Loading...
Logo TinLit
Read Story - Manusia Air Mata
MENU
About Us  

Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang menyukai rumah sakit. Para pekerja—dokter, suster, keluarga yang menjaga dengan wajah lelah di kursi-kursi tunggu, lebih-lebih pasien yang hanya bisa berbaring di kasur dengan lemas. Semua orang pasti membencinya. Dan Arjun bagian dari orang-orang yang membenci tempat itu.

Masih jelas terekam di benaknya, seberapa banyak air mata yang tumpah di lorong rumah sakit lima tahun lalu. Ketika pintu ruang operasi dibuka dan dokter yang menyatakan kakaknya tak bisa diselamatkan. Kakaknya, Ardian, harus meninggalkan dunia di usia yang baru menginjak kepala dua.

Sejak saat itu, kakinya selalu kram ketika  menginjak rumah sakit. Ia lebih memilih menahan rasa sakitnya daripada berobat ke tempat ini, tetapi ia telah menyingkirkan ketakutannya demi membawa Mawar ke hadapan dokter.

“Tifus dan vertigo.” 

Begitulah diagnosa yang diberikan setelah Mawar diperiksa. Hasil laboratorium yang menunjukkan positif tifus masih tertera di genggamannya, sedangkan matanya tak lepas dari tangan Mawar yang terinfus.

“Saya mau pulang.” Mawar kembali mengatakan hal yang sama untuk ketiga kalinya sejak ia sadar lima belas menit yang lalu.

“Kak Mawar nggak denger ucapan dokter tadi? Kakak positif tifus sama vertigo. Harus rawat inap,” jelas Arjun, untuk ketiga kali pula.

“Udah nggak pusing kok.”

Mawar bersikeras untuk duduk. Matanya kembali menggelap beberapa saat hingga tubuhnya kembali terhuyung. Untungnya Arjun cepat tanggap menangkap Mawar.

“Begini yang katanya udah nggak pusing?” sungut Arjun.

Mawar berdehem. Ia menepis tangan Arjun yang masih di bahu dan punggungnya, lalu kembali mengatur posisi duduk hingga kakinya menggantung di sisi tempat tidur.

“Istirahat di sini sehari aja, Kak. Please. Kamu di rumah juga bakal diusir lagi,” cecarnya kemudian.

Arjun paham betul kalau ucapannya memang sudah keterlaluan, tapi ia terlalu geram karena melihat Mawar yang tetap keras kepala.

“Saya diusir pun bukan urusan kamu. Kita juga bukan teman. Kamu nggak perlu nolongin saya,” timpal Mawar, tak kalah berang.

Mawar sudah hampir mencabut infus di punggung tangannya, sampai ia tersadar kalau kancing lengannya terbuka sehingga menampakkan sebagian kulit tangan. Artinya, sejak tadi Arjun melihat luka yang tersembunyi di balik kain lengannya.

“Kamu tahu?” 

Arjun memalingkan wajah dari pertanyaan Mawar. Reaksi itu cukup untuk memberinya jawaban.

“Jadi kamu tahu.”

Ya, Arjun memang tahu. Sejak para perawat menggulung lengan kemeja Mawar, ia sudah tahu kalau ada banyak sayatan di sana. Yang tak ia ketahui hanyalah beban sebesar apa yang dirasakan Mawar sampai tega menyakiti dirinya sendiri.

“Jangan bilang siapa–siapa kalau gitu,” tutur Mawar lagi. Terlihat tenang sekali.

Arjun mendengus. “Memangnya saya bakal bilang ke siapa?” 

“Ya … siapa tahu.”

Ada hening yang kental di antara mereka berdua, meski ruang IGD itu penuh sesak dengan para pasien. Dokter-dokter dan para perawat sibuk mondar-mandir mengecek pasien yang terus datang silih berganti.

“Kakak udah pernah coba ke psikolog?"

Ucapan Arjun memecah sunyi di antara mereka. Mawar sebenarnya tak suka membahas ke ranah ini, apalagi Arjun adalah satu-satunya orang yang mengetahui rahasianya. Tapi percuma saja ditutupi jika dia sudah melihat luka-luka yang tersembunyi itu.

“Enggak. Nggak pernah ke psikolog. Nggak kepikiran juga.”

“Kenapa?”

“Mahal.”

Arjun kembali diam. Alasan yang diberikan Mawar tak bisa dielak. 

