Matahari belum sepenuhnya terbit saat Kirana telah selesai bersiap-siap. Udara pagi masih dingin dan segar, menembus kisi-kisi jendela yang belum sepenuhnya tertutup. Ia menghela napas panjang, mencoba menstabilkan detak jantungnya yang sejak bangun tadi terasa sedikit lebih cepat dari biasanya. Di lantai kamarnya, tumpukan kertas yang semalam berserakan sudah ia pilah dan rapikan ke dalam beberapa map plastik berwarna. Ada yang berisi catatan lama, ada pula yang baru ia tulis tadi malam dengan semangat yang seperti baru dipantik kembali.
Tikar plastik yang semalam ia bentangkan untuk tidur sudah ia gulung rapi, siap dikembalikan ke tempat semula, bersamaan dengan sapu dan pengepel yang ia pinjam dari pemilik kos. Setiap gerak Kirana pagi itu terasa mantap, seperti seseorang yang tahu betul bahwa waktu adalah kemewahan yang tak boleh dibuang sia-sia. Tak ada lagi keraguan di matanya, hanya ada fokus dan sisa-sisa tekad yang baru tumbuh kembali semalam.
Pagi ini Kirana mengenakan kaos oversize warna navy yang menyerap keringat, rok lipit panjang warna senada yang menutup hingga mata kaki, dengan dalaman celana panjang berujung kerut untuk menghindari lecet saat masuk semak. Kerudungnya berwarna beige muda, dibiarkan ujungnya tergerai sederhana menutup dada. Nanti akan ia padukan dengan sepatu kets favorit yang sudah terbukti tangguh menemaninya naik turun laboratorium.
Ia belajar dari pengalaman sebelumnya. Waktu itu Kirana datang ke lokasi pengambilan sampel dengan kemeja bahan licin dan sepatu flat yang membuatnya kesulitan bergerak. Padahal lokasi tumbuhnya daun kembang bulan bukan di taman kota, tapi di semak liar yang terkadang tumbuh setinggi tubuh manusia bahkan bisa mencapai 5 meter. Tanaman itu memang mirip bunga matahari jika dilihat sekilas sama-sama kuning dan mencolok, tapi secara morfologi dan sifat, keduanya sangat berbeda. Kembang bulan tumbuh sebagai gulma, walau secara empiris warga juga menggunakan daunnya yang pahit sebagai obat sakit perut, kembung, diare, dan radang. Penelitian tentang manfaatnya juga sudah banyak dikembangkan misalnya sebagai antidiabetes, ada juga yang memanfaatkan sebagai insektisida alami. Penelitian Kirana bukan berfokus pada manfaatnya, tetapi pada toksisitas yang mungkin muncul sebagai efek samping penggunaan ekstrak daunnya dalam dosis dan jangka tertentu.
Saat menarik resleting tas, sekelebat ingatan muncul. Tentang saat ia dulu bersedia menjadi “relawan semak-semak” demi penelitian mereka yang dulu dilakukan berdua dengan Vania.
Kirana tersenyum miris. Ia yang menembus semak, mengangkat dua karung besar penuh daun, sementara Vania yang mengaku takut serangga dan ular, menunggu di tempat aman. “Terus, kamu pikir aku kebal digigit serangga begitu?” Kirana berdecik kecil, memaksa senyum di sudut bibirnya yang terasa getir.
Kirana mendesah, pelan tapi dalam. Memori tentang Vania seperti duri kecil di bawah kulit: tidak terlihat, tapi terus mengganggu. Ia ingin melupakan, sungguh ingin. Tapi kadang, luka lama punya cara licik untuk muncul kembali, terutama saat kita sedang mulai bangkit.
Penelitian mereka dulu memang menggunakan ekstrak yang sama. Dosen pembimbing Kirana adalah dosen pembimbing kedua bagi Vania, dan sebaliknya. Vania-lah yang mengusulkan kerja sama, dengan alasan efisiensi dan saling mendukung. Dan benar saja. Setelah itu, semua benar-benar berantakan. Vania melesat, sementara Kirana terjatuh, kehilangan arah, bahkan sempat kehilangan kepercayaan diri. Rasanya seperti didorong jatuh ke jurang, lalu dibiarkan sendiri tanpa tali untuk bangkit.
