Ruang dapur masih setengah gelap. Suara air mendidih dari panci kecil menyatu dengan gesekan sendok yang pelan. Anka berdiri di dekat jendela, memandangi hujan pagi yang jatuh seperti detik yang tak bisa dicegah.
Ailova masuk tanpa suara. Wajahnya pucat, rambutnya digulung asal. Dia meletakkan buku kecil berwarna kuning di meja.
"Lo tidur di sofa lagi?" tanyanya tanpa melihat Anka.
Anka diam. Tangannya mengepal di sisi celana. Lalu menjawab, lirih, "Daripada di teras."
Ailova menoleh. "Naskah itu lagi?"
Anka mengangguk pelan. "Ada sesuatu yang membuat gue harus mendalaminya. Kayak... ada yang mengintip hidup gue secara nggak langsung."
Ailova menatap adiknya, cukup lama. Mata yang lelahnya tak bisa menyembunyikan rasa sayang—atau rasa peduli.
"Lo bukan tokoh dalam dunia fiksi." suaranya nyaris hanya bisikan. "Lo bukan sesuatu yang bisa ditulis ulang oleh siapa pun."
Anka menahan napas. Bibirnya membuka, tapi tak ada kata yang keluar. Anka menunduk. Hujan di luar terdengar makin deras.
Ailova tidak pernah akan melupakan hari itu. Dia berusaha keras mencari-cari loker persembunyian yang tidak akan pernah ditemui adiknya—sepulang dari kantor pencatatan sipil untuk memperbarui data kartu keluarga.
Hanya ada satu hal yang dia takuti. Anka mengetahui bahwa dalam kartu keluarga terbaru, hanya tercatat dua nama—Langitsha Ailova dan Langitheo Ankaa.
Untuk ukuran anak berseragam SMP, Anka pasti bertanya-tanya. Ke mana nama orangtuanya? Siapa yang tega menghapus? Banyak tanya akan Anka lontarkan. Atau... menuduh Ailova yang meminta pihak pencatatan sipil menghapus data orangtuanya.
Namun saat itu, hanya ada satu kalimat lirih dari Anka. "Jadi sekarang kita cuma berdua ya, Kak?"
Ailova susah payah mengangkat pandangannya yang sedari tadi menunduk kaku. Bibirnya terkatup rapat. Remasan tangannya pada salinan kartu keluarga sebagai pelampiasan dari rasa cemas itu.
"Anka?"
"Iya, Kakak Ailova?"
Anka mendekat. Tersenyum tenang. Senyumnya selalu begitu. Meruntuhkan pertahanan isak tangis yang telah lama Ailova redam. "Aku nggak akan ninggalin kakak sendirian dalam kartu keluarga."
"Mandi sana!" Ailova memutar tubuh Anka ke arah kamar mandi, berusaha menutup air matanya yang mulai luruh. Dia mendorong adiknya masuk. Isak tangis itu terus terdengar hingga Anka selesai mandi.
Anka yang masih berseragam SMP masih menunjukkan rasa cemas pada kakaknya.
Namun, saat Anka memasuki usia tujuh belas tahun, dia seolah mati rasa. Pandangannya lebih sering datar. Nada bicara yang dulu diiringi senyum, kini hanya menyisakan lengkungan tipis membentuk kata-kata. Tawa yang dulu lepas, kini hanya muncul lewat video lucu yang tak sengaja lewat di beranda sosial media.
Anka-nya telah lama mati. Entah di mana letak senyumnya yang dulu.
Anka-nya telah lama mati. Entah di mana letak tawanya yang dulu.
Ailova sedikit... rindu.
Tapi Ailova pun sama. Telah lama mematikan perasaannya. Maka doktrin yang selalu dia ulang pada Anka sejak kecil, "Pernyataan cinta itu nggak penting. Bersikaplah seolah-olah kamu peduli." Menjadi mantra paling ampuh.
Anka akan bersikap peduli, berlari-lari di lorong rumah sakit. Seperti ketakutan bahwa daftar nama dalam kartu keluarga itu hanya ada dirinya yang tersisa. Nyatanya, Anka hanya bersikap seolah peduli. Seolah Anka adalah adik yang sangat menyayangi Ailova.
