Loading...
Logo TinLit
Read Story - Me vs Skripsi
MENU
About Us  

“Dirga, jangan jauh-jauh dari Rayya, ya. Ingat, jaga kakakmu.” Suara mama mereka terdengar lembut tapi tegas, sambil memakaikan jaket tebal ke leher Rayya kecil yang sedang duduk di bangku teras rumah.

Dirga mengangguk patuh. Sudah biasa. Kalimat itu seakan menjadi mantranya setiap hari. Ia bahkan tidak bisa mengingat kapan terakhir kali bisa pergi ke mana pun tanpa bayang-bayang Rayya di sisinya.

Dari kecil, Dirga tumbuh dengan satu misi yang tidak pernah ia minta: menjadi pelindung Rayya. Dirga, saudara kembar yang terlahir beberapa menit lebih lambat itu selalu punya fisik lebih kuat, sementara Rayya, sejak bayi, sering keluar-masuk rumah sakit. Kondisi itulah yang membuat orang tua mereka, dan tanpa sadar menanamkan satu peran dalam diri Dirga: pengawal pribadi Rayya.

Hingga SMP, mereka selalu satu sekolah, bahkan satu kelas. Rayya tidak pernah benar-benar sendirian. Saat istirahat, Dirga akan memastikan Rayya makan. Saat olahraga, Dirga akan menyesuaikan langkahnya agar Rayya tidak kelelahan. Tidak pernah ada paksaan, tapi lama-lama semua itu seperti menjadi kewajiban yang membentuk hidup Dirga.

Dan memang begitu adanya. Awalnya ia tidak mempermasalahkan. Ia sayang Rayya. Tapi makin lama, makin terasa bahwa hidupnya bukan miliknya sendiri.

Di SMP mereka bertemu dengan Vania. Cantik, pintar, tapi di balik semua itu, Vania punya cara halus untuk membuat orang di sekitarnya tunduk pada ritme yang ia atur. Dirga pun tidak luput. Walaupun sejenius apa pun Dirga, dengan nilai sempurna, cepat tanggap, dan dikenal sebagai murid andalan guru. Ia tidak pernah berhasil menyaingi Vania yang selalu selangkah lebih unggul.

“Rayya selalu kelihatan tenang ya, mungkin karena selalu ada kamu di sampingnya,” ujar Vania suatu siang dengan senyum manis yang tidak pernah lepas dari wajahnya. Tangannya sibuk membalik halaman buku latihan, seolah tak ada maksud apa-apa di balik ucapannya.

Dirga hanya melirik singkat, tidak menjawab.

Vania memang jago bicara, selalu terdengar ramah, tapi entah kenapa, tiap kata darinya seperti punya makna lapis kedua. Ia pintar, terlalu pintar malah. Nilainya selalu sempurna, tak pernah bergeser dari posisi teratas, selalu satu langkah di atas Dirga.

Padahal Dirga, walau terkenal jenius, juga tidak main-main soal belajar. Ia tekun, ia serius. Tapi entah kenapa, hasil akhirnya tetap saja Dirga ... kalah. Vania selalu jadi peringkat satu.

Lama-lama, Dirga merasa aneh. Pernah Vania kedapatan menyontek, tapi tidak ada guru yang curiga. Kadang ia menjatuhkan teman sekelas dengan komentar tajam, tapi selalu saja terlihat “benar” di mata guru.

Namun, yang membuat Dirga sulit sepenuhnya marah adalah kenyataan bahwa Vania selalu menjaga Rayya ketika Dirga harus pergi sejenak dari sisi saudara kembarnya. Meski ia tahu ada manipulasi dalam diri Vania, Dirga tidak bisa mengabaikan sisi lain itu. Karena entah bagaimana, perlindungan Vania untuk Rayya terasa sungguh-sungguh.

Lelah dengan semuanya, Dirga akhirnya bicara diam-diam dengan Abangnya. Minta bantuan agar bisa masuk SMA berbeda.

“Aku mau hidup yang bukan cuma tentang jadi pelindung,” ucap Dirga suatu malam.

Abangnya mengerti, berupaya membujuk orang tua mereka awalnya menolak keras.

"Walau kembar, mereka berhak punya hidup masing-masing, Pa, Ma. Jangan batasi potensi Dirga dan jangan juga menganggap Rayya lemah seumur hidupnya."

Dengan dorongan sang abang, Dirga berhasil masuk sekolah lain. Tempat yang tidak ada Rayya, tidak ada Vania. Dirga berhasil bersinar bahkan masuk program akselerasi, menamatkan SMA hanya dalam dua tahun. Untuk pertama kalinya, Dirga merasa punya hidup sendiri.