Beberapa kali naluri Kirana sebenarnya ingin menjauh. Ada yang terasa tidak beres, sikap manipulatif yang kadang muncul, ucapan yang sering terdengar seperti menyudutkan. Tapi Kirana terlalu ingin percaya. Ia menepis prasangka itu demi menjaga apa yang ia kira persahabatan. Kini ia sadar, kepercayaan buta kadang lebih berbahaya dari kebohongan.
Masih terngiang jelas di kepalanya, konfrontasi mereka terakhir kali.
“Kamu baru nyadar, hah? Aku nggak pernah suka sama kamu, Kirana.”
Pedihnya tidak hanya karena isi kalimat itu, tapi karena Kirana dulu benar-benar menganggap Vania sebagai seseorang yang layak dilindungi. Ia bahkan pernah membela Vania saat ada gosip miring beredar di jurusan.
“Kamu pikir, kalau kamu mengadukan semua ini, akan ada yang percaya?” lanjut Vania waktu itu. Senyum tipisnya sinis, seolah sudah sering jadi pemain di dunia akademik ini.
Kirana mengembuskan napas kasar. Dadanya seperti dihimpit beban tak kasatmata. Tapi pagi ini, ia tidak akan membiarkan perasaan itu menguasainya. Ia sudah terlalu lama lumpuh oleh luka yang sama.
Ponselnya tiba-tiba berbunyi, membuat Kirana terlonjak kecil. Nama Rayya muncul di layar.
“Na, aku udah di bawah, ya. Kosnya tiga lantai cat warna hijau, kan?”
“Iya, betul. Aku masih di atas, tunggu bentar ya, Ray.”
Kirana mempercepat gerakannya. Ia memanggul tikar gulungan di satu bahu, membawa sapu dan alat pel dengan tangan lainnya. Sambil menuruni tangga, ia teringat niatnya untuk berangkat sepagi mungkin.
Jalanan ke arah Sibolangit akan mulai macet menjelang siang, terutama di akhir pekan begini. Kawasan dataran tinggi itu memang sering menjadi tujuan wisata karena pemandangan perbukitannya yang menyegarkan, udara dingin, dan suasana yang jauh dari kebisingan kota.
Sesampainya di bawah, Rayya sudah menunggunya. Ia membantu Kirana mengembalikan perlengkapan ke pemilik kos, sambil melirik kagum ke arah temannya yang tubuhnya kecil tapi selalu sanggup membawa barang seberat itu. Tapi ia tidak terlalu heran. Ini Kirana yang sama yang dulu pernah mengangkat satu kotak air mineral ke lantai tiga kampus sendirian.
“Ini daunnya memang harus petik di Sibolangit sana, Na?” tanya Rayya, merapikan tali tas ranselnya.
“Eh, bukan aku nggak mau nemenin, ya. Tapi kalau ada yang lebih dekat kan mending cari di sekitaran sini aja,” tambahnya.
“Kata Bu Ratna sih ada, di daerah mana gitu aku agak lupa. Tapi waktu dicek, nggak ketemu,” jawab Kirana sambil membetulkan letak ponselnya di saku.
“Oooh …” Rayya mengangguk-angguk panjang.
“Akhirnya ketemu yang melimpah justru di pinggir jalan besar daerah Sibolangit. Daripada buang-buang waktu cari ke tempat lain, mending langsung ke sana aja. He-he.”
Rayya paham. Waktu adalah musuh utama Kirana saat ini. Satu jam perjalanan bukan apa-apa dibanding risiko mencari ulang keberadaan tumbuhan itu.
“Oh ya, motormu parkir di mana, Ray?”
Kirana celingukan. Ia ingat betul Rayya memaksa menjemput dan motor diparkir di kos, lalu mereka naik angkot ke pangkalan bus mini ke Sibolangit. Setahu Kirana orang tua Rayya lumayan over protective, tidak mungkin membiarkan anaknya naik motor ke daerah perbukitan.
“Aku nggak bawa motor,” jawab Rayya pelan.
