Kirana berdiri di depan ruang dekan sejak pukul sembilan pagi. Kerudung dan gamisnya ia sterika rapi, Kirana tahu ia harus berpenampilan sebaik mungkin hari ini untuk menang. Wajahnya tampak tenang meski jemarinya terus-menerus mengelus lipatan map cokelat di tangannya. Di dalam map itu terselip selembar surat yang ia tulis semalam, dengan kata-kata yang disusun hati-hati, lugas dan bernyawa.
Ia tahu ini bukan sekadar gugatan administrasi. Ini tentang harga dirinya, tentang haknya untuk menyelesaikan apa yang telah ia mulai.
Sebelumnya, Kirana sudah menghubungi Intan, staf administrasi tegas yang dikenalkan Fathur. Dari Intan, ia tahu jadwal sang dekan hari ini. Kirana tak ingin mengandalkan keberuntungan. Semua ia persiapkan dengan rapi.
Tepat pukul sepuluh lewat lima belas, pintu kayu itu terbuka. Seorang dosen keluar, Kirana mengambil kesempatan ini untuk bisa izin masuk ke ruangan dekan. Ia harus ‘memaksakan’ kesempatan sekecil apa pun untuk menyelesaikan semua dengan segera.
Ia menatap papan nama yang terpasang di pintu kayu tua itu: DEKAN FAKULTAS FARMASI. Mengetuk perlahan dan menunggu dekan yang duduk di kursinya mengizinkan dia masuk.
Ruangan itu tak berubah sejak terakhir kali ia ke sana. Meja panjang, rak buku, aroma kayu menguar samar. Tapi hari ini, Kirana melangkah dengan kepala tegak. Ia duduk setelah dipersilakan, lalu menyerahkan map itu dengan kedua tangan.
“Saya datang untuk menyampaikan keberatan resmi, Pak,” katanya pelan namun jelas. “Terkait ketidakjelasan dosen pembimbing sejak setahun lalu, dan adanya dugaan pengabaian administratif yang saya alami. Saya lampirkan kronologi dan dokumentasinya.”
Pak Dekan membuka map itu, membaca cepat dengan alis sedikit berkerut. Suasana hening, hanya terdengar suara kipas AC dan halaman-halaman yang dibalik.
“Dalam surat ini kamu menyebut adanya pihak yang ‘secara sengaja memperlambat’ pengurusanmu. Bisa kamu jelaskan maksudnya?” tanyanya akhirnya.
Kirana tak mengalihkan pandangan. “Saya percaya kampus ini dibangun di atas nilai-nilai integritas. Kita mencetak lulusan yang akan berkecimpung dalam dunia kefarmasian, dunia yang berurusan dengan obat-obatan dan kehidupan manusia. Maka saya yakin, kampus ini juga tidak akan membiarkan permainan segelintir orang merusak sistemnya.”
Ia menahan napas, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih dalam. “Kalau kampus tutup mata terhadap praktik seperti ini, bagaimana mahasiswa bisa percaya bahwa nilai-nilai yang diajarkan benar-benar dijunjung tinggi?”
Pak Dekan menyandarkan punggungnya. Matanya meneliti Kirana sejenak, lalu mengangguk pelan. “Kamu berani.”
Kirana tak membalas. Ia tak datang untuk dipuji.
Dekan menutup map itu dengan mantap. “Saya paham siapa yang kamu maksud. Tapi kalau ini diperpanjang, bisa muncul keributan besar.”
Nama Pak Widoyo, ayah Vania memang sangat berpengaruh di kampus juga terkenal dekat dengan banyak pejabat penting. Dekan selama ini bukannya tutup mata atas praktik-praktik tidak adil yang Widoyo lakukan, tetapi memang menunjukkan ketidakberatan secara nyata hanya akan menimbulkan efek negatif yang lebih besar. Yang bisa dilakukan selama ini hanya meminimalisir sambal mengurangi pelan-pelan ‘kekuasaan’ Widoyo dari kampus. Ia hanya tidak menyangka, ternyata Widoyo sampai mengurusi ‘hal kecil’ seperti menghalangi seorang mahasiswi untuk lulus seperti ini.
