Loading...
Logo TinLit
Read Story - Monologue
MENU
About Us  

Katanya, seseorang yang senang menepi adalah seseorang yang tengah merasa kesepian. Katanya, seseorang yang senang mengambil waktu seorang diri adalah seseorang yang malas menjalin hubungan dengan orang lain. Katanya, seseorang yang senang berkutat dengan banyak kata adalah seseorang yang fokus. Karena membaca dalam keadaan menepi dan sendiri adalah mantra paling ampuh ketika suara sulit dikeluarkan.

Seperti Anka, yang kini memakai kacamata baca untuk membuka satu per satu halaman yang telah ditandainya dalam naskah Revisi Emosi. Dia menggulir halaman itu secara acak. Menemukan ekspresi aneh ketika tokoh utama di cerita itu mengagumi seseorang, tapi malu untuk menyebut namanya. Hanya menyebutnya dengan nama berinisial A.

Denting.
Si penulis sialan itu sedang apa kini?

Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kepada: Denting [denting.an@puitis.com]

Bab 8. Dan lo masih nulis peran cowoknya dengan inisial A.


Jeda lima menit, Denting membalasnya.


Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]

Padahal kamu bisa membaca langsung pada epilog, tapi kamu memilih menemaniku? Atau hanya aku saja yang merasa.


Sial. Anka ketauan. Iya juga, padahal dia bisa melompati semua halaman, tapi kenapa jadi terbawa harus pelan-pelan menyusuri alurnya, seolah tengah menggenggam tangan seseorang, yang kalau ditinggalkan, akan menangis?

Oh, Anka kan berperan sebagai editor. Memang kenapa kalau menemani Denting? Hanya membaca perlahan agar kata per kata tidak ada yang salah.

Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]

Seseorang sudah mati, tapi raganya menetap. Kamu ingin tau kenapa?


Pesan beruntun. Anka saja belum selesai membaca.


Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]

Karna dia selalu menyangkal.


Lagi.


Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]


Terkadang kamu hanya perlu mengakui. Tidak ada salahnya mengakui.
Jika iya, kenapa? Setakut itu, kah?


Apa perasaan Anka saja, Denting seolah membalas sesuatu di luar naskah?

Wah, apa sosok di balik naskah ini normal?
Takut, katanya?

Siapa yang takut?

Anka mengubah posisi duduknya di sudut kamar, menjadi ke tengah. Bantal kepala dia posisikan menjadi berdiri sebagai sandaran punggungnya. Membaca terlalu lama memberi efek lelah. Di mata, di punggung.

Kebiasaan Anka saat membaca. Tidak ada camilan, tidak ada makanan berat. Hanya sebotol air putih. Sesekali meneguk kopi. Jika ingin, dia akan membeli es kelapa muda sebelum menapakkan kakinya di rumah.

Anka kembali pada naskah.

Gadis dalam naskah itu, dipanggil Lov, padahal tidak ada status spesial. Sedikit penasaran, digulirnya lagi halaman berikutnya.

"Lov?"

Gadis itu menunduk malu-malu. Mungkin laki-laki berinisial A itu bukanlah cinta pertamanya, tapi detik ini sanggup mencipta ukiran senyum di bibirnya.

Anka mengerutkan dahinya. Lama-lama Anka dibuat sakit kepala.

Maklum saja bukan? Kalau penulis pemula memulai tulisannya dari yang paling dekat? Seperti Denting yang menulis cerita Revisi Emosi. Ide cerita yang tak diketahui asalnya, tapi ciri khas penulis pemula yang memberanikan diri mengirim karyanya.

Alur klise, dua anak sekolah menengah atas yang bertemu. Salah satunya jatuh hati, satunya belum. Lalu perlahan perasaan itu semakin tinggi. Bagi pihak, perempuan. Tapi laki-laki berinisial A, memilih menjatuhkan hatinya pada gadis lain. Cantik, katanya.

Anka berdecak kesal.

Kalau cantik saja bukankah relatif? Secara logika saja, jika yang membuat nyaman adalah tokoh utama perempuam, kenapa tidak dengan perempuan itu saja?

Bosan. Disimpannya file naskah itu.

Butuh jeda demi menyegarkan pikiran, Anka berjalan ke depan perumahan. Membeli sebungkus es kelapa muda.

"Lo kan nggak bisa minum es kelapa. Kenapa dibeli?"

"Siapa bilang?"

"Nekat banget. Hanya karna cowok yang lo suka—"

Pembicaraan itu terhenti. Kedua orang itu tersenyum canggung, menyadari Anka yang tak sengaja mendengar.

"Maaf, Om. Teman saya batu, soalnya."

