"Kak?"
Anka mendekap sebotol air mineral yang baru saja diisinya dari dispenser. Masih sangat pagi. Pukul enam kurang dua puluh menit. Matahari saja belum sanggup mengalahkan mata kakak perempuan satu-satunya Anka—menyapu dengan tangan melemah, mata yang sudah seperti diberi coretan hitam, tubuh sedikit miring nampak hanya sedikit menyisakan daya pada kedua kakinya.
"Lagi, kak?" Anka meraih sapu yang kakaknya pertahankan tanpa daya. "Gue nggak pernah saranin lo ambil dua jurusan sekaligus."
Ailova—terdengar seperti nama yang penuh cinta. Begitulah nama kakak perempuan satu-satunya Anka. Berbanding terbalik dengan namanya, dia anti diberi perhatian tanpa aba. Maka secara cepat, diraih kembali sapu dari tangan Anka.
"Tugas lo hanya perlu merevisi naskah, bukan merevisi kegiatan gue"
Ailova merebut botol di tangan Anka. "Lo ambil yang lain."
Baiklah. Anka sekali ini mengalah. Lebih baik membiarkan sebotol minumannya diambil, daripada menemui kakaknya dalam kondisi dehidrasi.
"15%."
"Apa?"
"Sisa daya kakak masih ada 15%. Sebelum benar-benar 0%, boleh gue minta tolong?"
"Hmm."
"Sapuin sekalian kamar gue." Anka cepat-cepat menyeru, "Gue siapin sarapan."
Perempuan berusia 28 tahun itu mengangguk sangat setuju. Apapun tentang bersih-bersih, dia akan berdiri paling depan. Menyorak penuh antusias, bahwa dia cinta kebersihan.
Ailova rela serela-relanya, jika harus diminta oleh adik anti-romantisnya itu bersih-bersih apapun.
Di sini lah, Ailova. Menyingkap satu per satu buku-buku tergeletak di atas karpet Anka. Laptop yang masih dalam keadaan aktif.
Tidak menarik.
Hanya satu pandangan yang sedikit memintanya terus mendekat: setumpuk halaman berisi naskah yang tengah direvisi.
Bukan itu yang menjadi daya tarik utama, tapi... genre romantis.
Benarkah, Anka kini berupaya mencipta suasana manis, tapi sadis dalam dirinya, hanya untuk sebuah naskah?
***
Anka mengentak kedua telapak tangannya pada halaman pertama dari naskah—Revisi Emosi milik seorang ... Denting.
Iya, Anka tak perlu sepenasaran itu hanya karena nama pena, entah nama samaran atau nama lahirnya yang aneh.
Aku bertemu kamu, di sela hari yang tak berujung tanpa aba.
Apa ini? Maksud?
"Gila! Kalo naskah ini selesai revisi dan gue harus ke psikolog, seorang Denting harus bertanggungjawab atas naskah menjijikkannya ini!" Anka menggerutu sembari mengepalkan tangannya. "Sial!"
Naskah yang baru saja dimulai... mencipta kerutan padat di dahi Anka.
Denting, denting, denting.
"Hahahahahaha."
Suara siapa itu?
Anka tak perlu menoleh, hanya untuk mengetahui bahwa Gasha—editor genre fantasi, penuh halusinasi itu—tengah berbahagia atas nama naskah baru yang tengah ditanganinya.
Ya ya ya.
Harusnya, Anka pun detik ini seperti Gasha! Mendalami alur misteri thriller yang menegangkan, menggugah rasa penasaran pada tiap halaman, menggelitik indera penglihatannya untuk menetap dalam situasi tak aman.
Lihat! Apa yang terjadi! Baru satu kalimat saja, rasanya nyaris frustrasi.
"Halo, Anka ganteng!"
Gasha tersenyum lebar setelah memoles lipstick merah terang di bibirnya.
"Puas?"
"Apa?" Gasha mendekat hanya untuk berpura-pura tidak tau alasan dari raut wajah tidak mengenakan milik Anka. "Oh, tulisan yang manis. Seperti nama penulisnya."
Berlebihan!
"Kenapa gue?" Anka memicingkan mata, mengembuskan napas kasar. Detik ini pandangannya menusuk hingga ke polesan makeup Gasha. Bisa saja melunturkan polesan itu, jika Gasha tak cepat menjawab.
"Mungkin, hukuman buat lo." Perempuan itu mengedipkan sebelah matanya. "Hehehe."