“Tapi saya percaya Bapak lebih peduli pada kebenaran daripada keributan,” jawab Kirana, lembut namun tegas.
Hening sejenak.
Pak Dekan tersenyum tipis. “Masalah ini akan saya selesaikan hari ini juga. Terima kasih, Kirana. Kamu membuat kami semua diingatkan akan sesuatu yang penting.”
***
Menjelang sore, matahari menyusup lembut lewat kaca jendela lorong fakultas. Bayangan Kirana menyatu dengan tembok, lebih ringan dari biasanya. Langkahnya pelan saat menuruni tangga kampus, tapi bukan karena lelah, melainkan karena semacam lega yang belum ia rasakan selama berbulan-bulan. Walau mungkin agak terlambat, seharusnya … ia melakukan perlawanan ini dari dulu.
“Gimana perkembangan masalah dosbing?” Lagi-lagi, Dirga entah muncul dari mana dan tiba-tiba bertanya.
Kirana lumayan kaget, rasanya canggung. Ia sudah duduk di salah satu kursi di lorong kampus sambil membaca jurnal-jurnal terkait penelitiannya.
“Aku tahu masalahnya dari Rayya.” Dirga mencoba memberikan penjelasan. Mengambil tempat duduk dengan jarak satu kursi dari Kirana. Dirga tidak berani terlalu dekat. Ia tidak mau, tahu juga hal itu tidak boleh.
Ooo iya, Kirana ingat Rayya dan Dirga sedekat itu.
“Tadi kata Pak Dekan masalahnya akan selesai sore ini, aku juga lagi nunggu kabar baik,” jawab Kirana.
Mata Dirga membulat, kali ini ia yang kaget. “Kamu langsung nemuin Dekan?”
“Kalau bicara soal yang punya kuasa di kampus, menemui dekan jadi solusi paling manjur, kan?” Kirana mengangkat bahunya. Ia juga mengangsurkan surat gugatan yang tulis tadi malam.
Dirga membacanya cepat. Kirana hanya menuliskan masalah pengabaian administrasi yang dialaminya terkait pergantian dosbing yang terjerat kasus hukum. Sama sekali tidak menuliskan tentang kejahatan Vania merusak hewan uji coba dan ekstraknya, apalagi tentang kesaksian palsu laboran. Hanya tidak penting untuk diperpanjang. Kirana hanya ingin segera mendapat dosbing pengganti dan bisa melanjutkan penelitiannya. Tidak lebih dan tidak kurang.
Dirga menatap Kirana yang tampak kembali menekuri lembaran kertas berisi jurnal. Hanya sesaat. Rasa kagum kembali menjalar, bertambah dari sebelumnya.
“Kalau apa yang terjadi padamu berhubungan dengan Vania, percayalah aku akan lebih percaya pada ceritamu daripada cerita Vania,” kata Dirga pelan seolah tahu sesuatu.
Kirana tertegun, matanya yang dari tadi awas dengan jurnal, kini teralih menatap Dirga di sampingnya.
Mereka bertatapan beberapa detik. Hanya beberapa detik. Rasa canggung lebih menguasai.
Kirana kembali menatap jurnalnya meski mendadak tulisan rapat di sana seperti kehilangan artinya, Dirga menatap lurus ke depan tanpa arah pasti.
Beberapa detik itu cukup bagi Dirga untuk melihat luka di mata Kirana saat nama Vania disebut. Beberapa detik itu juga cukup bagi Kirana untuk melihat bahwa Dirga memang sepenuhnya percaya padanya.
Kenapa? Karena ia teman Rayya?
Ponsel Kirana bergetar, mengisi kecanggungan dua anak manusia yang tidak tahu harus berbicara apa lagi.
