“Mama kan udah bilang berkali-kali sama kamu buat jauhin dia! Terus sekarang apa? Kamu malah anterin dia ke rumah sakit? Jangan-jangan kamu bayarin juga biayanya?”
Shima sudah meledak-ledak di ruang keluarga sejak suaminya berkata bahwa Arjun menemani Mawar di rumah sakit. Sudah dua puluh menit sejak Arjun dan papanya sampai, dan selama itu pula ia berubah menjadi tersangka yang duduk lesu di kursi, sedangkan mamanya mondar-mandir di depannya bagai hakim.
“Dia pingsan, Ma. Nggak mungkin aku biarin gitu aja, kan?” Arjun membela diri. Mencoba mencari jawaban paling masuk akal yang mungkin bisa diterima.
“Kalau dia pingsan pasti nantinya ada yang nolong! Kenapa harus kamu?”
“Kenapa nggak harus aku? Aku yang lihat dia pingsan!”
Bagi Arjun, kemarahan mamanya sangat tak masuk akal. Sejak mamanya memberi peringatan tentang Mawar, ia sudah keheranan dengan pola pikirnya. Kini semuanya makin runyam karena kedua orang tuanya benar-benar mengamuk hanya karena ia membantu Mawar berobat.
“Lihat! Kamu udah kena pengaruh buruknya! Berani-beraninya kamu pakai nada tinggi ke Mama.” Shima memukul-mukul dadanya dengan raut syok. Pancaran matanya yang dipenuhi emosi sudah bercampur dengan air mata.
“Arjun. Minta maaf ke Mama,” sahut Satya dengan suara dalamnya.
“Maaf.” Arjun menurut, tapi kembali bersuara, “tapi Mama juga harus minta maaf karena selalu ngomong jelek soal Mawar.”
“Arjun!”
Suara tamparan memenuhi seisi rumah. Tak ada suara lain yang mengikuti setelahnya. Hanya deru napas tersengal dari Shima yang baru saja meluapkan kemarahannya.
Arjun kehilangan kata-kata karena terlampau kaget dengan tamparan itu. Pada akhirnya, ia memilih beranjak dari kursi dan naik ke kamarnya dengan langkah cepat. Ia sempat terhenti di tengah tangga saat melihat Airin berdiri termenung di sana.
“Kak—”
Airin mencoba menyapa, tapi Arjun melewatinya tanpa bicara.
Tubuhnya rebah di kasur yang belum sempat dirapikan sebelumnya. Tadi ia memang buru-buru keluar karena melihat Mawar akhirnya membuka pagar.
“Kak.”
“Apa sih?”
Matanya baru terpejam beberapa detik untuk menenangkan diri, tapi Airin sudah menyelinap ke kamar. Emosinya belum reda benar sehingga ia turut bernada tinggi saat Airin mendekat.
“Ck! Gue cuma mau bantu ngompres pipi lo. Kok lo jadi ikut marah-marah ke gue,” timpal Airin sambil meletakkan es batu yang berbalut sapu tangan ke pipi Arjun.
Arjun mengambil alih es batu itu, lalu mengompresnya perlahan ke sisi wajah yang masih ngilu karena tamparan mamanya.
“Sori,” ucapnya kemudian setelah duduk tegap, berhadapan dengan Airin yang duduk bersila di kasurnya.
Airin mengangguk. Matanya tak lepas dari wajah sang kakak yang kusut maksimal, ditambah memar yang mulai terlihat di pipi kirinya. Ia ikut meringis saat Arjun mendesah kesakitan.
“Baru kali ini gue lihat Mama marahin lo … setelah kejadian itu.” Airin membuka obrolan. Arjun hanya menanggapi dengan lirikan tiga detik, sebelum kembali fokus mengompres pipi.
Kejadian itu.
Ya, ia masih ingat dengan jelas betapa marahnya mama, juga papanya. Waktu itu ia tak hanya mendapatkan tamparan, tapi juga jambakan dan tendangan. Ia bahkan tak sempat merasa kesakitan atas pukulan orang tuanya, karena hatinya lebih banyak menyimpan duka. Karena sejatinya, ia juga membenci dirinya sendiri. Ia pun ingin memukuli dirinya habis-habisan waktu itu.
“Lo sesuka itu ya sama Kak Mawar?” tanya Airin, meleburkan lamunan Arjun.
“Gue nggak suka Kak Mawar.”