“Ke psikiater gimana? Psikiater bisa ditanggung asuransi.”

Mawar kira Arjun sudah selesai mengintrogasinya, tapi dia memang tak kenal lelah.

“Nggak punya BPJS juga. Udah pisah dari BPJS keluarga.”

“Kenapa nggak diurus, Kak?”

“Karena—” Mulut Mawar yang terbuka urung untuk melanjutkan kata. Matanya mendelik pada Arjun. “Kamu ini … cerewet banget, ya? Mau sensus penduduk? Apa jadi agen asuransi?”

“Maaf, Kak.”

Arjun sontak menunduk. Kembali menjadi anak ayam yang takut dimangsa. 

“Udah deh. Pokoknya saya mau pulang. Kasih ke saya semua totalan biaya rumah sakitnya.”

Tangan Mawar kembali ingin mencabut selang infus di tangannya, tetapi Arjun buru-buru menahan dengan menggenggam tangan kanannya erat-erat. 

“Kalau gitu tunggu sampai infusnya habis dulu, Kak. Sayang banget. Kakak pergi sekarang juga infusnya bakal kena biaya,” tukas Arjun dengan cepat. 

Mawar memandangi genggaman Arjun, lalu menghempaskannya dengan dengusan. 

“Huh! Oke!”

Mau tak mau Mawar kembali berbaring ke kasur rumah sakit itu dengan memunggungi Arjun. Ia memilih tak mengelak lagi karena yang diucapkan Arjun memang benar. Ia tak mau rugi dengan membuang cairan infus yang sudah dibayar mahal-mahal.

“Tidur aja, Kak. Saya mau bilang ke petugas administrasi kalau nggak perlu siapin kamar sama sekalian cari makan dulu.”

“Hm.”

Mawar baru berbalik setelah mendengar langkah Arjun yang menjauh. Tatapannya sudah berubah kosong saat menatap langit-langit putih di atasnya. Kepalanya hanya sibuk membayangkan betapa murkanya nanti sang ibu jika ia pulang tanpa membawa uang. Sepertinya ia harus mengambil tabungan di ATM yang sudah disiapkan untuk wisuda.

Arjun kembali sepuluh menit kemudian. Sangat cepat bagi Mawar yang masih ingin sendiri. Di tangannya sudah ada bubur ayam yang ditenteng dengan senyum lebar.

“Pas banget di depan rumah sakit ada yang jualan bubur. Kakak belum makan, kan?” 

Arjun membuka wadah bubur itu, lalu menyodorkan ke depan Mawar yang sudah duduk.

“Berapa? Nanti saya ganti juga,” ucap Mawar.

“Nggak perlu, Kak. Ini saya traktir. Kan Kakak dulu pernah ngetraktir saya.”

Mawar menatap Arjun lebih lama, lalu mengangkat sesendok bubur ke mulutnya.

“Masukin sekalian aja ke bill biaya rumah sakit.”

Keras kepala Mawar memang tak bisa didebat, jadi Arjun pasrah mengangguk. Ia juga tetap setia menunggu Mawar meski sudah diusir berkali-kali hingga Mawar menyerah daripada pusingnya kembali lagi.

“Saya semester ini ambil tiga kelas bahasa. Rasanya capek banget.”

Pun Mawar juga hanya bisa mendengar semua cerita Arjun yang terus meluncur dari mulutnya. Tentang kehidupan perkuliahannya, teman-temannya, bahkan hal-hal konyol yang pernah dialami.

“Sebenernya semester kemarin udah ambil bahasa Sansekerta, tapi pas ujian lupa nggak bawa catatan aksara jadi ngulang deh.”

“Bisa-bisanya lupa!”

“Hehehe. Ya gimana lagi, Kak.”

Prodi Sastra Indonesia di kampus mereka memang diwajibkan mengambil enam kelas bahasa asing untuk menunjang kelulusan. Di antara banyaknya pilihan bahasa, Mawar juga tak mengerti kenapa Arjun memilih Sansekerta yang biasanya diambil mahasiswa filologi.

“Kamu tertarik sama filologi?”

Saat Mawar menyanyikan hal itu, Arjun menggeleng cepat. “Enggak! Susah banget, Kak!”

“Terus kenapa ambil Sansekerta?”

“Penasaran aja sih. Siapa tahu habis kelas bisa nonton film India tanpa subtitle.”