Pesan dari Intan:
[Kirana, barusan keluar SK dosbing kamu. Bu Ratna dosbing 1. Bu Desi dosbing 2. Ambil suratnya ke ruang administrasi sekarang, ya.]
“Alhamdulillah!!!” Kirana menutup mulutnya karena sangat senang. Ini baru langkah awal, tapi beres masalah administrasi seperti sudah menyelesaikan lebih dari setengah masalah yang ada.
Tanpa sadar Kirana berdiri, menunjukkan isi pesan itu pada Dirga. Kirana tersenyum lebar, mata mereka bertatapan lagi. Kemudian mereka salah tingkat lagi.
“Ayo ke ruang administrasi.” Dirga bangkit. Tanpa diminta membawakan tote bag milik Kirana yang isinya didominasi buku referensi tebal dan kertas lusuh print jurnal yang sudah lecak karena dibaca berulang kali.
“Aku kenal Bu Desi, dosen baru, muda, pintar, dan baik. Jam segini biasanya beliau masih ada di ruangannya, biar bisa langsung ketemu,”
Dirga melangkah cepat, Kirana yang tak sempat menjawab hanya mengikuti. Seolah tak ada satu detik pun yang layak mereka buang saat ini.
***
Kirana mengangkat tinggi-tinggi surat permohonan penggunaan laboratorium yang baru saja ditandatangani oleh Bu Ratna dan Bu Desi. Tangannya gemetar ringan, tapi senyumnya merekah penuh rasa syukur. Dalam hati, ia membatin, benar-benar janji Allah itu pasti, bersama kesulitan pasti ada kemudahan.
Bu Ratna sejak awal menyambut baik rencana penelitiannya. Tak ada revisi mayor berarti, tak ada tatapan meremehkan seperti yang selama ini Kirana takutkan. Bu Desi pun tak kalah bersemangat. Dosen muda itu mengaku bahwa Kirana adalah mahasiswa bimbingan pertamanya dan ia ingin pengalaman itu menjadi baik untuk keduanya.
Semua ini berawal dari saran sederhana Dirga tadi: mencetak surat permohonan izin laboratorium, siapa tahu kedua dosennya bersedia langsung menandatangani. Kirana sempat ragu, tapi ternyata Dirga benar.
“Makasih banyak, Dir,” ucap Kirana, masih takjub menatap dua lembar kertas di tangannya. Matanya berbinar seperti anak kecil yang baru mendapat hadiah.
“Sama-sama.” Dirga tetap berusaha kalem, walau dalam hatinya ia merasa perempuan di sebelahnya menggemaskan sekali dengan ekspresi bahagia seperti itu. Perasaan yang harus Dirga pendam dalam-dalam. Belum saatnya.
“Kamu bawa printer di mobil... kaget aku,” kata Kirana kemudian, menoleh dengan alis terangkat. Mobil LCGC milik Dirga itu seolah menjadi kotak ajaib: pernah menyelamatkan mereka saat ekspedisi daun, dan kini, membantu mencetak surat penting.
Dirga tersenyum. “Ya, buat jaga-jaga aja. Soalnya banyak banget yang harus di-print sekarang. Males bolak-balik ke rumah atau tempat nge-print.”
Kirana mengangguk pelan. Mahasiswa jenius yang lagi persiapan sidang tesis memang beda, pikirnya.
Mereka berjalan berdampingan menuju ruang administrasi. Surat itu harus segera diserahkan agar proses berikutnya bisa berjalan. Begitulah skripsi: tak hanya soal data dan analisis, tapi juga soal sabar mengurus administrasi yang datang bertubi-tubi.
“Untung Bu Ratna ngasih izin pakai lab Fitokimia sebelum surat resmi keluar,” kata Dirga, memecah keheningan. “Jadi kamu bisa mulai duluan.”