Lalu dengan satu gerakan tenang, ia mengamit lengan Kirana, menariknya lembut ke arah samping. Tangan satunya membuka pintu mobil yang sejak tadi ternyata sudah terparkir di depan kos.
“Kita naik ini,” katanya dengan senyum penuh arti.
“Hah?” Kirana mengerutkan alis. Masih belum paham sepenuhnya.
“Maaf, Na. Papa bilang aku nggak boleh pergi jauh sendirian. Harus ada yang nemenin. Kalau Dirga ikut, baru boleh pergi.”
“Ha?!” Kirana bengong. Otaknya mencoba mengurai maksud dari kalimat Rayya barusan. Dirga? Apa hubungannya? Namun, belum sempat bertanya, Rayya mendorongnya masuk pelan ke dalam mobil.
Tatapan Kirana seperti bertanya, “Apa maksudnya ini?”, dan tatapan Rayya seperti menjawab, “Nanti juga paham”.
Di kursi pengemudi, Dirga duduk tenang. Ia menoleh sebentar ke belakang, mengangguk pelan sebagai salam, lalu kembali fokus ke depan.
“Pagi, Kirana! Siap ekspedisi daun?” Terdengar suara riang dari kursi penumpang depan. Wajah cerah penuh semangat itu milik Fathur—si tukang becanda kampus yang entah kenapa selalu berhasil muncul di saat tak terduga.
Dengan gaya khasnya, Fathur memberi hormat seperti prajurit siap tugas. “Komandan, kami siap meluncur!”
“Hah?” Kirana mengulang ekspresi bingungnya. Kini dengan volume dua kali lipat. Kenapa jadi rombongan begini?
Rayya terkekeh kecil. Belum sempat menjelaskan, Dirga sudah menginjak kopling dan menggeser tuas transmisi ke gigi satu. Mobil melaju pelan meninggalkan kos.
“Kita gerak sekarang, ya,” ucap Dirga singkat.
Dan begitu saja ekspedisi daun dimulai. Dengan dua penumpang tambahan yang tak ada di rencana awal. Kirana hanya bisa memandang ke luar jendela, mencoba mencerna semuanya. Tapi di dalam hatinya, ada perasaan hangat yang diam-diam tumbuh. Ternyata, mungkin ia tidak harus selalu melewati semuanya sendiri.
***
Sekitar 30 menit yang lalu di rumah Rayya.
Bakda shalat Subuh Rayya sudah bersiap. Dadanya berdebar-debar menyambut perjalanan memetik daun bersama Kirana. Merasa “dibutuhkan” oleh Kirana adalah kebahagiaan tiada tara bagi Rayya. Mereka sudah dekat sejak awal masuk kuliah dan Kirana adalah sosok yang berulang kali menolong Rayya setiap kali Rayya kesulitan memahami sesuatu.
Sampai sekarang saja, Rayya masih sering tak percaya pada dirinya sendiri, bagaimana mungkin ia yang dulu nyaris menyerah saat belajar kimia dasar bisa lolos seleksi masuk jurusan Farmasi yang terkenal ketat itu? Ia ingat betul masa-masa belajar sampai dini hari, menempelkan berbagai rumus di dinding kamar, mencatat ulang setiap modul praktikum, hingga tak ada ruang tersisa di meja belajarnya kecuali untuk gelas kopi dan setumpuk post-it warna-warni.
Bisa lulus tepat waktu dan lanjut ke pendidikan profesi apoteker adalah bonus tersendiri. Walau IPK-nya tidak terlalu tinggi, ngepas tiga koma nol sekian, Rayya sudah sangat puas. Ia bukan tipe kompetitif, tapi cukup perfeksionis dalam hal tertentu. Di masa profesi ini pun, ia masih berjuang dengan hafalan dosis, interaksi obat, serta tata cara konseling pasien. Tapi setidaknya, ia sudah sampai sejauh ini.
Orang tuanya juga tidak pernah berekspektasi muluk terhadap pencapaian Rayya. Tidak ada tekanan sama sekali. Setiap hal kecil yang Rayya lakukan selalu mereka hargai, bahkan di saat Rayya merasa tidak melakukan apa-apa. Ia adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga mereka yang sangat disayangi. Terlalu disayang. Terlalu dilindungi. Sampai kadang Rayya merasa sesak sendiri.