Keduanya memilih pergi. Tak jadi dengan es kelapa.

Om?
Anak berseragam putih abu-abu memanggilnya Om?

Satu dari dua gadis tadi berbalik. "Pak, es kelapa mudanya satu."

"Katanya nggak suka?" Canda penjual es kelapa muda.

"Bohong. Saya suka banget sama es kelapa muda."

Ucapan itu terdengar. Anka yang tengah merogoh sakunya mencari uang pas, menoleh.

"Apalagi es kelapa muda itu minuman kesukaan gebetan saya. Hehe."

Gadis itu tersenyum pada Anka. "Kak, duluan ya. Semoga hari kakak baik."

Anka hanya mengangguk pelan. Dibawanya es kelapa muda ke rumah. Tidak ada Ailova. Kakaknya itu tengah sibuk mengerjakan tugas. Katanya, di luar bersama teman lain. Lokasinya, paling tidak, tidak akan jauh dari kampus.

***

Gasha menatap merasa bersalah pada Anka atas kejadian kemarin. Beruntungnya laki-laki itu cepat minum obat. Sejak pagi, tak ada percakapan apa pun. Bahkan sapaan selamat pagi dari Gasha tertahan di ujung lidah.

Siang, yang biasanya Gasha mengingatkan Anka untuk istirahat dan makan siang, hanya tersisa dirinya di ruang itu. Anka bahkan melangkah keluar sebelum dirinya sempat berkata.

Sorenya, di jam pulang pun, Anka cepat-cepat merapikan mejanya. Menata rapi seperti biasa. Tak menoleh sedetik pun pada Gasha. Berlalu begitu saja.

Sengaja! Anka bersikap dingin, agar Gasha merenungi kesalahannya. Lebih berhati-hati, jika ingin memberi makanan pada yang lain.

Kantor redaksi tengah mengadakan bazar novel di salah satu mall di kota itu. Anka mengunjungi untuk melihat-lihat buku yang dulu sempat ditangani. Tentu dari genre misteri-thriller. Tidak ada ekspresi berlebihan. Sekedar senyum menatap hasil revisi bersama para penulis.

"Anka?"

Seseorang memanggilnya. Yang tengah menggenggam buku genre komedi.

Ya, dia adalah editor dari genre komedi. Tidak seperti lucunya sang genre, kalimat yang tertera,

"Nggak biasanya lo ke sini."

Dia menyunggingkan senyum miring. Tidak pernah suka dengan kehadiran Anka. Yang selalu mendapat pujian dari kepala redaksi.

Boleh dikatakan, Anka ini adalah saingannya dalam kantor penerbitan.

Respons Anka hanya menatap sekilas dengan ekspresi datar. Tak minat membalas. Dilangkahkan kakinya menuju buku-buku lain.

Tanpa sengaja, kakinya berhenti di deretan buku-buku genre romantis. Cover manis dengan kisah-kisah yang juga tak kalah manis.

"Genre yang lo tangani." Editor genre komedi ternyata mengikuti gerak gerik Anka. "Buat lo yang nggak punya ekspresi, pasti tersiksa nanganin naskahnya."

Anka masih diam.

"Harus jatuh hati, padahal lo aja nggak pernah pacaran." Editor komedi terkikik geli, lalu melanjutkan, "Harus patah hati, padahal lo aja nggak pernah patah hati."

Kini Anka mengangkat pandangannya. Meski malas menanggapi, dia tetap membalas dengan sorot mata tajam, seolah meminta editor yang juga merangkap jadi penulis itu berhenti berkata.

"Santai," katanya. Kemudian tertawa lagi.

Anka membalikkan tubuh—hanya untuk mendapati dirinya ditabrak kencang. Bahunya tidak sakit, tapi sang pelaku tidak mengatakan maaf sedikit pun.

"Lo nabrak orang!"

Pelaku itu tak mau menoleh. Abai. Menganggap tabrakan itu hanya hal biasa.

"Minta maaf dulu," ucap gadis itu, menahan langkah temannya.

"Duh! Bukunya udah nggak ada!" Bukannya meminta maaf, malah mengeluh buku yang dicari tak ada.

Sementara satu gadis lainnya mendekat pada Anka.

"Maafin teman saya ya, Kak." Hanya menunduk.

Anka bahkan tak sempat mengetahui apa warna mata gadis itu. Yang dilakukan Anka adalah menatap kepergian tiga gadis itu dengan raut wajah bingung. Terlebih pada gadis terakhir yang seperti takut menatapnya. Padahal mata Anka tidak tajam sampai harus membuat seseorang takut.

