Loading...
Logo TinLit
Read Story - Manusia Air Mata
MENU
About Us  

“Berani-beraninya kamu main kabur dari rumah!”

Tamparan keras menyambutnya saat Mawar baru membuka pintu rumah. Tubuhnya masih basah total, ia tak sempat mengeringkan diri tapi ibunya yang baru menamparnya keras-keras, bersusah payah masuk ke dalam rumah dan kembali dengan membawa ember berisi air kotor bekas cuci piring.

“Kamu ini bisanya bikin malu! Empat hari ngilang tanpa kabar! Apa sih mau kamu?!” Tri berteriak-teriak sambil melempar Mawar dengan air comberan beserta ember yang mengenai pelipisnya.

Mawar tak terkejut dengan bentakan itu karena sudah terbiasa mendengarnya. Yang ia kejutkan adalah kehadiran Rafli di belakang ibunya. Ia kira lelaki itu sudah kembali ke Jakarta, tapi masih tetap di rumah.

“Kamu habis dari mana aja? Nggak kasian kamu sama Ibu dan Ayah? Kita semua khawatir!” Rafli ikut marah.

“Emang dia itu cuma mikirin diri sendiri! Hobinya bikin orang susah mulu! Mana nggak minta maaf!”

Lengkingan suara Tri dan Rafli mengundang rasa penasaran para tetangga yang sudah mengintip dari balik pagar. Waktu sudah menunjuk pukul sembilan malam dan hujan pun masih deras mendera, tapi para tetangga tetap tak ingin ketinggalan untuk menguping keributan antara Tri dan anaknya yang baru pulang setelah melarikan diri.

“Kenapa diam aja?! Mas-mu ini udah capek kerja, jadi tulang punggung keluarga, tapi kamu malah jahatin dia! Cepet minta maaf sekarang juga!”

Tamparan lain mengenai pipi kanan Mawar yang sudah memerah karena bekas tamparan sebelumnya. Ia sudah menduga kalau ibunya akan mengamuk saat melihat wajahnya lagi, ia sudah mempersiapkan diri untuk itu. Tapi bukan untuk permintaan maaf kepada pelaku yang sudah menghancurkannya.

Bukannya ia yang harus mendengar kata maaf, kenapa sekarang malah dirinya yang harus mengatakan maaf?

“Mawar!”

Saat tamparan ketiga akan mengenai wajahnya lagi, Mawar menampik tangan ibunya. Kepalanya yang semula menunduk sudah terangkat bersama matanya yang menyiratkan amarah.

“DIA YANG HARUS MINTA MAAF!!!” Mawar berteriak kencang—sangat-sangat kencang hingga menyentak ibunya dan Rafli, juga ayahnya yang diam-diam mengintip dari ruang tengah. Berbeda dengan para tetangga yang makin berkumpul dan memasang telinga.

“BERANINYA KAMU BENTAK IBU!!” 

Tri mengangkat tangganya, kembali memukuli Mawar di wajah, lengan, bahu dan punggungnya. 

Mawar yang kesakitan akhirnya mendorong sang ibu dengan sekuat tenaga sampai jatuh terpental ke lantai. Rafli mendelik kaget, lalu menunjuk-nunjuk Mawar dengan raut garang.

“Kurang ajar kamu! Berani banget sama orang tua!” Rafli mendekat dan sudah mengangkat tangannya untuk ikut menampar Mawar. 

Mawar biasanya selalu takut saat berhadapan dengan Arjun, tapi rasa lelah, tertekan, kedinginan, dan nyeri yang dirasakan di seluruh tubuhnya membuat emosi tertahannya meledak. Sebelum tamparan Rafli  mengenainya, ia lebih dulu menendang area sensitif Rafli sekeras mungkin hingga dia terhuyung-huyung ke belakang dan terjatuh di sebelah Tri.

“CUKUP!” pekik Mawar dengan suara terkeras yang pernah keluar dari mulutnya.

“Aku udah muak! Kalian yang udah nyakitin aku! Kalian yang udah bikin aku begini!” 

“Kamu—”

Tri bangkit, berjalan mendekati Mawar tapi Mawar melawan dengan melempar pigura foto yang terpajang di dinding. Ia mulai membantingi barang-barang di sekitarnya seperti orang kesetanan hingga Tri dan Rafli tak berani mendekat.