"Lebih masuk akal, kalo lo yang ambil alih naskah sialan ini!"
Gasha memundurkan sedikit kepalanya. "Naskah gue udah bertumpuk."
"Lo pikir, gue nggak dapet naskah baru, Gas?"
"Gas?" Gasha menjentikkan jemarinya. "Sasha."
Anka tidak peduli. Tampilannya saja yang sok feminin, tapi perawakan perempuan ini nyaris seperti orang yang akan melakukan pemungutan liar di terminal—sangar.
"Selamat jatuh hati kembali pada Denting!" Perempuan itu memutar tubuhnya dengan liukan sedikit meledek, sebelum mendekat sekali lagi pada meja Anka dan kembali pada tugasnya. "Eh, naskah, maksudnya! Hehehe."
***
Dalam perjalanan pulang, hanya dengan mobil kecil milik kakaknya. Yang tengah menikmati masa kritisnya mendalami peran sebagai mahasiswi semester 7, di dua jurusan berbeda. Hukum dan Sastra Inggris.
Kakak aneh!
Oh, iya, Anka tentu mendapat izin sepenuhnya meminjam mobil ini. Musik yang membosankan. Anka tak tau pasti musik apa yang menarik dirinya dalam sebuah nada.
Olivia Rodrigo - Favorite crime
Bukan isi dari lagunya yang membuat Anka tergugah, tapi judul lagunya. Bahkan sebuah judul pun seperti tengah menyindirnya.
Sial!
Anka hanya ingin hidup dengan mengubur mimpi yang takkan pernah nyata. Mendalami peran utama sebagai seorang editor. Bukan terjerat dalam alur fiksi romantis bersama ... Denting.
Tentang Denting, hari kedua, belum ada percakapan apa pun.
Anka tidak yakin untuk menghubunginya dalam waktu kurang dari 24 jam ini.
Dengan emosinya yang tak karuan. Dia yang anti-romantis, harus memulai dari mana?
Halo, Denting! Perkenalkan, saya Anka. Editor dari naskah anda yang akan direvisi.
Atau
Heh, penulis fiksi menjijikkan! Terserah lo mau kerja sama dengan gue sebagai editor atau nggak! Gue nggak peduli!
Nyatanya, Anka malah mengirim e-mail berisi :
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kepada: Denting [denting.an@puitis.com]
Gue Anka.
Editor lo.
Draft e-mail dengan kata-kata pembuka itu terkirim.
Ponselnya dilempar ke samping kursi kosong. Hanya untuk menikmati jalanan padat merayap yang sudah muak diamatinya sejauh ini.
Anka mendapati notifikasi pesan masuk.
Dari operator yang mengatakan kuota internetnya akan habis dalam dua hari lagi.
***
Anka menjeda langkahnya. Memasukkan satu tangannya ke saku celana. Matahari yang sudah menutup dirinya di sore ini, tak mampu menutup keresahan Anka pada nyata bahwa dirinya sejak kemarin merasa tak aman.
Seperti diikuti, padahal hanya seorang melangkah di halaman rumahnya menuju pintu utama.
Seperti ditatap intens, padahal hanya ada satu naskah yang saling menatapnya di penghujung sore.
Seperti dituntun untuk mengingat, tengah apa yang mesti diakhirinya.
"Lagi apa, Kak?"
Pagi yang pucat untuk kakaknya. Sore yang mengenaskan untuk kakaknya.
"Lagi nunggu lo." Ailova menenteng dua bungkus nasi, yang katanya: jangan tanya apa isinya. Gue males ditanya.
Dingin, tapi peduli. Itu kakak Ailova.
"Makan, nggak!"
Anka melirik ponselnya yang mengedip. Cahaya sekilas yang memberitahu ada pesan masuk.
Mungkin... Gasha?
"Makan, nggak!"
"Hmm." Anka telah mencuci tangannya. Tentu kakak Ailova benci, jika ada seseorang yang makan tanpa mencuci tangannya. "Makasih, Kak."
"Sebagai ucapan terima kasih, cuci mobil gue."
Helaan napas Anka terasa berat. Anka ingin tidur. Kenapa kakaknya memberi tugas lagi?
"Kalo lo cari ketenangan, bukan ke sana, Anka! Apalagi bawa mobil gue."
Seingat Anka, mobil itu hanya dibawanya ke kantor penerbitan. Bukan ke jalan penuh lumpur.
Ada apa dengan kakak Ailova? Atau... dengan dirinya sendiri?
***