Bahkan ketika ketiga gadis itu memutar arahnya kembali, melewati Anka, gadis terakhir berupaya mengalihkan matanya dari sorot mata Anka.

"Lo kalo ke bazar buku, bar-bar ya."

"Ya, gue kan kecanduan buku. Takut banget kalo kehabisan bacaan."

"Lihat nih teman kita yang satu ini, diam aja. Sampe lo yang nabrak, dia yang minta maaf."

Gadis terakhir itu melirik keberadaan Anka. Namun, yang dicari tengah asyik membaca blurb buku lain.

"Ya, nggak apa-apa. Supaya dia mau ngomong lagi."

Gadis terakhir itu merendahkan pandangannya. Pura-pura tidak melihat Anka, yang kini menatapnya balik, seolah penasaran.

"Nggak usah sembunyiin muka. Lo udah ketauan." Gadis yang tadi menabrak Anka berucap sembari tersenyum miring.

***
 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
AUNTUMN GARDENIA
166      143     1     
Romance
Tahun ini, dia tidak datang lagi. Apa yang sedang dia lakukan? Apa yang sedang dia pikirkan? Apakah dia sedang kesulitan? Sweater hangat berwarna coklat muda bermotif rusa putih yang Eliza Vjeshte kenakan tidak mampu menahan dinginnya sore hari ini. Dengan tampang putus asa ia mengeluarkan kamera polaroid yang ada di dalam tasnya, kemudian menaiki jembatan Triste di atas kolam ikan berukura...
Hanya Untukku Seorang
1096      590     1     
Fan Fiction
Dong Hae - Han Ji bin “Coba saja kalo kau berani pergi dariku… you are mine…. Cintaku… hanya untukku seorang…,” Hyun soo - Siwon “I always love you… you are mine… hanya untukku seorang...”
Secarik Puisi, Gadis Senja dan Arti Cinta
1231      823     2     
Short Story
Sebuah kisah yang bermula dari suatu senja hingga menumbuhkan sebuah romansa. Seta dan Shabrina
Warna Untuk Pelangi
8780      1852     4     
Romance
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi. Revi tidak ...
Unlosing You
498      349     4     
Romance
... Naas nya, Kiran harus menerima keputusan guru untuk duduk sebangku dengan Aldo--cowok dingin itu. Lambat laun menjalin persahabatan, membuat Kiran sadar bahwa dia terus penasaran dengan cerita tentang Aldo dan tercebur ke dalam lubang perasaan di antara mereka. Bisakah Kiran melepaskannya?
Tower Arcana
802      590     1     
Short Story
Aku melihat arum meninggalkan Rehan. Rupanya pasiennya bertambah satu dari kelas sebelah. Pikiranku tergelitik melihat adegan itu. Entahlah, heran saja pada semua yang percaya pada ramalan-ramalan Rehan. Katanya sih emang terbukti benar, tapi bisa saja itu hanya kebetulan, kan?! Apalagi saat mereka mulai menjulukinya ‘paul’. Rasanya ingin tertawa membayangkan Rehan dengan delapan tentakel yan...
Pemeran Utama Dzul
409      272     4     
Short Story
Siapa pemeran utama dalam kisahmu? Bagiku dia adalah "Dzul" -Dayu-
Balada Valentine Dua Kepala
319      202     0     
Short Story
Di malam yang penuh cinta itu kepala - kepala sibuk bertemu. Asik mendengar, menatap, mencium, mengecap, dan merasa. Sedang di dua kamar remang, dua kepala berusaha menerima alasan dunia yang tak mengizinkan mereka bersama.
The Investigator : Jiwa yang Kembali
2092      875     5     
Horror
Mencari kebenaran atas semuanya. Juan Albert William sang penyidik senior di umurnya yang masih 23 tahun. Ia harus terbelenggu di sebuah gedung perpustakaan Universitas ternama di kota London. Gadis yang ceria, lugu mulai masuk kesebuah Universitas yang sangat di impikannya. Namun, Profesor Louis sang paman sempat melarangnya untuk masuk Universitas itu. Tapi Rose tetaplah Rose, akhirnya ia d...
Golden Cage
516      301     6     
Romance
Kim Yoora, seorang gadis cantik yang merupakan anak bungsu dari pemilik restaurant terkenal di negeri ginseng Korea, baru saja lolos dari kematian yang mengancamnya. Entah keberuntungan atau justru kesialan yang menimpa Yoora setelah di selamatkan oleh seseorang yang menurutnya adalah Psycopath bermulut manis dengan nama Kafa Almi Xavier. Pria itu memang cocok untuk di panggil sebagai Psychopath...