Mengetahui Ailova tidak dalam masa kritis, esoknya Anka akan kembali ke kantor redaksi. Seperti tanpa beban. Kembali pada rutinitas hariannya. Hari libur, Anka masih berkutat dengan naskah. Tidak ada waktu luang dengan Ailova. Sekedar sama-sama mencurahkan hari-hari lelah, tawa bersama, makan dan jalan-jalan bersama. Atau meramaikan kursi bioskop yang kadang hanya dipenuhi sepasang kekasih.
Anka versi dewasa adalah Ailova versi setelah kedua orangtuanya tidak baik-baik saja.
Apakah emosi negatif itu menular?
Tidak apa-apa orangtua tidak akan pernah kembali, asalkan Anka dan Ailova selalu kembali pada rumah yang sama.
Sudah dua belas tahun berlalu. Rasa hangat kebersamaan itu seperti apa?
Anka tau, sisi dirinya telah jauh dari Ailova. Anka tau, kakaknya diam-diam memerhatikannya. Anka tau, Ailova yang selalu memberinya selimut saat dirinya tertidur di atas sofa.
Memang, siapa lagi?
***
Langkah Anka terhenti di depan taman kecil dekat rumahnya. Hujan baru saja reda. Seorang balita perempuan berlarian mengejar kucing liar, tertawa riang. Di pergelangan kakinya, ada gelang kecil melingkar dengan suara gemerincing pelan setiap kali dia melangkah.
Denting. Denting.
Suara itu memukul keras indra pendengaran Anka, tapi yang terasa nyeri justru dadanya. Suara logam kecil itu bukan sekadar bunyi. Ada sesuatu di baliknya—sesuatu yang seperti pernah menyentuhnya.
Dia berdiri diam, memaku pandangan ke arah lain. Dunia di sekitarnya pelan-pelan memudar. Yang ada hanya suara denting itu.
Gelang kaki.
Anka mengerutkan dahi. Dia pernah memakaikannya pada seseorang. Tangannya sendiri yang melingkarkan gelang itu di pergelangan kaki mungil. Tapi kapan? Dan di mana?
"Anka?"
Suara Ailova membuyarkan lamunannya.
"Lo kenapa diam di sini?"
Anka masih diam. Kembali menatap balita perempuan itu.
"Gelang kaki itu..." gumamnya pelan.
"Kenapa?"
"Gue pernah... pakein itu ke seseorang. Tapi gue lupa."
"Lo yakin itu kenangan, bukan cuma perasaan aneh?"
"Nggak. Ini nyata. Ada tangan kecil. Ada tawa... dan gelang itu bunyi. Persis."
"Anka," Ailova menghela napas, mendekat, "kemungkinan besar, lo lagi hanyut dalam naskah."
"Nggak, ini bukan tentang naskah. Ini dari dalam memori gue sendiri."
Hening.
Ailova melirik Anka. Adiknya terlihat lebih pucat dari biasanya. Bibirnya menegang, tatapan matanya kosong. Gestur tubuh Anka saat berdiri terlihat jelas. Seperti tengah menahan gemuruh.
"Mungkin... ada bagian dari hidup lo yang nggak pernah sempat dikasih tahu," ucap Ailova, pelan.
"Maksud lo?" Ailova menggigit bibirnya. Seperti tengah memikirkan sesuatu, tapi tak jadi bicara.
"Bukan apa-apa."
"Lo bohong," lirih Anka.
"Nggak semua kebenaran bisa lo tanggung."
"Jadi memang ada yang lo tutupin?"
Balita perempuan itu tertawa, memanggil ayahnya. Suara gelang itu kembali berdenting, dan kali ini, seperti mengguncang sesuatu dalam diri Anka.
"Kenapa suara itu bikin gue kayak... ditarik ke tempat yang nggak pernah gue datengin?"
"Mungkin, lo memang pernah ke sana."
Anka memandang Ailova. Lama. Lalu berkata tanpa suara,
"Siapa Denting sebenarnya?"
***