Kirana mengangguk lagi. Sebenarnya agak aneh juga, tadi Dirga ikut menemani sesi bimbingan singkat itu. Tapi Bu Ratna maupun Bu Desi tampak santai saja, tidak mempermasalahkan. Bahkan seolah menganggap kehadiran Dirga memang semestinya begitu. Kirana mau menolak pun tidak sempat karena malah seperti Dirga yang menuntunnya ke mana-mana.
“Iya, besok udah mulai bisa maserasi simplisia. Ah … berarti nanti malam harus izin ke rumah Rayya buat ambil daun kering yang dititip di sana.” Kirana mencoret sesuatu di note kecilnya, bibirnya bergumam pelan, “Telepon Rayya dulu, semoga dia udah selesai PKP sore ini.”
Tepat saat jempolnya hampir menyentuh ikon telepon, suara Dirga terdengar dari samping. “Mama selalu di rumah, kok. Penerjemah freelance cuma iseng-iseng Mama aja karena nggak ada kegiatan.”
Kirana menoleh cepat. “Ha? Maksudnya mamanya Rayya? Tapi kan aku tetap harus izin dulu, nggak bisa main datang gitu aja kalau Rayya nggak di rumah.”
Dirga mengangkat ponselnya, menunjukkan layar yang memperlihatkan nama kontak “Mama” dan isi pesan singkat penuh emoji dan kalimat manis.
“Mama bilang daunmu aman. Dan katanya kamu boleh ke sana kapan aja.”
Kirana menyipitkan mata, membaca pesan itu dengan saksama. Bukan hanya karena isinya—melainkan karena nada pesan itu terasa... terlalu akrab. Terlalu hangat. Terlalu... mesra?
Wah wah wah … sudah sampai tahap ini, kah hubungan Rayya dan Dirga? Kirana menyimpulkan sendiri dalam hati.
“Kalau kamu serius sama Rayya, sebagai sahabat Rayya aku mendukung. Tapi … kalau bisa, jangan pacaran lama-lama.” Kirana tahu mungkin ia lancang. Namun, ia tidak rela juga jika sampai Rayya sahabatnya hanya sekadar dipacari tanpa ada niat dihalalkan.
Dirga menarik top handle ransel Kirana, menghentikan langkah mereka berdua. Kirana yang bertubuh kecil memegang padding ranselnya menjaga keseimbangan. Keduanya tampak sama-sama terkejut.
“Tunggu dulu ....” Dirga memegang pelipisnya, seperti sedang berusaha memproses informasi absurd yang baru saja ia dengar. “Jadi selama ini kamu pikir aku dan Rayya... pacaran?” Rasa-rasanya satu fakultas juga tahu Dirga tidak mau punya hubungan khusus dengan perempuan. Bisa-bisanya malah Kirana yang berpikiran seperti itu.
“Iya, kan? Aku tahu kamu lebih paham tentang batasan hubungan antar lawan jenis, tapi ….” Kirana mencoba mengutarakan pemikirannya.
Dirga menghentikannya. “Tunggu Kirana ….” Dia menghela napas. Rasanya kesalahpahaman ini rumit, tapi juga menggelikan.
“Aku jadi meragukan persahabatanmu dengan Rayya.”
Kirana menunjukkan ekspresi keberatan.
“Nama lengkap Rayya siapa?”
“Rayya Mahendra.”
“Kalau nama lengkapku?”
Kirana membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Hening. Otak cerdasnya seperti mencoba menyambungkan kabel yang selama ini putus.
“Dirga... Mahendra?” Suaranya nyaris seperti bisikan.
Butuh beberapa detik sebelum Kirana membelalakkan mata, mulutnya sedikit terbuka. Napasnya tercekat. Bagaimana ia bisa tidak menyadari hal sederhana ini? Mendadak Kirana merasa tidak pantas disebut sebagai sahabat. Detail seperti ini saja bisa ia lewatkan.
“Ya ampun.” Ia menutup wajah dengan kedua tangan. “YA AMPUN.”