Rayya tidak mempermasalahkan keputusan Dirga. Jauh di lubuk hatinya, ia pun ingin punya hidup sendiri juga tanpa menjadi "beban" Dirga. Lagi pula semakin dewasa kondisi fisik Rayya memang sudah jauh membaik. “Justru aku lega, Dir. Kamu terlalu jenius untuk jadi 'pengawal' dan aku juga bisa lebih bebas, he-he-he,” ucapnya lirih suatu hari, sambil mengusap lengan Dirga.

Namun, segalanya berubah saat Rayya mengalami kecelakaan di kelas dua SMA. Tangga tua di sekolah yang licin membuatnya terjatuh dan harus dirawat beberapa minggu. Orang tua mereka tidak menyalahkan siapa-siapa. Namun, Dirga tahu, dari tatapan kedua orang tuanya, diam-diam mereka menyesal telah mengizinkan Rayya lepas pengawasan dari Dirga.

Di sisi lain Dirga juga tenggelam dalam rasa bersalah.

“Kamu nggak jadi ambil DKV, Dir!” Rayya protes hari itu. Dia tahu benar adik kembarnya menyukai seni, desain, dan hal-hal visual. Dirga sudah siap dengan jalur masuk DKV. Ia sudah diterima di sekolah seni, bahkan sedang menyiapkan portofolio untuk beasiswa ke luar negeri.

Di tangan Rayya, ada tangkapan layar informasi diterimanya Dirga di Fakultas Farmasi lewat jalur tes.

“Jangan bilang, kamu ambil Farmasi karena aku bilang tahun depan pengin ambil jurusan ini, Dir!” Rayya menatap Dirga tak percaya.

"Kecelakaan yang kualami beberapa bulan lalu nggak ada hubungannya denganmu. Kamu nggak perlu merasa bersalah! Lihat, aku sekarang sehat." Rayya berkata sambil melompat kecil untuk membuktikan.

"Walau enggak sepintar dirimu, tapi nilai sekolahku juga naik terus." Rayya pun lelah selalu dianggap lemah di keluarga ini dan tidak boleh melakukan apa-apa sendiri tanpa ada Dirga di sampingnya.

"Aku nggak mau jadi penghalang impianmu, Dirga." Mata Rayya berembun. Lebih dari siapa pun, ia juga tidak rela Dirga harus mengubur mimpi karena keberadaan dirinya.

“Aku nggak seiseng itu. Pas kamu cerita mau masuk Farmasi, aku cari tahu dan jadi tertarik, itu aja.”

Rayya tahu mata itu penuh kebohongan.

“Kamunya sih yang harus belajar keras kalau tahun depan mau masuk Farmasi. Passing grade-nya tinggi, lo. Mau ‘Tuan Dirga’ ini ajari? Jaminan lulusnya tinggi.” Dirga menepuk kepala Rayya ringan, nyaris seperti elusan.

Dirga memilih Farmasi. Bukan karena cinta pada ilmu itu, melainkan sebagai bentuk penebusan.

Tahun pertama dihabiskan dengan perasaan campur aduk. Nilainya tetap sempurna, tapi hatinya tidak di sana. Sampai di tahun kedua, ia mendengar seorang mahasiswa baru—Kirana—berbicara tentang alasan memilih Farmasi di acara penyambutan mahasiswa. Kata-kata Kirana sederhana, tapi menyentuh. Pandangannya jernih, idealismenya kuat. Dan tanpa disadari, hal itu mengguncang Dirga dari dalam.

Sejak itu, ia mulai mengatur ulang dunianya. Ia belajar sungguh-sungguh, tapi juga tidak meninggalkan sisi kreatifnya. Di waktu luang, ia tetap menjalankan proyek desain freelance untuk klien dalam dan luar negeri, seperti yang biasa dilakukan mamanya sebagai penerjemah untuk mengisi waktu. Jual desain, ilustrasi, template, semuanya dijalankan beriringan sambil kuliah. Dirga tahu, ia bisa menjalani keduanya. Otaknya mampu, waktu bisa dikondisikan. Hari-harinya tidak lagi terasa hampa.

Kesempatan untuk lanjut S-2 di dalam dan luar negeri di kampus terbaik sebetulnya terbuka lebar, tapi Dirga memutuskan untuk tidak mengambilnya. Bukan karena tidak ingin, tapi karena Rayya belum lulus. Dan selama Rayya masih ada di kampus Farmasi ini, Dirga akan tetap di sini. Menjaga dari dekat, seperti biasa. Bukan karena terpaksa, tapi karena kali ini ia memilih sendiri. Ia tetap punya rencana untuk masa depan, tapi untuk sekarang, ia memilih bertahan di sini. Menjadi penjaga yang tak terlihat, sampai setidaknya Rayya selesai apoteker.

***

Rayya tidak kuasa menahan tawanya. Cerita Kirana barusan yang baru menyadari ia dan Dirga bersaudara serta kesalahpahaman akan kedekatan mereka selama ini, jadi lelucon paling spektakuler semester ini.