Berhenti, Mawar!”

“AAARRGHHH!!!!”

Mawar benar-benar kehilangan akal. Meja kayu di dekatnya pun sudah terguling hingga lapisan kaca di permukaannya pecah. Ruang tamu itu dipenuhi dengan serpihan beling di tiap sudut.

“MAWAR!”

“DIA YANG UDAH LECEHIN AKU! DIA YANG NYAKITIN AKU! KENAPA IBU MASIH BELA DIA?! KENAPA IBU MALAH NYALAHIN AKU?!”

Tri kembali menampar Mawar hingga Mawar berhenti berteriak. Tapi keheningan itu tak berlangsung lama karena Mawar kembali mengamuk.

Selama ini ia sudah menahan diri atas segala perlakuan buruk dari ibunya, ia masih sanggup untuk menekannya. Namun, tidak dengan luka yang ditorehkan oleh Rafli dan malah mendapat dukungan penuh dari ibunya.

“Pukul aku sampai ibu puas! Pukul aja! Ibu emang selalu mukul aku, kan?!” 

Mawar meraih tangan ibunya, lalu memukulkan tangan itu ke wajahnya lagi secara berkali-kali.

“Pukul aja! Tampar aja! Siksa aku sampai mati! Aku udah capek ngadepin Ibu!”

“Mawar!” 

Rafli berteriak. Dia sudah berdiri dengan wajah yang makin memerah marah. 

Mawar berdecih, “Apa? Kenapa? Mas benci aku soalnya nggak sempet perkosa aku? Mas benci soalnya aku keburu lari?” 

“DIAM, MAWAR!”

Saat Rafli akan mendekati Mawar, kepala belakangnya tiba-tiba ditimpuk dengan pigura foto lain yang sebelumnya terpajang di ruang tengah. Foto kebanggaan Rafli yang mengenakan toga itu sudah pecah berkeping-keping di lantai. Dan pelakunya adalah sang ayah.

Cara Maja berdiri memang sempoyongan. Tangan kirinya terus mendekap kaku di depan dada dan mulutnya yang miring karena stroke tak mampu menahannya untuk terus berdiam diri. Maja berjalan dengan kaki menyeret saat mendekati Mawar yang tubuhnya sudah bergetar hebat.

“Cu–cukup ka–kalian! Ja–jangan ganggu Ma–Mawar!” pekik Maja dengan suara terbata. 

Untuk sesaat, Mawar termangu. Ayahnya memang sudah kesulitan berbicara dan baru kali ini dia berteriak, yang mana membutuhkan usaha lebih keras.  

“Nggak usah ikut campur! Kamu juga biangnya masalah! Anak sama Bapak sama ae!”

Mata Tri yang sudah menggelap turut menyerang Maja. Ia mendorong tubuh suaminya hingga terjatuh di atas pecahan kaca yang tersebar di seluruh lantai ruang tamu. 

Mawar berlari ke arah ayahnya, lalu memeluk tubuh sang ayah dengan erat. Tatapannya makin menghunus tajam kepada sang ibu yang berkacak pinggang di depannya.

“Kalian berdua sama-sama nggak berguna! Mending mati daripada nyusahin aku sama Rafli!” berang Tri. 

“Aku juga nggak mau terus hidup! Aku mau mati! Aku akan mati sekarang juga!” Mawar balas berteriak. 

Tangannya meraih pecahan beling paling besar di dekatnya, lalu dengan cepat menggoreskannya ke pergelangan tangan. Namun Tri menendang tangan Mawar hingga pecahan itu terlepas dari genggamannya sebelum ujung beling yang tajam menancap ke kulit.

“Kamu nggak boleh mati sekarang! Kamu belum bayar semua hutang-hutang kamu dari bayi sampai segede ini ke Ibu!” Tri menjambak rambut Mawar hingga wajah Mawar dipaksa mendongak untuk menatapnya. “Kamu boleh mati, tapi nanti!”

Tri melepaskan jambakan sebelum melangkah masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu. Tersisa Rafli yang berdiri dengan napas menggebu. Matanya masih terkunci kepada Mawar, tapi kemudian ikut melangkah pergi menuju kamarnya di lantai dua. 