Mata Airin merotasi malas. “Masih denial aja.”
Arjun melepaskan sapu tangan yang membalut es batu dari wajahnya, lalu menatap Airin dengan sungguh-sungguh.
“Gue cuma kasihan aja ke dia,” akunya.
“Itu lebih buruk lagi!” seru Airin. “Nggak ada orang di dunia ini yang suka dikasihani,” tambahnya.
“Gue tahu.”
“Terus?”
“Tapi gue bisa ngelihat Kak Ardian waktu lihat Kak Mawar.”
Hampa menjadi satu-satunya yang terpancar di mata Mawar. Mata itu seolah tak memiliki ketertarikan lagi pada dunia. Mata itu tidak sedang melolongkan permintaan tolong, juga tidak membawa telaga yang siap meluapkan airnya. Mata itu … hanya kosong.
Saat melihat Mawar menangis, ia sudah cukup merasa bodoh dan bersalah karena menjadi alasan tangisannya. Ia berusaha untuk memperbaiki kesalahannya, mencoba menghiburnya, mencoba menemaninya.
Dan dari segala percobaan itu, ia mulai berambisi ingin memunculkan binar di mata Mawar. Kebahagiaan yang dirasakan saat melihat Mawar tertawa bahkan lebih besar daripada saat ia pertama kali belajar merokok dari Bima. Kebahagiaan itu terasa sederhana, juga penuh kehangatan.
“Lo tahu kan nggak bisa samain mereka berdua gitu aja,” komentar Airin. Suaranya jadi lebih rendah.
Mereka jarang membicarakan mendiang kakak sulungnya. Karena pembahasan itu terlalu menyakitkan bagi mereka yang ditinggalkan.
“Dia juga kesulitan, Rin. Dia kesulitan dan butuh pertolongan, kayak Kak Ardian dulu. Gue takut kalau gue telat nyelametin orang lagi.” Arjun berusaha memberi penegasan.
Airin bisa memahami dari matanya yang gusar. Dari semua anggota keluarga, ia tahu kalau Arjun yang masih mengalami trauma mendalam.
Arjun masih menyimpan hari terakhir saat bersama Ardian dengan apik di lubuk hatinya. Hari saat mereka pergi memancing bersama ke sungai, dan Arjun yang jadi saksi mata saat Ardian sengaja meloncat ke dalam arus deras.
“Kalau kamu nggak rewel minta mancing, kakakmu pasti masih hidup!”
“Kak ….” Airin menyeruduk Arjun dengan pelukan. “Keputusan Kak Ardian bukan salah lo. Perginya Kak Ardian juga bukan karena lo. Lo harus berhenti merasa bersalah.”
Airin memang terlampau belia saat kehilangan kakak sulungnya. Kehilangan yang ia rasakan waktu itu terasa lebih pahit karena kepergian Ardian seolah turut membawa pergi Arjun.
Orang tuanya melampiaskan kemarahan kepada Arjun hingga mengubahnya jadi penyendiri. Arjun lebih memilih mengurung diri di kamar daripada menemaninya bermain. Semuanya baru kembali normal saat buku harian Ardian ditemukan.
Mereka menangis tiada henti saat mengetahui tekanan yang selama ini disimpan Ardian karena dipaksa masuk studi kedokteran. Depresi sudah menggerogoti mentalnya sejak awal kuliah. Pada saat itu pula, mereka kembali merangkul Arjun, bahkan bersikap lebih lunak dengan membebaskan memilih jurusan apapun selama perkuliahan.
“Jadi, Kak … apapun yang terjadi sama Kak Mawar, itu juga bukan tanggung jawab lo. Apalagi kalian juga baru kenal. Lo harus coba atur simpati lo biar nggak terlalu berlebihan.”
Airin mengakhiri wejangannya dengan menepuk-nepuk punggung Arjun. Tak ada jawaban yang bisa keluar dari mulut Arjun selain anggukan. Setidaknya, itu cukup memuaskan Airin hingga ia bisa kembali ke kamarnya dengan lebih lega.
Selama beberapa saat, Arjun menghabiskan waktu dengan duduk termenung di tepi ranjang. Tangannya masih menggenggam es batu yang dikompres ke pipi. Dalam perenungan itu, Arjun menyetujui ucapan Airin. Mungkin selama ini ia memang sudah bersikap berlebihan. Mawar hanya orang asing dan ia tak harus peduli atas apa yang terjadi dalam hidupnya.
***