Kirana langsung bergerak ke rumah Rayya atau Dirga setelah urusan administrasi selesai. Rayya yang sudah menyelesaikan PKP-nya sore itu langsung menjemput Kirana ke kampus. Ia tahu Kirana kuat, tapi tidak tega saja membiarkan Kirana jalan kaki sendirian ke rumahnya. Kirana tadi ingin langsung pulang setelah ambil daun, tapi mama Rayya menghalangi. Wajib malam dulu baru boleh pulang. Alhasil Kirana dipaksa menunggu di kamar Rayya.

“Aku masih nggak habis pikir.” Rayya berkata sambil menyisir rambutnya dengan jari-jari, duduk di ujung ranjang. “Kamu kira aku dan Dirga... pacaran?”

Kirana yang duduk di lantai, menyandarkan punggung ke sisi tempat tidur, hanya mengangguk pelan, malu-malu.

Rayya tertawa cukup keras, geli tapi juga penuh rasa sayang. “Ya ampun, Na. Padahal kita udah bareng dari awal semester. Baru sadar sekarang?”

“Kalaupun kami bukan saudara, ‘Tuan Dirga yang Terhormat’ bukan tipeku. Dia, mah kayak kanebo kering, garing.” Rayya mencoba mengurangi tawanya, air mata nyaris keluar dari ujung matanya saking gelinya.

Jadi … tanpa sadar, aku udah menghalangi usaha Dirga untuk dekat sama Kirana, dong. Eh … tu anak kan nggak ada usaha buat dekat Kirana juga selama ini. Rayya berpikir sendiri.

“Aku kira kalian cuma... ya, nggak mau ngumbar aja.” Kirana membela diri, separuh suara. “Soalnya deket banget. Sinkron banget.”

“Sinkron, ya? Wajar dong, kami tumbuh bareng dari lahir.” Rayya tersenyum, tapi kemudian ekspresinya melunak, menjadi lebih hati-hati. Ia menatap Kirana yang masih belum berani menatap balik. “Tapi... itu bukan satu-satunya hal yang berubah, ya?”

Rayya menatap Kirana yang duduk bersandar di sisi tempat tidur, wajahnya tertunduk, menatap lantai yang diam saja. Ada jeda yang mengambang di antara mereka, seolah udara pun enggan bergerak terlalu keras.

Vania. Nama itu tidak mereka sebut. Tapi keduanya tahu. Dan kadang, justru yang tidak terucap itulah yang paling menyakitkan.

Rayya menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Tidak ada pertanyaan. Tidak ada tuntutan untuk menjelaskan.

Aku tahu, Na. Aku bisa menerka yang terjadi padamu ada hubungannya dengan Vania. Tapi kamu belum siap bicara. Dan aku tidak akan memaksamu.

Kirana tidak menatap balik, tapi ia bisa merasakan. Perasaan yang sama. Pemahaman yang diam-diam. Aku tahu kamu menyimpan semuanya sendiri bukan karena takut. Tapi karena kamu menghargai kami, hubungan bertiga yang pernah terasa utuh.

Rayya menunduk sedikit. Ada kelelahan yang tidak bisa dijelaskan. Ada luka yang terasa di kedua sisi. Dan aku tidak bisa memilih, Na. Karena saat aku memihak, semua ini akan benar-benar runtuh.

Kirana menggigit bibirnya. Sekilas ia mengangguk kecil. Tidak ada amarah, tidak ada kekecewaan. Hanya pengertian yang dalam, seperti telaga yang tidak terlihat dasarnya.

Keheningan melingkupi mereka. Tapi bukan keheningan yang canggung. Ini semacam ruang aman yang lama tidak mereka jamah. Ruang yang dulu dipenuhi obrolan receh, tawa kecil, rencana-rencana yang kini tinggal puing.

Mereka duduk begitu saja. Tak satu pun mencoba memperbaiki apa pun. Karena keduanya tahu, tidak semua yang retak bisa kembali seperti sedia kala. Tapi setidaknya malam ini, mereka duduk bersama dalam pengertian yang sama.

Waktu berlalu tanpa tanda. Lampu tidur menyala temaram, menyisakan bayangan lembut di dinding kamar Rayya. Hanya suara pendingin ruangan yang samar terdengar, mengisi ruang di antara dua sahabat yang duduk berdampingan, tapi larut dalam pikiran masing-masing.

Sesekali Rayya melirik Kirana dari sudut matanya. Gadis itu memeluk lutut, pandangannya kosong, tapi sorot matanya penuh perasaan yang belum sempat disuarakan.

Rayya ingin berkata sesuatu. Apa saja. Tapi takut kata-katanya malah jadi duri. Akhirnya, ia memilih pertanyaan lain, untuk sekadar memecah suasana.