Ruangan yang sudah pecah itu tak sebanding dengan seberapa besar kehancuran yang Mawar rasakan. Di detik saat ia mengira akan mengakhiri semuanya, justru menjadi waktu paling traumatis dan menyedihkan. 

Ia hanya ingin mati. Keinginannya tak muluk-muluk. Tapi untuk melakukannya pun tak bisa dan harus memenuhi syarat boleh mati. Oh, betapa konyol kehidupan yang dimilikinya.

“Ma—maafin A—Ayah. Ma–maaf, Nduk.” Maja berkata ketika ruang tamu sudah sepi. Tersisa suara rintik hujan dari luar yang mulai mereda. Juga gaungan bisikan yang saling sahut-menyahut dari para tetangga.

“Ma—maaf.”

Permohonan maaf itu kembali terulang dengan derai air mata Maja. Mawar membalas dengan memeluknya erat. Berharap semoga pelukan itu mampu membuat ayahnya mengerti bahwa ia sudah memaafkan.

Ayahnya dulu memang pernah menyakitinya dengan amat dalam, tapi dia menjadi orang satu-satunya di dalam keluarga ini yang masih membelanya. Jadi, bagaimana mungkin ia tak memaafkan?

“Ayah istirahat, ya. Maaf sudah bikin khawatir,” ujar Mawar. 

Mawar menyeret kakinya untuk berjalan menaiki tangga. Tak lupa di tangannya menggenggam mainan pedang milik Lea yang bisa digunakan sebagai senjata jika Rafli masih ingin berbuat macam-macam kepadanya.

Anak itu sedang di rumah nenek di Gresik. Ayahnya sempat bercerita saat ia mengantar ke kamar sang ayah. Lea dititipkan di rumah neneknya dulu karena ibunya yang terus-menerus mengamuk sejak ia pergi dari rumah. Dan hal itu membuatnya sangat bersyukur karena Lea tak harus melihat kekacauan yang terjadi. 

Cukup dirinya saja yang menyimpan trauma mendalam karena keluarga ini, ia tak mau Lea yang masih kecil itu harus terkejut dan ketakutan dengan apa yang baru saja terjadi. Meski terkadang Lea sangat menyebalkan dan suka tantrum, ia menyayangi adiknya dengan sepenuh jiwanya.

Sesampainya di lantai dua, Mawar menghela napas lega karena tak ada tanda-tanda Rafli akan menunjukkan batang hidungnya lagi. Buru-buru ia masuk ke dalam kamar dan menguncinya dengan cepat.

Kelegaan itu tak berlangsung lama saat ia melihat betapa kacau keadaan kamarnya. Pintu lemarinya terbuka lebar dan memuntahkan semua pakaiannya. Beberapa helai baju itu bahkan tersisa sedikit. Ia tak tahu kemana pakaiannya menghilang, bisa jadi sudah dibuang oleh ibunya.

Setelah puas melihat keadaan lemari, ia berjalan dengan lesu menuju meja belajar. Laptop dan ponselnya masih utuh. Tapi ia tak merasa lega ataupun bahagia melihatnya.

"Laptop ini udah nggak ada gunanya. Aku udah capek terus-terusan revisi. Aku udah capek berharap bakal lulus,” batin Mawar.

Tangannya pun menyentuh permukaan laptopnya dengan mata berair. Seakan-akan ingin menyampaikan perpisahan dan terima kasih yang mendalam karena sudah berjuang bersama meski tak sampai akhir.

Kemudian, ia meraih ponselnya. Layar ponsel itu mati total karena kehabisan daya. Mawar ingin mengabaikannya tetap di meja belajar, toh tak ada yang bisa dihubungi dan akan menghubunginya. Ia tidak sepenting itu sehingga ada atau tiadanya tak akan berpengaruh banyak ke orang lain. Mungkin teman-temannya akan berduka, terutama Adel yang pasti butuh waktu lebih lama. Tapi selanjutnya, ya sudah. Dunia ini tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Mawar duduk di tepi ranjang dengan ratapan kosongnya. Kehampaan itu begitu besar hingga ia tak mampu merasakan dan mendengar apapun. Jiwanya seolah ikut tersedot dalam lubang tak berujung, di mana kau akan kehilangan napas karena terlalu lama berada di dalamnya.