“Tapi zaman sekarang di India lebih banyak gunain bahasa Hindi. Bahasa Sansekerta digunakan waktu perayaan besar dan acara keagamaan.”

“Hah? Terus saya tetep nggak bisa nonton film India tanpa lihat subtitle dong?”

Wajah melongo Arjun yang syok berat membuat Mawar meledakkan tawa. Meski ia harus membekap mulutnya sendiri agar tak menimbulkan berisik di ruang IGD yang lebih banyak menyimpan ketegangan.

Melihat Mawar yang tertawa lebar membuat Arjun lega. Ia ingin terus mempertahankan tawa itu dengan kembali menceritakan kekonyolan yang lain meski ia akan dicap sebagai orang bodoh. Yang penting, Mawar bisa tertawa karenanya.

Mereka terus mengobrol dan bercanda sambil menanti tetes demi tetes cairan infus. Selama hampir enam jam bersama, Mawar bisa tahu latar belakang Arjun, makanan kesukaannya yang semula martabak asin berubah jadi tahu telur semenjak di Surabaya, minuman kemasan rasa leci, juga permen mint yang selalu disimpan di saku pakaiannya. Mawar menghabiskan dua bungkus permen selagi mendengar dongeng Arjun. 

“Udah bisa dilepas sekarang, Kak. Saya panggilin perawat.” Arjun beranjak setelah tabung infus di sebelah Mawar sudah mengkerut karena kehabisan cairan.

Saat keluar dari rumah sakit, jam menunjuk pukul tiga sore. 

“Saya udah pesen taksi, Kak. Kita tunggu di kursi tunggu depan aja,” celetuk Arjun sembari mengantongi ponselnya lagi setelah membaca bahwa driver akan sampai dalam sepuluh menit.

“Kamu nggak bawa motor?” tanya Mawar. Pasalnya, ia ingat kalau Arjun datang bersama motornya sebelum kesadarannya hilang.

“Motornya saya tinggal gara-gara panik. Jadi langsung bawa Kakak pakai taksi juga.” 

“Hah? Terus motornya?”

Mawar melotot tak percaya. Arjun jadi makin panik dan melanjutkan ucapan, “Adik saya udah ambil motornya kok! Dia langsung saya telepon!”

Keinginan Mawar untuk mendumel sangat besar, tapi mengingat kecerobohan Arjun karena panik menyelamatkannya membuat ia diam saja. Mereka kembali berjalan menuju pintu utama untuk keluar rumah sakit.

“Arjun?”

Mereka sudah di dekat pintu saat seorang lelaki setengah baya memanggil Arjun dengan kebingungan. Mawar tak mengenalnya, tapi Arjun tentu tahu benar siapa yang kini berdiri di depannya.

“Papa ….”

Satya menelisik Arjun dengan menyipitkan bola matanya. 

“Kenapa kamu di rumah sakit?” tanyanya, cepat.

Arjun tergelagap. “Nganter temen, Pa. Ini kita mau pulang.”

Pelipis Arjun sudah dipenuhi keringat sejagung. Karena panik dan terlalu hanyut menghabiskan waktu bersama Mawar, ia hampir lupa kalau papanya bekerja di rumah sakit ini sejak pindah ke Surabaya.

“Ya udah, pulang sama Papa aja,” balas Satya setelah hening yang cukup lama.

“Nggak apa, Pa. Aku udah pesen taksi kok, ini mau dateng—”

Cancel.”

“Tapi, Pa—”

“Papa tunggu di parkiran.”

Permintaan itu sudah tak bisa diganggu gugat. Arjun terpaksa meraih ponselnya dan membatalkan pesanan secara sepihak setelah mengucap maaf. Sudah pasti driver itu akan merutuki dirinya. 

“Ayo, Kak. Bareng Papa aja.” 

Mawar mengangguk. Kembali berjalan di sebelah Arjun dengan lebih kikuk. Ia bukan orang bodoh yang tak bisa membaca suasana. Sangat kentara kalau papa Arjun tak menunjukkan aura bersahabat dengannya.

“Papa kamu dokter di sini?” Mawar berbasa-basi.

“Iya, Kak.”

“Oh.”

Ketika sampai di mobil, Arjun membantu Mawar membukakan pintu di kursi belakang.

“Dia juga bareng?” 

Pertanyaan dari Satya membuat Mawar terdiam, begitu pula Arjun yang menatap papanya dengan kaget.

“Pa—”

“Ya udah. Kalian masuk.”