“Tumben, ayah kamu nggak nelepon? Biasanya jam segini ayahmu nelepon kan, Na?”

Kirana tidak langsung menjawab. Tubuhnya sedikit menegang, dan ada jeda panjang sebelum ia akhirnya bersuara, lirih, nyaris tak terdengar.

“Ayah… udah nggak ada, Ray.”

Rayya menoleh cepat. “Hah?”

“Setahun lalu. Kecelakaan. Bareng aku, malah. Hari itu penelitianku gagal total. Aku dijemput Ayah buat nenangin diri di kampung. Kami pulang buru-buru dan… kecelakaan. Aku sempat dirawat di rumah sakit. Nggak sempat lihat Ayah untuk terakhir kalinya.” Suara Kirana pelan, hampir datar, tapi jelas terasa berat. Matanya tidak menitikkan air mata, tapi kosong.

Rayya langsung diam. Baru sadar tadi Kirana sempat menyentuh betisnya saat bercerita. Bekas luka panjang yang mungkin berkaitan dengan kejadian itu. Ia merasa bersalah. Di saat Kirana mengalami masa terberat, ia bahkan tidak tahu.

Tanpa banyak kata, Rayya merengkuh Kirana dalam pelukan, menggantikan Kirana untuk menangis karena mungkin air mata Kirana sudah terlalu kering untuk itu. Tak ada yang bisa diperbaiki dari masa lalu. Tapi setidaknya, malam ini, ia ingin menjadi bahu yang Kirana tahu selalu ada.

Bagi Kirana, pelukan itu sudah cukup. Lebih dari cukup.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Unexpectedly Survived
99      88     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...
Close My Eyes
520      392     1     
Short Story
Pertemuan 2 pasang insan atas sebuah kematian dari latar yang belakang berbeda
ALIF
1507      707     1     
Romance
Yang paling pertama menegakkan diri diatas ketidakadilan
Camelia
590      331     6     
Romance
Pertama kali bertemu denganmu, getaran cinta itu sudah ada. Aku ingin selalu bersamamu. Sampai maut memisahkan kita. ~Aulya Pradiga Aku suka dia. Tingkah lakunya, cerewetannya, dan senyumannya. Aku jatuh cinta padanya. Tapi aku tak ingin menyakitinya. ~Camelia Putri
NADA DAN NYAWA
15377      2890     2     
Inspirational
Inspirasi dari 4 pemuda. Mereka berjuang mengejar sebuah impian. Mereka adalah Nathan, Rahman, Vanno dan Rafael. Mereka yang berbeda karakter, umur dan asal. Impian mempertemukan mereka dalam ikatan sebuah persahabatan. Mereka berusaha menundukkan dunia, karena mereka tak ingin tunduk terhadap dunia. Rintangan demi rintangan mereka akan hadapi. Menurut mereka menyerah hanya untuk orang-orang yan...
Konstelasi
895      468     1     
Fantasy
Aku takut hanya pada dua hal. Kehidupan dan Kematian.
Begitulah Cinta?
17531      2629     5     
Romance
Majid Syahputra adalah seorang pelajar SMA yang baru berkenalan dengan sebuah kata, yakni CINTA. Dia baru akan menjabat betapa hangatnya, betapa merdu suaranya dan betapa panasnya api cemburu. Namun, waktu yang singkat itu mengenalkan pula betapa rapuhnya CINTA ketika PATAH HATI menderu. Seakan-akan dunia hanya tanah gersang tanpa ada pohon yang meneduhkan. Bagaimana dia menempuh hari-harinya dar...
Oh, My Psychopaths CEO!
1019      683     2     
Romance
Maukah kau bersama seorang pembunuh gila sepertiku?
Today, I Come Back!
3938      1355     3     
Romance
Alice gadis lembut yang sebelumnya menutup hatinya karena disakiti oleh mantan kekasihnya Alex. Ia menganggap semua lelaki demikian sama tiada bedanya. Ia menganggap semua lelaki tak pernah peka dan merutuki kisah cintanya yang selalu tragis, ketika Alice berjuang sendiri untuk membalut lukanya, Robin datang dan membawa sejuta harapan baru kepada Alice. Namun, keduanya tidak berjalan mulus. Enam ...
Ending
5226      1356     9     
Romance
Adrian dan Jeana adalah sepasang kekasih yang sering kali membuat banyak orang merasa iri karena kebersamaan dan kemanisan kedua pasangan itu. Namun tak selamanya hubungan mereka akan baik-baik saja karena pastinya akan ada masalah yang menghampiri. Setiap masalah yang datang dan mencoba membuat hubungan mereka tak lagi erat Jeana selalu berusaha menanamkan rasa percayanya untuk Adrian tanpa a...