Kini, Mawar sudah tak memiliki tujuan hidup lagi. Impian untuk sidang dan wisuda sudah terpupus, bahkan keinginannya untuk mati juga harus musnah. Ia bisa saja tak memedulikan ucapan ibunya, tapi ia adalah manusia paling anti memiliki hutang. 

Satu-satunya hal yang bisa dilakukan sekarang adalah lekas bekerja banting tulang. Lalu, ia akan pulang bersama sekoper uang yang bisa dilempar ke depan ibunya. Barulah, ia bisa mati dengan penuh lega. 

“Tapi, pekerjaan apa yang bisa mendapat gaji besar secepatnya?”

Mawar menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan yang dingin. Tubuhnya memang basah total karena kehujanan, tapi ia tak memiliki niatan untuk mengganti baju. Untuk apa? Pakaian itu pun tak mampu menghangatkan sampai ke dalam hatinya. 

Mawar baru mendongakkan wajah saat mendengar bunyi aneh dari jendela kamarnya. Seperti diketuk, tapi secara ringan. Ia berpikir mungkin hanya perasaannya saja tapi saat mendengar suara yang lebih keras, ia yakin memang ada yang mengetuk jendela kamar. 

Ketika Mawar keluar ke balkon, sudah ada Arjun yang berada di seberangnya. Hujan sudah berhenti, sehingga pandangan Mawar ke Arjun tampak jelas. Ia bisa melihat tiap lekuk wajah Arjun yang kini tak kalah berantakan dengannya. Kedua pipi Arjun juga lebam, tanda jika dia juga baru saja mendapat pukulan keras.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Mawar, suaranya agak dikeraskan agar Arjun bisa mendengar dari seberang sana. 

Arjun tersenyum. Ujung bibirnya yang pernah terluka beberapa hari yang lalu, kembali berdarah lagi hingga memarnya terlihat lebih jelas saat Arjun menarik bibirnya ke atas.

I am not. Aku nggak bisa bantu kamu padahal aku denger kekacauan di rumah kamu. Jadi, aku nggak baik-baik aja. Aku gagal ngelindungi kamu,” balas Arjun. 

Mawar mendengus. “Udah aku bilang berhenti, Jun. Pikirin keadaan kamu sendiri!”

Arjun hanya mengedikkan bahu. Ia tak melepaskan senyumannya barang sedetik. Tatapannya pun lurus-lurus ke arah Mawar seakan takut kehilangan Mawar jika mengedip barang sedetik. Ia paham kalau Mawar hanya menganggap ucapannya sebagai angin lalu, tapi ia sungguh-sungguh runtuh saat melihat wajah Mawar yang memerah karena bekas tamparan.

“Masuk, Jun! Kamu belum ganti baju!” seru Mawar kemudian. 

“Kamu juga belum ganti baju!” Arjun menyahut. 

Mawar menghela napas panjang. Memang sangat sulit mengalah dari perbincangan bersama Arjun. 

“Aku mau masuk sekarang,” putus Mawar. 

Mawar membalikkan tubuhnya. Tapi baru selangkah ia memasuki kamar, seruan Arjun membuatnya membeku sempurna.

“Aku menyayangimu.”

Pernyataan itu tak diucapkan secara lantang, tapi tetap terasa tegas dan penuh keyakinan. Bahkan Mawar yakin kalau suaranya terkesan lebih lirih. Namun angin malam berhasil mengantar sampai ke lubang telinganya, lalu masuk dan mengoyak-oyak hatinya.

Mawar menoleh ke belakang, ke tempat Arjun yang masih berdiri dengan penuh kegoyahan. 

“Jangan, Jun,” balasnya sambil menggeleng pelan. “Sudah kubilang, jangan.”

Jawaban dari Mawar sudah sangat mutlak. Mawar tak bisa berkata lebih banyak lagi hingga ia menutup pintu rapat-rapat, sebagaimana ia menutup pintu yang menuju hatinya. Sampai kapanpun ia tak akan mengizinkan perasaan seindah kasih sayang masuk ke dalam hati. 

Tidak di saat ia bahkan tak tahu cara untuk mencintai dirinya sendiri. 