Dirga tertawa pelan, suaranya berat dan hangat. “Kami kembar non identik. Mana mungkin aku pacaran sama kakakku sendiri.”
Kirana tetap menutupi wajahnya, pipinya memerah sampai ke telinga. “Aku benar-benar…. Kupikir kalian sedekat itu karena… ya Allah.” Ia menggeleng pelan. “Rasanya bodoh banget,” ujarnya dalam hati.
“Hebat juga kamu, bisa ngelewatin beberapa tahun bareng Rayya tanpa tahu kami kembar,” kata Dirga, masih geli.
Ya … tapi tidak sepenuhnya salah Kirana juga, sih. Rayya dan Dirga tidak pernah secara terang-terangan menyatakan mereka bersaudara, tapi juga tidak pernah sengaja menyembunyikan. Beberapa orang di kampus tampaknya juga sadar tanpa mereka katakan langsung.
Kirana melirik dari balik jari-jarinya. Tanpa sadar, mereka berdiri tepat di depan cermin panjang di lorong fakultas. Di sana, pantulan Dirga terlihat jelas, tegap dan tinggi, masih memegang ujung ransel Kirana. Sementara Kirana tampak mungil di sampingnya, wajah tertutup tangan, merah padam karena malu akibat kesalahpahaman ini. Baru kali ini Kirana benar-benar memperhatikan, tingginya sendiri bahkan tak sampai sebahu Dirga.
Dalam hati, Kirana berharap ada cara ajaib untuk kabur dari situasi canggung ini, secepatnya.
“Kir!”
Suara yang familiar itu memecah kekakuan. Kirana mengenali jenis panggilannya, ringan, cepat, seperti napas lega. Fathur.
Dirga buru-buru melepaskan genggamannya dari ransel Kirana. Ia menoleh, mendapati Fathur datang dengan setumpuk berkas di tangan.
“Gimana urusan dosbing? Ada yang bisa kubantu?” tanya Fathur, masih sedikit terengah.
“Kelarin dulu pendaftaran sidang, baru bantu orang lain,” sahut Dirga sambil melirik berkas-berkas di tangan Fathur yang tampaknya masih belum lengkap.
Fathur menatap Dirga dengan jengkel. Kalau bukan karena sedang dikejar revisi skripsi dan kelengkapan sidang, ia pasti sudah lebih banyak membantu Kirana.
“Makasih banyak, ya, udah dikenalin sama Kak Intan. Bantu banget,” ucap Kirana sambil menunjukkan surat persetujuan dosen pengganti.
Fathur membelalak. Kaget dan sekaligus gembira. Baru kemarin Kirana masih diliputi kebingungan, sekarang sudah membawa kabar baik seperti ini.
“Ayo bareng ke ruang admin, aku juga ada yang mau diurus. ‘Tuan Dirga’ yang nggak ada urusan sebaiknya minggir dulu,” seloroh Fathur sambil melangkah.
“Siapa bilang?” Dirga ikut mengeluarkan map rapi dari ranselnya. “Mau nyerahin berkas pendaftaran sidang tesis.”
Kirana dan Fathur saling melirik, lalu menatap Dirga. Keduanya nyaris bersamaan mengernyit pelan. Dalam hati, mereka seolah berkata hal yang sama: ini orang, makhluk planet mana?
Fathur masih jungkir balik dengan revisi skripsi dan formulir pendaftaran yang tak kunjung lengkap. Kirana baru saja kembali menata penelitian yang sempat porak-poranda. Sementara Dirga dengan santai, tenang, dan map rapi, sudah siap mendaftar sidang tesis.
Rasanya seperti sedang lomba lari, tapi Dirga entah kenapa sudah ada satu garis finis lebih jauh dari semua orang.
Mereka berjalan berdampingan, langkah-langkah ringan menyusuri lorong fakultas yang ramai tapi terasa hangat. Meski arah mereka sama, isi kepala dan tujuan masing-masing membawa cerita sendiri.