“Mau ke mana, Ay?” Papa Rayya yang tampaknya baru selesai jogging keliling komplek menyapa anaknya yang sibuk memasukkan berbagai jenis makanan ke dalam ransel. Kotak bekal berisi nasi, lauk tinggi protein, sandwich, serta camilan ringan bergizi seperti biskuit gandum dan buah kering.
“Nemenin Kirana ke Sibolangit, Pa. Rayya kan udah bilang,” jawab mama Rayya yang sedang duduk santai sambil menonton berita pagi dan meneguk jus sayur.
“Hm ….” Papa Rayya memasang ekspresi seperti sedang mengingat. Sepertinya ia perlu menambah durasi olahraga karena makin sering jadi pelupa.
“Naik apa ke sana?” Kali ini mama Rayya yang bertanya.
Tadi malam mereka mengiyakan saja saat Rayya dengan berbinar-binar menerobos kamar orang tuanya yang setengah sadar untuk meminta izin menemani temannya. Mama Rayya hanya mendengar nama Kirana dan langsung setuju. Di antara banyak teman Rayya, Kirana termasuk yang paling sering disebut. Kepribadiannya yang kalem cukup menarik hati mama Rayya.
Rayya memutar bola matanya. Tahu begini ia harusnya kabur dari rumah sebelum subuh. Sebelum pertanyaan keramat “naik apa” dilontarkan. Rayya tahu benar ke arah mana pembicaraan ini akan berlanjut.
“Rayya ke sana naik motor, Ma ….”
Mendengar kata “motor” praktis papa dan mama Rayya menghentikan aktivitas. Mama Rayya meletakkan gelas jusnya, papa Rayya batal menggigit pisang yang sudah dikupas kulit di tangannya.
“Cuma sampai kos Kirana aja, Ma, Pa. Jaraknya mirip dengan ke kampus kok. Habis itu kami naik mobil.” Suara Rayya mengecil ketika mengucapkan mobil, mobil angkutan umum maksudnya, Rayya menjawab sendiri dalam hati.
“Mobil siapa? Siapa yang nyetir?”
Tuh, kan. Dugaan Rayya benar. Orang tuanya mulai bereaksi berlebihan lagi. Selalu seperti ini. Tidak pernah memberikan kepercayaan penuh pada dirinya yang sudah berusia 22 tahun. Selalu memperlakukannya seperti anak kecil, barang rapuh yang mudah hancur, rumput kecil yang mudah goyah tertiup angin.
“Yang nyetir, ya sopirnya, Ma.” Rayya menjawab ambigu.
Mama Rayya sudah hampir mengeluarkan kalimat larangan karena mengerti maksud putrinya pasti kendaraan umum. Papa Rayya bahkan sudah mengambil kunci mobil, biar dia saja yang mengantar putri kesayangan dan temannya. Agenda bersama kolega bisnis siang ini bisa ditunda ke lain hari pikirnya.
Namun, perhatian mereka semua teralihkan oleh suara berisik klakson mobil dari halaman rumah. Klakson panjang dan keras, tidak sabaran, membuat mereka bertiga keluar untuk mengecek.
Kaca jendela mobil terbuka, kepala Dirga muncul dari sana.
“Biar kuantar,” katanya singkat. Seperti biasa, tanpa basa-basi.
Rayya memasang ekspresi tidak percaya, Dirga si kulkas dua pintu dengan suka rela menawarkan mengantar. Ia menepis kebingungan tahu dari mana makhluk satu ini Rayya hendak pergi. Ah … paling mamanya yang memberi tahu entah kapan. Urusan yang lain bisa Rayya urus nanti, pokoknya ia bisa meninggalkan rumah pagi ini. Entah nanti minta diantar ke kos Kirana saja kemudian “mengusir” Dirga pergi. Banyak cara.
“Kalau sama Dirga boleh kan, Pa? Oke bye bye, assalamu’alaikum!!!” Rayya langsung menyalami papa mamanya, dan mengangkut tasnya yang penuh dengan makanan.