Satya tak membiarkan Arjun bersuara. Ia masuk ke mobil dengan menutup pintu keras-keras. Mawar tersentak. Sikap itu semakin meyakinkan Mawar jika ia tak diterima di sini.

“Saya pesen ojek aja,” putusnya kemudian.

Arjun menggeleng. “Jangan, Kak. Kakak masih belum fit.”

“Terima kasih atas bantuannya.”

***

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Renata Keyla
6812      1576     3     
Romance
[ON GOING] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma ng...
May I be Happy?
644      382     0     
Inspirational
Mencari arti kebahagian dalam kehidupan yang serba tidak pasti, itulah kehidupan yang dijalani oleh Maya. Maya merupakan seseorang yang pemalu, selalu berada didalam zona nyamannya, takut untuk mengambil keputusan, karena dia merasa keluarganya sendiri tidak menaruh kepercayaan kepada dirinya sejak kecil. Hal itu membuat Maya tumbuh menjadi seperti itu, dia tersiksa memiliki sifat itu sedangka...
Aranka
4423      1474     6     
Inspirational
Aranka lebih dari sebuah nama. Nama yang membuat iri siapa pun yang mendengarnya. Aland Aranka terlahir dengan nama tersebut, nama dari keluarga konglomerat yang sangat berkuasa. Namun siapa sangka, di balik kemasyhuran nama tersebut, tersimpan berbagai rahasia gelap...
Dearest Friend Nirluka
1564      800     1     
Mystery
Kasus bullying di masa lalu yang disembunyikan oleh Akademi menyebabkan seorang siswi bernama Nirluka menghilang dari peradaban, menyeret Manik serta Abigail yang kini harus berhadapan dengan seluruh masa lalu Nirluka. Bersama, mereka harus melewati musim panas yang tak berkesudahan di Akademi dengan mengalahkan seluruh sisa-sisa kehidupan milik Nirluka. Menghadapi untaian tanya yang bahkan ol...
The Skylarked Fate
7231      2130     0     
Fantasy
Gilbert tidak pernah menerima takdir yang diberikan Eros padanya. Bagaimanapun usaha Patricia, Gilbert tidak pernah bisa membalas perasaannya. Seperti itu terus pada reinkarnasi ketujuh. Namun, sebuah fakta meluluhlantakkan perasaan Gilbert. Pada akhirnya, ia diberi kesempatan baru untuk berusaha memperbaiki hubungannya dengan Patricia.
IMAGINATIVE GIRL
2733      1361     2     
Romance
Rose Sri Ningsih, perempuan keturunan Indonesia Jerman ini merupakan perempuan yang memiliki kebiasaan ber-imajinasi setiap saat. Ia selalu ber-imajinasi jika ia akan menikahi seorang pangeran tampan yang selalu ada di imajinasinya itu. Tapi apa mungkin ia akan menikah dengan pangeran imajinasinya itu? Atau dia akan menemukan pangeran di kehidupan nyatanya?
THE DARK EYES
730      412     9     
Short Story
Mata gelapnya mampu melihat mereka yang tak kasat mata. sampai suatu hari berkat kemampuan mata gelap itu sosok hantu mendatanginya membawa misteri kematian yang menimpa sosok tersebut.
KETIKA SENYUM BERBUAH PERTEMANAN
544      385     3     
Short Story
Pertemanan ini bermula saat kampus membuka penerimaan mahasiswa baru dan mereka bertemu dari sebuah senyum Karin yang membuat Nestria mengagumi senyum manis itu.
Coldest Husband
1629      823     1     
Romance
Saga mencintai Binar, Binar mencintai Aidan, dan Aidan mencintai eskrim. Selamat datang di kisah cinta antara Aidan dan Eskrim. Eh ralat, maksudnya, selamat datang di kisah cinta segitiga antata Saga, Binar, dan Aidan. Kisah cinta "trouble maker dan ice boy" dimulai saat Binar menjadi seorang rapunsel. Iya, rapunsel. Beberapa kejadian kecil hingga besar membuat magnet dalam hati...
KATAK : The Legend of Frog
433      350     2     
Fantasy
Ini adalah kisahku yang penuh drama dan teka-teki. seorang katak yang berubah menjadi manusia seutuhnya, berpetualang menjelajah dunia untuk mencari sebuah kebenaran tentangku dan menyelamatkan dunia di masa mendatang dengan bermodalkan violin tua.