendali. Ia berusaha memukul tetangganya, tetapi berhasil ditahan Rafli.
Rafli membawa masuk ibunya dengan paksa. Meskipun raungannya masih bisa terdengar sampai luar dengan pintu yang sudah tertutup rapat.
“Jadi, Kak Mawar benar-benar udah pergi?” gumam Airin.
Arjun tak mampu menjawab pertanyaan itu karena benaknya pun dilanda kegundahan karenanya. Lidahnya kelu untuk sekadar mengiyakan meski firasat mengatakan bahwa Mawar memang sudah pergi.
Tatapan Arjun kini melayang ke balkon Mawar yang kosong. Benarkah ia tak akan melihat sosok Mawar lagi di balkon itu?
“Eh? Apa ini, Kak?”
Lamunan Arjun teralih saat Airin meraih remasan kertas yang berada di dekat kaki. Seketika debaran jantung Arjun membuncah. Ia meraih kertas yang ia yakini sengaja dilempar oleh Mawar.
Saat kertas itu terbuka, tertulis ucapan, “Terima kasih.”
Hanya kata itu yang terdapat di sana, tapi mampu menarik habis air mata Arjun yang sejak semalam sudah menggenang di permukaan.
Ternyata semalam bukan dirinya yang sedang berpamitan, melainkan Mawar. Bukan dirinya yang akan meninggalkan. Bukan.
Arjun ke ruang makan dengan langkah terseret seolah ada rantai besi sepuluh kilo yang terikat di pergelangan kakinya. Airin ikut berjalan pelan di sebelahnya dengan prihatin. Ia tahu betapa hancur kakaknya sekarang.
“Ayo sarapan,” ucap Shima yang sudah duduk di meja makan.
Menu sarapan kali ini adalah soto ayam, makanan kesukaan Arjun. Tapi Arjun terlalu sulit menyendok kuah soto itu karena dibayangi dengan soto ayam yang pernah ia nikmati bersama Mawar sepulang dari perpustakaan.
“Papa udah nyari-nyari tentang kampus sesuai sama kurikulum prodi kamu, jadi kamu bisa menyesuaikan dengan mengurus berkas-berkas di akademik nantinya.” Satya memulai perbincangan yang semalam sempat terhenti. Seratus persen tak peduli dengan air muka Arjun yang makin muram.
“Sebaiknya kita kembali pindah ke Jakarta aja. Banyak kampus bagus di sana. Rumah kita juga masih di sana, jadi—”
“Kita nggak perlu pindah.” Arjun memotong penjelasan papanya dengan cepat.
Satya menggebrak meja. “Sudah Papa bilang kamu nggak boleh ngelawan!”
Mata Arjun yang semula tenggelam ke kuah soto kuning khas Lamongan, akhirnya tertuju ke netra sang papa.
“Mawar sudah pergi. Dia pergi lagi. Dia sudah menghilang, jadi kita nggak perlu pindah,” ucap Arjun dengan wajahnya yang datar, tapi siapapun bisa melihat kesuraman di baliknya.
Arjun langsung berdiri setelah mengatakan hal itu. Ia tak peduli lagi dengan sarapannya yang belum tersentuh, juga aturan makan bersama yang dilanggar. Ia ingin mengurung dirinya sendiri. Membiarkan kesakitannya memiliki ruang yang cukup untuk berekspresi.
Meski demikian, ia tetap berangkat ke kampus sesuai jadwal. Beberapa kali mencoba mencari tanda-tanda keberadaan Mawar meski selalu mendapat hasil nihil. Mawar tak terlihat dimana pun. Dia hilang menjadi buih yang tak tahu kapan kembali.
“Apa kamu masih hidup? Atau sedang dalam pelarian sendiri?”
Pertanyaan itu terus berdengung tiap hari di benak Arjun. Beberapa kali ia ingin bertanya tentang Mawar ke keluarganya, apa sudah mendapat kabar tentang Mawar tapi ia sadar kalau pertanyaan itu lebih tak masuk akal lagi.
Mawar sedang lari dari keluarganya, mana mungkin mengabari sumber masalah?
Dua bulan kemudian, keluarga Mawar mengosongkan rumah. Berdasarkan informasi dari para tetangga, mereka pindah ke Gresik yang merupakan kampung halaman Tri. Maka, lengkap sudah kehilangan yang dirasakan Arjun.
Kini, rumah di depannya telah kosong dan sepi tanpa adanya tanda-tanda kehidupan lagi. Sebagaimana hatinya yang juga telah mati bersama kepergian sang kasih.
"Hiduplah, Mawar. Kumohon tetaplah hidup," bisik Arjun kepada angin malam. Berharap pesannya dapat diterima oleh sang bunga.
***