Ia tepuk bahu Dirga, memaksanya cepat meninggalkan rumah sebelum orang tua berubah pikiran.
Mobil melaju dan Rayya baru saja memasang sabuk pengaman, saat ponselnya mulai berisik. Nada dering keras yang Dirga kurang sukai. Harus segera diangkat atau di-silent karena Dirga sudah memberi kode dengan tatapan tajamannya.
“Kenapa Fathur?” Ternyata di seberang sana Fathur yang menelepon.
“Jadi mau petik daun hari ini? Aku ikutan, ya.” Fathur langsung to the point.
Tadi malam sambil saling berbalas pesan dengan Kirana, Rayya juga membalas pesan Fathur yang segan bertanya langsung pada Kirana hasil pertemuannya dengan Bu Ratna. Ia jadi menyesal memberi tahu Fathur rencananya dengan Kirana pagi ini kalau ujung-ujungnya cowok ini mau mengekor.
“Enggak, aku mau berduaan dengan Kirana hari ini. Girl’s day!” Rayya langsung menolak.
“Yeee… kamu pikir metik daun berkilo-kilo itu mudah? Kembang bulan itu gulma yang tumbuh liar, tumbuh bersama semak-semak. The more the merrier. Kalian pasti butuh bantuan Fathur yang serba bisa ini.” Fathur mencoba bernegosiasi. Ia bertekad menambah “kredit” kebaikan di hadapan Kirana.
Rayya berpikir sejenak. Yang dikatakan Fathur ada benarnya juga. Lebih aman kalau ke tempat seperti itu ditemani laki-laki. Lagi pula Rayya bisa membayangkan nanti ia bisa lebih punya banyak waktu santai ngobrol cantik sama Kirana kalau ada Fathur yang mengerjakan perkerjaan “kasar’. Ide bagus.
“Tapi Kirana cuma ngajak aku, mana mau dia ngerepotin orang lain,” jawab Rayya lagi. Mempertegas posisinya yang lebih dibutuhkan.
“Udah, masalah itu gampang, share location aja di mana kamu sama Kirana ketemu. Aku nanti nyusul ke situ. Kalau udah ketemu, nggak mungkin juga Kirana ngusir.” Fathur berkata percaya diri.
Rayya sendiri tidak sadar pembicaraan mereka terdengar jelas oleh Dirga yang ada di sebelahnya. Kedua orang ini kalau berbicara memang volumenya selalu maksimal.
“Itu … si Fathur mau ikut?” Dirga bertanya setelah Rayya memutuskan sambungan telepon.
“Iya, maksa dia.”
Alis Dirga bertaut. Ia memikirkan kemungkinan Kirana dan Fathur bersama di lokasi nanti. Sejak awal, sebenarnya Dirga ingin ikut membantu. Tapi bingung juga harus bagaimana. Hubungannya dengan Kirana tidak cukup dekat. Sebatas senior kampus dan organisasi. Mau menawarkan diri atas nama “teman Rayya” juga kurang masuk akal.
Ini saja Dirga tahu Rayya akan pergi karena mamanya yang memberi tahu, dan sesuai dugaan, anak kesayangan macam Rayya tidak akan dapat izin pergi naik kendaraan umum. Dirga juga bisa membaca isi pikiran Rayya yang akan mendepaknya begitu sampai di tempat pertemuan dengan Kirana.
“Bilang sama Fathur tunggu aja di kosnya, kita jemput,” ujar Dirga.
“Maksudnya?”
“The more the merrier, kalian pasti butuh bantuan orang yang bisa diandalkan. Lagi pula kalau ketahuan aku tidak menemani kalian sampai akhir, tahu sendiri kan akibatnya bagaimana,”
Rayya menoleh, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Dih, kenapa terdengar sombong sekali, duhai Dirga yang terhormat. Tapi masalahnya, ia tak bisa membantah. Dirga memang selalu bisa diandalkan. Dan... izin bepergian dari orang tua memang selalu lebih mudah jika Dirga ada di sebelahnya.
Rayya mendumel dalam hati. Rencananya untuk menghabiskan waktu berdua saja dengan Kirana… gagal total.