Di dalam ruang kamarnya yang berantakan, akhirnya Mawar meraih ponselnya. Ia memasukkan kabel daya ke ponsel dan menunggu sampai ponselnya hidup. 

Tujuan hidup yang semula samar kini mulai tergambarkan sejak melihat keadaan Arjun yang sangat berantakan. Ia yakin seratus persen kalau Arjun juga baru saja mengalami perpecahan yang besar di rumahnya. Dan ia paham kalau dirinya adalah penyebab Arjun mendapat amukan orang tuanya. 

Arjun sudah menderita … sangat menderita. Ia tak bisa terus-terusan berada di hidup Arjun dan membuatnya makin menderita. Ia tak bisa terus berlama-lama menampakkan diri di depan Arjun. Pun ia juga tak sanggup jika harus tetap berada di rumah ini. 

Ia harus pergi. Sejauh mungkin. Tapi kali ini harus menghilang dalam sunyi. 

Lamunannya mengabur saat ponsel putih itu kembali hidup karena sudah memakan beberapa persen daya. Saat mengaktifkan data internet, ia dikejutkan dengan pesan-pesan beruntung dan banyaknya panggilan dari orang yang paling tak terpikirkan. 

Mawar tersentak saat ponselnya kembali berdering. Menunjukkan satu panggilan masuk, dari Bu Endang.

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
When Home Become You
438      330     1     
Romance
"When home become a person not place." Her. "Pada akhirnya, tempatmu berpulang hanyalah aku." Him.
Dari Sahabat Menjadi...
535      370     4     
Short Story
Sebuah cerita persahabatan dua orang yang akhirnya menjadi cinta❤
Sweet Scars
299      248     1     
Romance
Kutu Beku
379      254     1     
Short Story
Cerpen ini mengisahkan tentang seorang lelaki yang berusaha dengan segala daya upayanya untuk bertemu dengan pujaan hatinya, melepas rindu sekaligus resah, dan dilputi dengan humor yang tak biasa ... Selamat membaca !
Hidden Words Between Us
1419      639     8     
Romance
Bagi Elsa, Mike dan Jo adalah dua sahabat yang paling disayanginya nomor 2 setelah orang tuanya. Bagi Mike, Elsa seperti tuan putri cantik yang harus dilindunginya. Senyum dan tawa gadis itu adalah salah satu kebahagiaan Mike. Mike selalu ingin menunjukkan sisi terbaik dari dirinya dan rela melakukan apapun demi Elsa. Bagi Jo, Elsa lebih dari sekadar sahabat. Elsa adalah gadis pertama yang ...
Dear Groom
513      366     5     
Short Story
\"Kadang aku berpikir ingin seperti dulu. Saat kecil, melambaikan tangan adalah hal yang aku sukai. Sambil tertawa aku melambaikan tangan pada pesawat yang lewat. Tapi sekarang, bukan seperti ini yang aku sukai. Melambaikan tangan dengan senyuman terpaksa padanya bersama orang lain.\"
MERAH MUDA
517      375     0     
Short Story
Aku mengenang setiap momen kita. Aku berhenti, aku tahu semuanya telah berakhir.
Veintiséis (Dua Puluh Enam)
835      459     0     
Romance
Sebuah angka dan guratan takdir mempertemukan Catur dan Allea. Meski dalam keadaan yang tidak terlalu baik, ternyata keduanya pernah memiliki ikrar janji yang sama sama dilupakan.
Love Invitation
574      404     4     
Short Story
Santi and Reza met the first time at the course. By the time, Reza fall in love with Santi, but Santi never know it. Suddenly, she was invited by Reza on his birthday party. What will Reza do there? And what will happen to Santi?
AKSARA
6552      2225     3     
Romance
"Aksa, hidupmu masih panjang. Jangan terpaku pada duka yang menyakitkan. Tetaplah melangkah meski itu sulit. Tetaplah menjadi Aksa yang begitu aku cintai. Meski tempat kita nanti berbeda, aku tetap mencintai dan berdoa untukmu. Jangan bersedih, Aksa, ingatlah cintaku di atas sana tak akan pernah habis untukmu. Sebab, kamu adalah seseorang yang pertama dan terakhir yang menduduki singgasana hatiku...